"Seruan agar para pebatik memiliki sertifikasi halal, sangat tidak rasional. Justru akan sangat membuat batik semakin terpuruk. Secara tidak langsung hal tersebut justru akan membunuh para perajin batik dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang pasti akan memberatkan perajin."
Tanggapan yang bernada penolakan ini dilontarkan Iin Windhi Indah Tjahjani, perajin batik asal Kampung Batik Gedong, Semarang, Jawa Tengah kepada penulis melalui chat WhatsApp, kemarin.
Iin mengomentari pernyataan Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah agar para pebatik wajib memiliki sertifikat halal sebelum tahun 2019 sesuai Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. "Karena dengan tidak menjual barang yang tersertifikasi halal ada sanksi pidananya, untuk itu kita berikan sosialisasi kepada para pebatik," katanya di Cirebon, Sabtu (27/1).
Undang-undang ini akan mulai berlaku pada 2019. "Maka jauh sebelum itu kami memberikan masukan, kepada para perajin batik untuk mengurus itu semua (sertifikasi halal -- red). Karena mulai tahun 2019 itu undang-undang sudah berlaku," ujarnya seraya menambahkan undang-undang mewajibkan bahwa yang bersertifikasi halal bukan hanya makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi dan produk rekayasa genetik.
"Barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti batik, kopiah, dan lainnya wajib disertifikasi halal juga. Kriteria halal itu mulai dari bahan baku sampai jadinya, seperti morinya, warnanya dan prosesnya harus halal semua terhindar dari najis," tuturnya seperti dimuat oleh Antara.
Iin Windhi juga mengatakan, perlu diketahui, para perajin batik sebagian besar dari Sumber Daya Manusia yang berpendidikan rendah. Dan mungkin bisa diketahui hasil dari selembar kain batik terkadang tidak sesuai dengan tenaga dan seni yang mereka keluarkan. Tapi, mereka tetap harus berusaha bertahan untuk dirinya dan mempertahankan atau melestarikan batik. "Sebegitu susahnya mereka harus bertahan, kenapa masih saja harus dibebani dengan berbagai aturan? Kenapa tidak membantu dalam hal lain yang bisa untuk melindungi mereka dari ekonomi pasar bebas dan kepunahan batik?" tanyanya dengan nada kesal.
Kalaupun sertifikasi halal ini wajib dan pengurusannya pun gratis, menurut Iin, tetap bukan sesuatu yang rasional. Karena memang bukan itu yang dibutuhkan perajin batik saat ini. Cobalah lihat dan tanyakan apa yang menjadi kesulitan perajin sekarang ini.
"Apalagi tentang batik yang sebenarnya saja, masyarakat Indonesia masih banyak yang belum tahu. Sementara, negara tetangga justru makin menunjukkan keinginan untuk memproduksi batik sendiri. Untuk kasus ini saja, bagaimana perlindungan Pemerintah terkait hal ini? Apa yang sudah dilakukan Pemerintah dalam hal ini? Sudah maksimalkah? Bagaimana tindakan Pemerintah? Apa juga sudah maksimal?" tanya Iin.
Jangan komersialisasi sertifikasi halal
Sementara itu, Budi Darmawan selaku salah seorang penggagas Rumah Batik Palbatu di Tebet, Jakarta Selatan mengatakan, kewajiban sertifikasi halal batik harus jelas maksud dan tujuannya supaya tidak ada rekayasa. "Maklum, dalam hal mengurus dokumen di negeri ini, terkadang masih simpang siur. Kita bisa melihat bagaimana pengurusan dan penyelesaian dokumen untuk keanggotaan BPJS dan e-KTP. Untuk urusan dokumen yang menyangkut nyawa manusia saja kadang masih dipermainkan, padahal ini lebih penting daripada sertifikat halal," ujar Iwan, sapaan akrabnya kepada penulis.
Menurut Iwan, untuk masalah batik ini sebenarnya sudah cukup jelas, yaitu bukan masalah perlu atau tidaknya sertifikasi halal. Justru yang masih belum jelas adalah tujuan sertifikasi itu sendiri, dan lembaga apa yang melakukan sertifikasi. "Dan, kepentingannya murni apa tidak?" tanyanya.
