Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengapa Usulan Sertifikasi Halal Batik Ditolak oleh Perajin?

4 Februari 2018   22:45 Diperbarui: 6 Februari 2018   06:52 3876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanah Liek atau tanah liat dipergunakan untuk mewarnai Batik Minang Tanah Liek di Sumatera Barat. (Foto: Gapey Sandy)

"Seruan agar para pebatik memiliki sertifikasi halal, sangat tidak rasional. Justru akan sangat membuat batik semakin terpuruk. Secara tidak langsung hal tersebut justru akan membunuh para perajin batik dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang pasti akan memberatkan perajin."

Tanggapan yang bernada penolakan ini dilontarkan Iin Windhi Indah Tjahjani, perajin batik asal Kampung Batik Gedong, Semarang, Jawa Tengah kepada penulis melalui chat WhatsApp, kemarin.

Iin mengomentari pernyataan Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah agar para pebatik wajib memiliki sertifikat halal sebelum tahun 2019 sesuai Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. "Karena dengan tidak menjual barang yang tersertifikasi halal ada sanksi pidananya, untuk itu kita berikan sosialisasi kepada para pebatik," katanya di Cirebon, Sabtu (27/1).

Undang-undang ini akan mulai berlaku pada 2019. "Maka jauh sebelum itu kami memberikan masukan, kepada para perajin batik untuk mengurus itu semua (sertifikasi halal -- red). Karena mulai tahun 2019 itu undang-undang sudah berlaku," ujarnya seraya menambahkan undang-undang mewajibkan bahwa yang bersertifikasi halal bukan hanya makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi dan produk rekayasa genetik.

"Barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti batik, kopiah, dan lainnya wajib disertifikasi halal juga. Kriteria halal itu mulai dari bahan baku sampai jadinya, seperti morinya, warnanya dan prosesnya harus halal semua terhindar dari najis," tuturnya seperti dimuat oleh Antara.

Proses membatik. (Foto: screenshot video Rumah Batik Komar)
Proses membatik. (Foto: screenshot video Rumah Batik Komar)
Kewajiban sertifikasi halal bagi perajin batik memang seperti "petir di siang bolong". Khususnya bagi perajin batik yang berbasis pada usaha atau industri kecil masyarakat. Tak sedikit yang harus menghadapi kenyataan bahwa belum juga mengurus sertifikat kompetensi membatik, sekarang sudah diharuskan lagi mengurus sertifikat halal. Padahal, mereka ini cuma perajin yang berada di posisi hulu. Artinya, mengapa bukan produsen kain dan bahan-bahan dasar membuat batik - yang notabene pengusaha besar - itu saja yang diwajibkan "menghalalkan" seluruh input, proses dan output pabrikannya? Sehingga, UKM atau IKM batik yang "kecil-kecil" bisa langsung menerima matang saja atas segala risiko "kehalalannya".

Iin Windhi juga mengatakan, perlu diketahui, para perajin batik sebagian besar dari Sumber Daya Manusia yang berpendidikan rendah. Dan mungkin bisa diketahui hasil dari selembar kain batik terkadang tidak sesuai dengan tenaga dan seni yang mereka keluarkan. Tapi, mereka tetap harus berusaha bertahan untuk dirinya dan mempertahankan atau melestarikan batik. "Sebegitu susahnya mereka harus bertahan, kenapa masih saja harus dibebani dengan berbagai aturan? Kenapa tidak membantu dalam hal lain yang bisa untuk melindungi mereka dari ekonomi pasar bebas dan kepunahan batik?" tanyanya dengan nada kesal.

Kalaupun sertifikasi halal ini wajib dan pengurusannya pun gratis, menurut Iin, tetap bukan sesuatu yang rasional. Karena memang bukan itu yang dibutuhkan perajin batik saat ini. Cobalah lihat dan tanyakan apa yang menjadi kesulitan perajin sekarang ini.

