Lebih masuk lagi ke dalam, pada sisi kiri rumah adalah ruang makan. Mejanya cukup besar dengan empat kursi kayu yang mengelilingi. Satu meja lagi menempel ke pojokan dinding. Di sisi kanan ruangan ini masih ada satu pintu kamar lagi, yang tentu saja pintunya menghadap ke meja makan.
Kembali ke ruang tengah, di salah satu dinding yang dekat pintu ke ruang makan, ada tergantung tengkorak kepala kerbau dengan dua tanduknya yang meruncing ke atas.
Saksi Bisu Masa Muda 'The Grand Old Man'
Rumah kelahiran 'The Grand Old Man' ini menjadi saksi bisu kisah masa muda H Agus Salim. Misalnya, di rumah inilah, H Agus Salim pernah memilih loteng sebagai tempat belajar. Lho, kok di loteng?
Mendengar selentingan kabar itu, Agus Salim merendah. Seperti yang pernah disampaikan kepada Haji Zainal, teman masa kecilnya. "Sangkaan orang-orang itu sesungguhnya keliru. Pujian orang bahwa aku luar biasa pandai adalah berlebihan, karena mungkin mereka tidak pernah melihat aku menekuni pelajaran di rumah," kata Agus Salim.
Seperti dimuat juga dalam Seri Buku Saku TEMPO : Bapak Bangsa : Agus Salim -- Diplomat Jenaka Penopang Republik, Agus Salim belajar keras di rumah. Meskipun, lingkungan kurang mendukung karena ia sering menerima tugas rumah dan ajakan bermain dari teman-teman sebayanya.
Demi menyiasati kondisi tak kondusif ini, Agus Salim punya jalan keluar yang cerdik. Siang hari sesudah makan, ia mengendap-endap naik ke loteng. Disinilah ia menekuni pelajaran yang baru didapat di sekolah sekaligus mempersiapkan pelajaran untuk keesokan harinya. Nah, lantaran di atas plafon itu gelap, Agus Salim selalu membuka beberapa bagian atap supaya cahaya dengan leluasa bisa menerobos masuk ke loteng.
Selesai belajar, sebelum turun, Agus Salim membereskan kembali bukaan sebagian atap tadi.
Sementara itu, Mukayat dalam bukunya menulis, Agus Salim rajin belajar baik di sekolah maupun di tempat pengajian. Pagi hari ia mengikuti pelajaran di sekolah, sedangkan malam harinya sebagaimana anak-anak kampung yang lain ia giat belajar tentang agama Islam dengan mengaji di surau, sehingga walaupun anak 'priyayi' tapi ia tak lepas dari lingkungannya yang agamis.