Iwan memberi contoh, di negara-negara yang penduduknya banyak nonmuslim, tak jarang malah memperlihatkan sikap lebih care terhadap masalah halal-haram tanpa perlu ada sertifikasi segala. "Saya pernah masuk ke toko sepatu di Singapura, dan pegawai toko bertanya lebih dulu, apakah saya muslim dengan alasan produk sepatunya ada yang mengandung kulit babi. Ini lebih realistis daripada sertifikat yang belum jelas manfaatnya," jelas Iwan.
UKM/IKM batik jangan diwajibkan
Penjelasan rinci disampaikan Dr H Komarudin Kudiya SIP M.Ds selaku Ketua Umum Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) melalui siaran persnya. Menurutnya, istilah batik dan kain batik adalah merupakan dua hal yang berbeda. Ketika kata batik dikategorikan sebagai nonbendawi, maka pengakuan dari UNESCO telah membuktikan bahwa batik merupakan Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity). Dengan demikian bila batik dilihat dari sudut pandang ini, maka tidak perlu dilakukan sertifikasi halal atau sertifikasi-sertifikasi lainnya.
"Batik telah cukup lama menghiasi relung-relung kehidupan masyarakat Indonesia. Nafas batik mewarnai kehidupan bangsa dalam segala keadaan, di saat bangsa ini mengalami penjajahan dan penindasan bangsa Belanda kemudian dilanjutkan Jepang, batik tetap hidup dan menghidupi sebagian masyarakat yang larut dalam ruh batik Indonesia."
"Batik pada hakekatnya merupakan falsafah hidup bangsa yang di antaranya mengajarkan tentang bersikap sabar, menerima, berbagi dengan sesama dan hal-hal lain tentang makna kehidupan bangsa, termasuk di dalamnya ada unsur gotong-royong dan berbagi dengan sesama. Maka dari segi mana sertifikasi yang akan dilakukan kepada batik," jelas Komarudin.
A. Bahan-bahan pembuat kain batik
Proses pembuatan kain dasar batik yang digunakan untuk membuat kain batik, antara lain menggunakan benang (serat) yang bersumber dari jenis protein seperti wol (domba), sutera (ulat sutera), dan bulu (hewan berbulu).
Sedangkan benang yang berasal dari selulosa, di antaranya: kapas (biji buah kapas), kapuk (kapuk), linen (tangkai linen), goni (tangkai rami), hemp (tangkai hemp atau abaca), rami (rumput rhea), sisal (daun agave), sabut (sabut kelapa), dan pina (daun nanas).
Setelah mengetahui jenis-jenis seratnya, langkah selanjutnya harus mengenali bagaimana serat-serat tersebut dibuat menjadi lembaran kain-kain dasar, yang akan digunakan untuk membuat kain batik.
* Benang di-kanji (sizing). Proses sizing adalah sebuah proses untuk melapisi benang- benang lusi dengan campuran kimia tertentu agar benang- benang tersebut mampu ditenun dengan baik sesuai dengan hasil yang diharapkan.
* Benang di-tenun (weaving). Proses weaving adalah benang ditenun, tujuannya agar membentuk lembaran kain yang akan digunakan sebagai bahan dasar untuk pakaian atau lainnya.
* Penghilangan kanji. Tujuan dari proses penghilangan kanji di antaranya, agar benang yang ditenun ketika diberi warna akan mudah menyerap warna dan kain akan menjadi halus. Agar kanji larut dalam air, kanji harus dihidrolisa atau dioksidasi menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga rantai molekulnya lebih pendek dan mudah larut dalam air. Untuk menghilangkan kanji dikenal beberapa cara, mulai dari perendaman, asam encer, alkali encer, enzim, dan oksidator.
Pada saat penghilangan kanji inilah, diduga ada bahan-bahan kimia yang asalnya disinyalir dari enzim babi. Ada 3 golongan enzima yang digunakan untuk proses penghilangan kanji yaitu enzim mout/malt diastase, enzim bakteri diastase, dan enzim pankreas diastase. Nah, jenis enzim pankreas diastase ini diperoleh dari kelenjar-kelenjar ludah perut babi dengan nama dagang Novofermasol As, Dagomma, Anamyl, Viveral, Ultraferment, Enzymoline, Oyatsime, dan lainnya.
