Berkunjung ke rumah kelahiran H Agus Salim membawa kesan mendalam tersendiri bagi saya. Rumah kayu dengan cat berwarna biru telor asin ini memang kontras dengan lingkungannya. Di sekitar rumah tempat kelahiran H Agus Salim ini, suasananya masih menghijau banget.Â
Banyak pepohonan rindang, sawah yang hijau menghampar berpadu dengan nuansa pebukitan yang memanjakan mata memandang. Sebelum sampai ke halaman depan rumah Menteri Luar Negeri RI pertama ini, saya melewati terlebih dahulu Rumah Bagonjong dengan dominasi cat warna merah bata. Rumah adat Minangkabau ini merupakan balai adat pertemuan warga.
Sore menjelang azan Maghrib di awal Maret 2018 kemarin, suasana sekitar rumah kelahiran H Agus Salim kelihatan sepi sekali. Tak kelihatan seorang pun warga sekitar. Langkah kaki saya di jalanan yang keras tapi berbatu kerikil ini langsung disambut gonggongan anjing piaraan milik warga.Â
Sudah umum, warga memelihara anjing untuk keperluan menjaga rumah juga kebun. Langkah kaki saya terus melangkah dengan yakin. Saya berpikir positif, anjing penjaga ini tidak akan mengejar apalagi menggigit. Toh benar juga. Lama kelamaan gonggongan anjing berhenti.
Untuk sampai ke rumah kelahiran H Agus Salim di Nagari Koto Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat ini gampang sekali. Kebetulan waktu itu saya berangkat dari salah satu hotel yang ada di dekat Jam Gadang, Pasar Benteng Atas. Enggak sampai setengah jam perjalanan, sudah sampai di lokasi.
[Rute: Dari Jam Gadang di Benteng Pasar Atas menuju ke rumah kelahiran H Agus Salim, lintasan rute yang saya lewati adalah: Jalan Istana - Jalan Panorama - Jalan Binuang (yang melintasi Ngarai Sianok, dan ketika di sebelah kanan ada rumah makan lesehan Purnama Indah, belok kiri, menanjak ke atas ngarai) - ikuti terus jalan menuju Jalan Moh Nazif sampai ketemu persimpangan jalan atau Masjid Tapi Nurul Iman, Koto Gadang - lalu ikuti Jalan H Agus Salim] Â
Memang, pada saat melintasi bawah Ngarai Sianok suasana cukup ramai dengan keberadaan sejumlah restoran yang banyak menawarkan menu favorit Itiak Lado Mudo. Tapi, begitu perjalanan mulai lagi mendaki lembah Ngarai Sianok, suasananya sedikit mirip seperti sedang melintasi hutan lindung. Kiri kanan pepohonan lumayan besar dengan semak yang lebat.
Di Indonesia banyak tempat yang indah dan menarik. Salah satu diantaranya ialah keindahan alam Minangkabau, di wilayah ini terdapat sebuah lembah yang terkenal dengan nama Ngarai Sianok, yaitu sebuah ngarai yang indah dengan hawanya yang sejuk nyaman.
Sementara itu, dalam Seri Buku Saku TEMPO: Bapak Bangsa berjudul "Agus Salim -- Diplomat Jenaka Penopang Republik" yang diterbitkan atas kerja sama Majalah Tempo dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) tertulis:
Nagari Koto Gadang adalah kampung permai di sebelah barat Bukittinggi. Lokasinya di seberang Ngarai Sianok di kaki Gunung Singgalang. Cemara tua berderet di sepanjang jalan masuk ke kampung itu. Rumah-rumah lama berarsitektur kolonial awal abad ke-20 masih terpelihara.
Apa yang ditulis dalam dua buku ini, saya amini. Benar adanya!
Saya mencoba mencari sumber literasi terhadap bentuk Rumah Adat Bagonjong Empat dengan Surambi di Tengah, yang ada di persimpangan Nagari Koto Gadang ini. Hasilnya, menurut Ir Hasmurdi Hasan dalam bukunya "Ragam Rumah Adat Minangkabau -- Falsafah, Pembangunan dan Kegunaan" dijelaskan bahwa:
Jumlah gonjong sebanyak empat buah adalah melambangkan kejadian Bumi seperti air, tanah, api dan angin. Letak tangga di bagian pangkal bangunan menandakan pemilik rumah berasal dari kelarasan Koto-Piliang. Apabila tangga terletak di bagian tengah bangunan berarti pemilik rumah berasal dari kelarasan Bodi-caniago. Bangunan bagonjong empat ini banyak terdapat di Koto dan Nagari.