"Apalagi tentang batik yang sebenarnya saja, masyarakat Indonesia masih banyak yang belum tahu. Sementara, negara tetangga justru makin menunjukkan keinginan untuk memproduksi batik sendiri. Untuk kasus ini saja, bagaimana perlindungan Pemerintah terkait hal ini? Apa yang sudah dilakukan Pemerintah dalam hal ini? Sudah maksimalkah? Bagaimana tindakan Pemerintah? Apa juga sudah maksimal?" tanya Iin.

KANAN: Iin Windhi Indah Tjahjani, perajin batik asal Kampung Batik Gedong, Semarang, Jawa Tengah. (Foto: FB Cinta Batik Semarang)
KANAN: Iin Windhi Indah Tjahjani, perajin batik asal Kampung Batik Gedong, Semarang, Jawa Tengah. (Foto: FB Cinta Batik Semarang)
Iin mencontohkan, dulu di Jepara sebagian perajin memproduksi Kain Sutra sendiri. Tapi lantaran harga tidak bisa bersaing dengan produk negara lain, maka akhirnya mereka gulung tikar. Lantas apa tindakan Pemerintah? Nah, bercermin dari pengalaman tersebut, apa batik juga akan sama dengan seperti itu? "Lha wong sertifikat kompetensi untuk perajin batik saja tidak banyak imbas positifnya kepada para perajin batik. Padahal hal ini sudah jelas-jelas untuk melindungi kompetensi kemampuan SDM perajin. Terus bagaimana juga dengan sertifikasi halal batik? Coba dijawab saja, seorang perajin batik itu mereka menjual atau membuat seni?" tuturnya prihatin.

Jangan komersialisasi sertifikasi halal

Sementara itu, Budi Darmawan selaku salah seorang penggagas Rumah Batik Palbatu di Tebet, Jakarta Selatan mengatakan, kewajiban sertifikasi halal batik harus jelas maksud dan tujuannya supaya tidak ada rekayasa. "Maklum, dalam hal mengurus dokumen di negeri ini, terkadang masih simpang siur. Kita bisa melihat bagaimana pengurusan dan penyelesaian dokumen untuk keanggotaan BPJS dan e-KTP. Untuk urusan dokumen yang menyangkut nyawa manusia saja kadang masih dipermainkan, padahal ini lebih penting daripada sertifikat halal," ujar Iwan, sapaan akrabnya kepada penulis.

Menurut Iwan, untuk masalah batik ini sebenarnya sudah cukup jelas, yaitu bukan masalah perlu atau tidaknya sertifikasi halal. Justru yang masih belum jelas adalah tujuan sertifikasi itu sendiri, dan lembaga apa yang melakukan sertifikasi. "Dan, kepentingannya murni apa tidak?" tanyanya.

Iwan memberi contoh, di negara-negara yang penduduknya banyak nonmuslim, tak jarang malah memperlihatkan sikap lebih care terhadap masalah halal-haram tanpa perlu ada sertifikasi segala. "Saya pernah masuk ke toko sepatu di Singapura, dan pegawai toko bertanya lebih dulu, apakah saya muslim dengan alasan produk sepatunya ada yang mengandung kulit babi. Ini lebih realistis daripada sertifikat yang belum jelas manfaatnya," jelas Iwan.

Budi Darmawan, salah seorang penggagas Kampoeng Batil Palbatu di Jakarta. (Foto: FB Budi Darmawan)
Budi Darmawan, salah seorang penggagas Kampoeng Batil Palbatu di Jakarta. (Foto: FB Budi Darmawan)
Iwan melanjutkan, mengapa dirinya meragukan kepentingan sertifikasi halal ini murni atau tidak, karena dengan sertifikat halal ini apakah benar-benar menjamin kehalalan atau hanya sekadar formalitas saja. "Apakah bukan karena mencari dana saja, sehingga akhirnya perajin batik "dipaksa" untuk mendapat sertifikat halal dengan cara membayar. Padahal batik tak perlu sertifikat halal-haram karena, jelas dan pasti bahwa batik yang benar itu tidak mengandung unsur haram," terang sosok yang juga aktif membidani kelahiran Kampung Batik Kembang Mayang di Larangan Selatan, Kota Tangerang, Banten ini.