Kain batik bisa dikategorikan berdasarkan proses pembuatannya, mulai dari batik tulis, batik cap, serta batik kombinasi tulis dan cap. Ini semua berdasarkan SNI 0239:2014.
Batik adalah kerajinan tangan sebagai hasil pewarnaan secara perintangan menggunakan malam (lilin batik) panas sebagai perintang warna dengan alat utama pelekat lilin batik berupa canting tulis dan atau canting cap untuk membentuk motif tertentu yang memiliki makna. Batik tulis adalah batik yang dibuat dengan menggunakan alat utama canting tulis sebagai alat melekatkan malam. Batik cap adalah batik yang dibuat dengan menggunakan alat utama canting cap sebagai alat melekatkan malam. Batik kombinasi adalah batik yang dibuat dengan menggunakan alat utama canting cap dan canting tulis.
Proses pembuatan kain batik merupakan tahapan setelah bahan dasar kain batik sudah tersedia. Dimulai dari persiapan gambar sketsa, kemudian pelilinan pada lembaran kain dasar yang pada umumnya berwarna putih.
Selain proses pelilinan pada kain, tentunya harus mengenal juga bahan-bahan pembuat lilin batik (malam batik), di antaranya:
a. Lilin/malam tawon (beewax)
b. Gondorukem
c. Getah Damar
d. Parafin
e. Microwax
f. Kendal
Setelah selesai dalam proses pelilinan, maka barulah pebatik dapat melakukan proses pewarnaan dengan menggunakan zat-zat pewarna. Pewarna kain batik, umumnya dapat dikategorikan menjadi dua jenis: zat pewarna alam (natural dye) dan zat pewarna sintetis (synthetic dye).
Sedangkan zat pewarna sintetis, diproses atau dihasilkan secara sintetis (buatan) oleh industri. Zat pewarna sintetis tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 7 bahan warna yaitu: napthol, indigosol, rapide, ergan soga, kopel soga, chroom soga, dan reaktif (procion, remazol dan lainnya).
Unsur-unsur zat kimia yang menyertai zat pewarna batik tersebut di atas (untuk zat warna alami maupun zat warna sintetis) di antaranya adalah sebagai berikut: TRO (Turkish Red Oil) atau yang disebut juga sebagai bahan dasar sabun, nitrit, coustic soda, soda ash, hidro sulfit, tawas, tembaga sulfit, asam sulfat, asam chlorida dan lain-lain. Hampir semua zat kimia ini tidak ada yang bersumber dari lemak binatang.
Setelah seluruh proses pembuatan kain batik selesai, maka perajin batik akan mendapatkan kain-kain produk batik, seperti misalnya kain sarung, kain panjang (sinjang), kain kemeja, kain blouse dan lainnya.
Menurut Komarudin Kudiya lagi, terkait isu yang sekarang terlangsung yakni perlunya Sertifikasi Halal terhadap kain batik, bila melihat secara proses dari awal - di antaranya ada pada proses penghilangan pengkanjian yang disinyalir menggunakan enzim babi - maka penelusuran lebih dalam pun sudah dilakukan.
"Hasilnya? Berdasarkan hasil investigasi yang telah saya lakukan dalam beberapa hari ini, setidaknya akan terjawab dan tidak akan lagi mendatangkan keraguan bagi produsen kain batik termasuk pengguna kain-kain batik tradisional, baik kain batik tulis, kain batik cap maupun kain batik kombinasi. Hal tersebut dikarenakan, pada proses pembuatan kain-kain batik tersebut telah menggunakan bahan-bahan yang tidak najis atau zat haram yang digunakan pada proses produksinya," urai pendiri sekaligus pemilik Rumah Batik Komar di Bandung, Jawa Barat ini.
Masalah produk kain batik tersebut muncul, ketika kain batik digunakan sebagai bagian dari sarana ibadah umat muslim di mana pun. Karena bagi umat muslim, perlu kepastian hukum bahwa kain yang digunakan sebagai sarana ibadah harus bersih dan terhindar dari najis.