Di Rumah Adat yang berada persis di simpang jalan Nagari Koto Gadang ini terdapat prasasti informasi. Tulisannya berbunyi:
Anak Nagari Koto Gadang mendirikan Balai Adat ini oentoek memperingati djasanya padoeka Tk. J. Datoek Kajo (Larashoofpd Van IV koto Ex Volksraadshd terhadap kepada Studiefonds, Waterleiding -- dan Negeri Koto Gadang).Tertera tanggal 5 Desember 1937 atau 2 Syawal 1356.Diukir tahun 1990
Nah, sesuai namanya, Jalan H Agus Salim memang menunjuk ke arah rumah kelahiran H Agus Salim di Jalan Haji Agus Salim 14, Jorong Koto Gadang Mudiak, Nagari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam. Rumah kelahiran Haji Agus Salim mengarah ke Selatan - atau ke arah sisi kanan Rumah Adat Bagonjong - dari persimpangan jalan ini.
Ada lima anak tangga yang harus ditapaki untuk masuk ke rumah kelahiran H Agus Salim. Jumlah anak tangga ini seakan mengartikan rukun islam yang jumlahnya ada lima. Pintu rumah terbuat dari kayu, lengkap dengan kaca tembus pandang. Pintu masuk rumah ini terdiri dari empat pintu sebenarnya, yang kalau dibuka semua, maka jalan masuk bisa menjadi lebih luas.Â
Kaca-kaca di depan ini juga berjajar dengan yang ada di sisi samping kiri dan kanan muka rumah. Tiap kaca diberi tirai penutup warna putih dibaliknya. Sebelah kiri pintu masuk ada jendela kamar yang terbuat dari kayu. Kondisinya tertutup, maklum hari sudah senja.
Rumah kelahiran H Agus Salim beratapkan seng yang warnanya sudah berkarat dari keperakan menjadi merah kehitaman. Atap seng ini sama seperti rumah dan atap bangunan lain pada umumnya di Sumatera Barat. Soal mengapa rumah memakai atap seng, ada banyak versi. Ada yang bilang karena tanah di Sumatera Barat ini gembur dan kurang cocok untuk dijadikan bahan baku pembuata genteng.Â
Ada juga yang menyebut karena Sumbar termasuk wilayah rawan gempa, maka atap rumah dipilih yang ringan yaitu seng. Sedangkan versi lain mengatakan, seng dipilih karena kalau menggunakan genteng yang terbuat dari tanah tidak cocok secara filosofis, dimana tanah dimaknakan untuk pemakaman. Sehingga tak elok kiranya kalau atap rumah menggunakan genteng tanah yang filosofi tanah adalah untuk pemakaman.
Di atas kursi panjang, tergantung lima bingkai foto yang menempel pada dinding kayu. Empat bingkai ukuran kecil, dan satu ukuran besar yang tak lain adalah lukisan wajah H Agus Salim. Semua foto yang dipajang hitam putih. Diantaranya adalah foto ketika H Agus Salim berbincang dengan Bung Karno, foto bersama H Agus Salim dengan istri tercinta Zainatun Nahar Almatsier, dan satu foto anak-anak H Agus Salim.
Di sisi kiri ruang tamu ini ada pintu kayu kamar yang tertutup rapat.
Dari ruang tamu, saya masuk lebih ke dalam. Ruang tengah ini terbuka, lapang. Di sisi kiri ada kamar. Pintu kayunya dicat warna putih atau krem. Sayang, pintunya tertutup. Di atas pintu ada lubang angin yang papan kayunya diukir kaligrafi bahasa Arab, bertuliskan "Bismillahirrohmaanirrahiim". Sama seperti pintu masuk utama, untuk pintu masuk kamar ini juga terdiri dari dua bilah pintu, yang kalau dibuka keduanya bisa menjadi lebar.
Ketika masuk ke ruang tengah yang lapang, di sisi kirinya almari pendek berwarna coklat tua kehitaman. Posisinya menempel pada dinding kayu. Di atas almari kayu pendek menggantung empat bingkai foto dan lukisan di dinding.Â
Tiga foto kecil, dan satu lukisan pas foto H Agus Salim yang mengenakan busana dan penutup kepala adat tradisional Minangkabau. Di dadanya tersemat dua medali penghargaan. Lukisan ini kelihatan agak beda, karena H Agus Salim tidak menampakkan janggut putih panjangnya.
Di sisi kanan almari pendek ada pintu kamar lagi, dengan pintu serta lubang angin di atas pintu yang bertuliskan kaligrafi sama. Lalu di sisi kanannya ada almari berwarna coklat tua kehitaman dan ada satu pintu kayu kamar lagi dengan warna desain dan kaligrafi yang sama. Jadi, pada sisi kiri rumah, saya sudah melihat ada tiga kamar yang saling berjajar: satu di area ruang tamu, dan dua lagi di sisi kiri ruang tengah.