UKM/IKM batik jangan diwajibkan

Penjelasan rinci disampaikan Dr H Komarudin Kudiya SIP M.Ds selaku Ketua Umum Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) melalui siaran persnya. Menurutnya, istilah batik dan kain batik adalah merupakan dua hal yang berbeda. Ketika kata batik dikategorikan sebagai nonbendawi, maka pengakuan dari UNESCO telah membuktikan bahwa batik merupakan Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity). Dengan demikian bila batik dilihat dari sudut pandang ini, maka tidak perlu dilakukan sertifikasi halal atau sertifikasi-sertifikasi lainnya.

"Batik telah cukup lama menghiasi relung-relung kehidupan masyarakat Indonesia. Nafas batik mewarnai kehidupan bangsa dalam segala keadaan, di saat bangsa ini mengalami penjajahan dan penindasan bangsa Belanda kemudian dilanjutkan Jepang, batik tetap hidup dan menghidupi sebagian masyarakat yang larut dalam ruh batik Indonesia."

"Batik pada hakekatnya merupakan falsafah hidup bangsa yang di antaranya mengajarkan tentang bersikap sabar, menerima, berbagi dengan sesama dan hal-hal lain tentang makna kehidupan bangsa, termasuk di dalamnya ada unsur gotong-royong dan berbagi dengan sesama. Maka dari segi mana sertifikasi yang akan dilakukan kepada batik," jelas Komarudin.

Komarudin Kudiya, Ketua Umum Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia. (Foto: Gapey Sandy)
Komarudin Kudiya, Ketua Umum Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia. (Foto: Gapey Sandy)
Akan tetapi, lanjutnya, bila kata batik dilihat dari perspektif bendawi yang dinamakan Kain Batik, maka harus mengenali seluruh proses yang ada di dalamnya. Apabila membicarakan kain batik, secara singkat berarti akan dikenalkan pada sebagai berikut mulai:

A. Bahan-bahan pembuat kain batik

Proses pembuatan kain dasar batik yang digunakan untuk membuat kain batik, antara lain menggunakan benang (serat) yang bersumber dari jenis protein seperti wol (domba), sutera (ulat sutera), dan bulu (hewan berbulu).

Sedangkan benang yang berasal dari selulosa, di antaranya: kapas (biji buah kapas), kapuk (kapuk), linen (tangkai linen), goni (tangkai rami), hemp (tangkai hemp atau abaca), rami (rumput rhea), sisal (daun agave), sabut (sabut kelapa), dan pina (daun nanas).

Setelah mengetahui jenis-jenis seratnya, langkah selanjutnya harus mengenali bagaimana serat-serat tersebut dibuat menjadi lembaran kain-kain dasar, yang akan digunakan untuk membuat kain batik.

Seorang pengunjung tengah menyaksikan sejumlah karya batik Nusantara yang dipamerkan di Jakarta belum lama ini. (Foto: Gapey Sandy)
Seorang pengunjung tengah menyaksikan sejumlah karya batik Nusantara yang dipamerkan di Jakarta belum lama ini. (Foto: Gapey Sandy)
Proses pembuatan kain dasar batik adalah seperti berikut:

* Benang di-kanji (sizing). Proses sizing adalah sebuah proses untuk melapisi benang- benang lusi dengan campuran kimia tertentu agar benang- benang tersebut mampu ditenun dengan baik sesuai dengan hasil yang diharapkan.

* Benang di-tenun (weaving). Proses weaving adalah benang ditenun, tujuannya agar membentuk lembaran kain yang akan digunakan sebagai bahan dasar untuk pakaian atau lainnya.

* Penghilangan kanji. Tujuan dari proses penghilangan kanji di antaranya, agar benang yang ditenun ketika diberi warna akan mudah menyerap warna dan kain akan menjadi halus. Agar kanji larut dalam air, kanji harus dihidrolisa atau dioksidasi menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga rantai molekulnya lebih pendek dan mudah larut dalam air. Untuk menghilangkan kanji dikenal beberapa cara, mulai dari perendaman, asam encer, alkali encer, enzim, dan oksidator.