Dalam hal melaksanakan ibadah shalat, para fuqoha mendahulukan pembahasan thaharah (bersuci) daripada pembahasan shalat karena thaharah adalah pembuka shalat sekaligus syarat sahnya shalat. Nabi Muhammad saw bersabda: "Kunci shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir dan penghalalannya adalah salam." [Hadits Shahih Hasan, dikeluarkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah dari 'Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu 'anhu]
Definisi ini diambil dari kalangan Hanafiyah. An-Nawawi (dari kalangan Syafi'iyah) mendefinisikan thaharah dengan "mengangkat hadats dan menghilangkan najis, atau yang semakna dan memiliki sifat yang sama dengannya".
Urgensi thaharah sangat penting dalam Islam, baik thaharah secara hakikat yaitu mensucikan pakaian, badan dan tempat shalat dari najis, maupun secara hukum yaitu menyucikan anggota badan dari hadats, dan mensucikan seluruh tubuh dari janabah. Hal ini karena merupakan syarat sahnya shalat.
Sehingga dalam hal ini, bukan saja pada pakaian (kain batik), pada pakaian-pakaian lainnya pun hendaknya perlu sekali kejelasan tentang kehalalan atau kesuciannya. Maka muncul kemudian diperlukannya Sertifikat Halal untuk kain batik, walaupun oleh sebagian orang dikatakan tidak perlu atau apa perlunya batik disertifikasi kehalalannya.
"Yang disertifikasi itu tentunya bukan batik sebagai nonbendawi, namun mungkin kain-kain batik (bendawi) tersebut yang dimaksudkan sejauh ini. Walaupun, jangan terlalu dirisaukan karena akan kita buktikan bahwa dalam proses pembuatan batik sudah dinyatakan halal," tegas Komarudin yang juga anggota pengurus Yayasan Batik Indonesia(YBI) dan Ketua Harian Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB) ini.
Akhirnya, APPBI pun mengeluarkan 7 sikap terkait pro-kontra sertifikasi halal batik. Yaitu:
Satu, bagi para produsen batik dan khususnya bagi pengguna kain-kain batik tidak perlu merasa risau dengan adanya isu penggunaan sertifikasi halal untuk kain-kain batik.
Dua, sikap kehati-hatian sangat diperlukan dalam menyikapi segala bentuk isu dan informasi yang menyesatkan.
Tiga, bagi unsur pemerintah terkait, sudah seharusnya segera menertibkan atau memberikan peringatan bagi produsen-produsen besar penghasil kain untuk menyertifikasi produk-produk kainnya, serta mengawasinya dengan ketat dan berikan sanksi hukum bagi yang melanggar.
Empat, Pemerintah harus bisa bertindak tegas bagi produsen kain batik, produsen bahan pembantu proses batik yang sekiranya terdapat bahan-bahan yang berbahaya terlebih lagi pada penggunaan bahan-bahan yang dikategorikan memiliki sifat najis (kotor menurut syar'i).
Lima, sertifikasi halal ini jangan dijadikan suatu keharusan bagi produsen-produsen batik bersekala UKM/IKM maupun lainnya, karena mereka sebenarnya pemakai dari bahan-bahan yang diproduksi dari pabrik-pabrik besar yang menyuplai para perajin batik.
Enam, wajibkan kepada para produsen bahan-bahan batik, bahan-bahan pembantu proses batik dan produsen bahan-bahan pewarna menjelaskan kandungan atau esensi dari produk-produk yang dijualnya.
Tujuh, Pemerintah hendaknya mewajibkan terlebih dahulu sertifikasi pada pabrik-pabrik besar tersebut sebelum melangkah kepada perajin batik tradisional tersebut.
Ada baiknya Pemerintah dan pihak-pihak terkait memperhatikan juga 7 sikap APPBI ini, supaya win win solution, tak ada yang dikecewakan.
oooOooo
Baca juga tulisan soal batik sebelumnya:
- Lahirlah Kampung Batik Kembang Mayang
- Filosofi Membatik Seperti Curahan Kasih Ibu
- Selamatkan Batik Indonesia dari Batik Tiruan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H