Lebih masuk lagi ke dalam, pada sisi kiri rumah adalah ruang makan. Mejanya cukup besar dengan empat kursi kayu yang mengelilingi. Satu meja lagi menempel ke pojokan dinding. Di sisi kanan ruangan ini masih ada satu pintu kamar lagi, yang tentu saja pintunya menghadap ke meja makan.
Kembali ke ruang tengah, di salah satu dinding yang dekat pintu ke ruang makan, ada tergantung tengkorak kepala kerbau dengan dua tanduknya yang meruncing ke atas.
Saksi Bisu Masa Muda 'The Grand Old Man'
Rumah kelahiran 'The Grand Old Man' ini menjadi saksi bisu kisah masa muda H Agus Salim. Misalnya, di rumah inilah, H Agus Salim pernah memilih loteng sebagai tempat belajar. Lho, kok di loteng?
Mendengar selentingan kabar itu, Agus Salim merendah. Seperti yang pernah disampaikan kepada Haji Zainal, teman masa kecilnya. "Sangkaan orang-orang itu sesungguhnya keliru. Pujian orang bahwa aku luar biasa pandai adalah berlebihan, karena mungkin mereka tidak pernah melihat aku menekuni pelajaran di rumah," kata Agus Salim.
Seperti dimuat juga dalam Seri Buku Saku TEMPO : Bapak Bangsa : Agus Salim -- Diplomat Jenaka Penopang Republik, Agus Salim belajar keras di rumah. Meskipun, lingkungan kurang mendukung karena ia sering menerima tugas rumah dan ajakan bermain dari teman-teman sebayanya.
Demi menyiasati kondisi tak kondusif ini, Agus Salim punya jalan keluar yang cerdik. Siang hari sesudah makan, ia mengendap-endap naik ke loteng. Disinilah ia menekuni pelajaran yang baru didapat di sekolah sekaligus mempersiapkan pelajaran untuk keesokan harinya. Nah, lantaran di atas plafon itu gelap, Agus Salim selalu membuka beberapa bagian atap supaya cahaya dengan leluasa bisa menerobos masuk ke loteng.
Selesai belajar, sebelum turun, Agus Salim membereskan kembali bukaan sebagian atap tadi.
Sementara itu, Mukayat dalam bukunya menulis, Agus Salim rajin belajar baik di sekolah maupun di tempat pengajian. Pagi hari ia mengikuti pelajaran di sekolah, sedangkan malam harinya sebagaimana anak-anak kampung yang lain ia giat belajar tentang agama Islam dengan mengaji di surau, sehingga walaupun anak 'priyayi' tapi ia tak lepas dari lingkungannya yang agamis.
Agus Salim menamatkan ELS dengan hasil memuaskan, pada 1898. Lalu melanjutkan sekolah Hogere Burger School (HBS) selama lima tahun di Batavia (Jakarta). Mengapa musti ke Batavia, ya jelas, karena di Bukittinggi waktu itu belum ada HBS. Agus Salim lulus dari HBS dengan meraih angka yang terbaik pada 1903. Impiannya kemudian adalah melanjutkan studi ke sekolah kedokteran yaitu School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Kwitang, Batavia. Sayangnya, ia mengalami kegagalan.
Artinya, HIS Koto Gadang sengaja dibangun dan dioperasikan, untuk menyaingi HIS Pemerintah Belanda. Luar biasa hebat, sampai segitunya rasa cinta dan nasionalisme Agus Salim beserta sejumlah rekannya tadi.
Sembari mengelola sekolah, Agus Salim juga tertambat hatinya pada seorang gadis bernama Zainatun Nahar alias Jaja yang juga kelahiran Koto Gadang, 16 Desember 1893. Setelah tercapai kesepakatan dan tiadanya paksaan maka hubungan ini akhirnya dikukuhkan dengan suatu pesta pernikahan pada 12 Agustus 1912 di kediaman Almatsier di Pisang, Koto Gadang. Keduanya dikaruniai delapan anak: 4 putra dan 4 putri.
Kalaupun turis domestik dan mancanegara diinformasikan untuk berwisata ke Koto Gadang, faktanya itu lebih difokuskan untuk mengunjungi sentra kerajinan perak saja. Padahal, ketika menuju (dari dan) ke silvercrafts village itu, pelancong melewati rumah kelahiran para tokoh pejuang kemerdekaan bangsa berikut petilasan dan sejarahnya.
Alamak, ironis!
o o o O o o o
Baca juga tulisan sebelumnya:
Film "Moonrise Over Egypt" dan Keteladanan Agus Salim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H