Pada saat penghilangan kanji inilah, diduga ada bahan-bahan kimia yang asalnya disinyalir dari enzim babi. Ada 3 golongan enzima yang digunakan untuk proses penghilangan kanji yaitu enzim mout/malt diastase, enzim bakteri diastase, dan enzim pankreas diastase. Nah, jenis enzim pankreas diastase ini diperoleh dari kelenjar-kelenjar ludah perut babi dengan nama dagang Novofermasol As, Dagomma, Anamyl, Viveral, Ultraferment, Enzymoline, Oyatsime, dan lainnya.

Proses membatik. (Foto: screenshot video Rumah Batik Komar)
Proses membatik. (Foto: screenshot video Rumah Batik Komar)
B. Proses membuat kain batik

Kain batik bisa dikategorikan berdasarkan proses pembuatannya, mulai dari batik tulis, batik cap, serta batik kombinasi tulis dan cap. Ini semua berdasarkan SNI 0239:2014.

Batik adalah kerajinan tangan sebagai hasil pewarnaan secara perintangan menggunakan malam (lilin batik) panas sebagai perintang warna dengan alat utama pelekat lilin batik berupa canting tulis dan atau canting cap untuk membentuk motif tertentu yang memiliki makna. Batik tulis adalah batik yang dibuat dengan menggunakan alat utama canting tulis sebagai alat melekatkan malam. Batik cap adalah batik yang dibuat dengan menggunakan alat utama canting cap sebagai alat melekatkan malam. Batik kombinasi adalah batik yang dibuat dengan menggunakan alat utama canting cap dan canting tulis.

Proses pembuatan kain batik merupakan tahapan setelah bahan dasar kain batik sudah tersedia. Dimulai dari persiapan gambar sketsa, kemudian pelilinan pada lembaran kain dasar yang pada umumnya berwarna putih.

Selain proses pelilinan pada kain, tentunya harus mengenal juga bahan-bahan pembuat lilin batik (malam batik), di antaranya:

a. Lilin/malam tawon (beewax)

b. Gondorukem

c. Getah Damar

d. Parafin

e. Microwax

f. Kendal

Setelah selesai dalam proses pelilinan, maka barulah pebatik dapat melakukan proses pewarnaan dengan menggunakan zat-zat pewarna. Pewarna kain batik, umumnya dapat dikategorikan menjadi dua jenis: zat pewarna alam (natural dye) dan zat pewarna sintetis (synthetic dye).

Batik Minang Tanah Liek di Sumatera Barat, antara lain menggunakan pewarna dari tanah liat. (Foto: Gapey Sandy)
Batik Minang Tanah Liek di Sumatera Barat, antara lain menggunakan pewarna dari tanah liat. (Foto: Gapey Sandy)
Zat pewarna alam dihasilkan dari unsur warna yang dapat diperoleh dari berbagai macam tumbuhan. Misalnya pada bagian buah, akar, daun juga kulit pohon.

Sedangkan zat pewarna sintetis, diproses atau dihasilkan secara sintetis (buatan) oleh industri. Zat pewarna sintetis tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 7 bahan warna yaitu: napthol, indigosol, rapide, ergan soga, kopel soga, chroom soga, dan reaktif (procion, remazol dan lainnya).

Unsur-unsur zat kimia yang menyertai zat pewarna batik tersebut di atas (untuk zat warna alami maupun zat warna sintetis) di antaranya adalah sebagai berikut: TRO (Turkish Red Oil) atau yang disebut juga sebagai bahan dasar sabun, nitrit, coustic soda, soda ash, hidro sulfit, tawas, tembaga sulfit, asam sulfat, asam chlorida dan lain-lain. Hampir semua zat kimia ini tidak ada yang bersumber dari lemak binatang.

Tanah Liek atau tanah liat dipergunakan untuk mewarnai Batik Minang Tanah Liek di Sumatera Barat. (Foto: Gapey Sandy)
Tanah Liek atau tanah liat dipergunakan untuk mewarnai Batik Minang Tanah Liek di Sumatera Barat. (Foto: Gapey Sandy)
Kulit Jengkol dipergunakan untuk mewarnai Batik Minang Tanah Liek di Sumatera Barat. (Foto: Gapey Sandy)
Kulit Jengkol dipergunakan untuk mewarnai Batik Minang Tanah Liek di Sumatera Barat. (Foto: Gapey Sandy)
C. Penggunaan kain produk batik

Setelah seluruh proses pembuatan kain batik selesai, maka perajin batik akan mendapatkan kain-kain produk batik, seperti misalnya kain sarung, kain panjang (sinjang), kain kemeja, kain blouse dan lainnya.

Menurut Komarudin Kudiya lagi, terkait isu yang sekarang terlangsung yakni perlunya Sertifikasi Halal terhadap kain batik, bila melihat secara proses dari awal - di antaranya ada pada proses penghilangan pengkanjian yang disinyalir menggunakan enzim babi - maka penelusuran lebih dalam pun sudah dilakukan.

"Hasilnya? Berdasarkan hasil investigasi yang telah saya lakukan dalam beberapa hari ini, setidaknya akan terjawab dan tidak akan lagi mendatangkan keraguan bagi produsen kain batik termasuk pengguna kain-kain batik tradisional, baik kain batik tulis, kain batik cap maupun kain batik kombinasi. Hal tersebut dikarenakan, pada proses pembuatan kain-kain batik tersebut telah menggunakan bahan-bahan yang tidak najis atau zat haram yang digunakan pada proses produksinya," urai pendiri sekaligus pemilik Rumah Batik Komar di Bandung, Jawa Barat ini.

Masalah produk kain batik tersebut muncul, ketika kain batik digunakan sebagai bagian dari sarana ibadah umat muslim di mana pun. Karena bagi umat muslim, perlu kepastian hukum bahwa kain yang digunakan sebagai sarana ibadah harus bersih dan terhindar dari najis.

Dalam hal melaksanakan ibadah shalat, para fuqoha mendahulukan pembahasan thaharah (bersuci) daripada pembahasan shalat karena thaharah adalah pembuka shalat sekaligus syarat sahnya shalat. Nabi Muhammad saw bersabda: "Kunci shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir dan penghalalannya adalah salam." [Hadits Shahih Hasan, dikeluarkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah dari 'Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu 'anhu]

Proses membatik dengan menggunakan tanah liat di Batik Minang Tanah Liek, Sumatera Barat. (Foto: Gapey Sandy)
Proses membatik dengan menggunakan tanah liat di Batik Minang Tanah Liek, Sumatera Barat. (Foto: Gapey Sandy)
Secara bahasa, thaharah berarti bersih dari kotoran, baik secara fisik seperti bersih dari air kencing, maupun secara maknawi seperti bersih dari maksiat. Sedangkan secara syar'i, thaharah berarti bersih dari najis, baik secara hakikat yaitu dari khabats (sesuatu yang dianggap kotor dan jijik menurut syara'), maupun secara hukum yaitu dari hadats (sesuatu yang menurut syara' jika terdapat pada seseorang, ia akan kehilangan kesucian).

Definisi ini diambil dari kalangan Hanafiyah. An-Nawawi (dari kalangan Syafi'iyah) mendefinisikan thaharah dengan "mengangkat hadats dan menghilangkan najis, atau yang semakna dan memiliki sifat yang sama dengannya".

Urgensi thaharah sangat penting dalam Islam, baik thaharah secara hakikat yaitu mensucikan pakaian, badan dan tempat shalat dari najis, maupun secara hukum yaitu menyucikan anggota badan dari hadats, dan mensucikan seluruh tubuh dari janabah. Hal ini karena merupakan syarat sahnya shalat.

Sehingga dalam hal ini, bukan saja pada pakaian (kain batik), pada pakaian-pakaian lainnya pun hendaknya perlu sekali kejelasan tentang kehalalan atau kesuciannya. Maka muncul kemudian diperlukannya Sertifikat Halal untuk kain batik, walaupun oleh sebagian orang dikatakan tidak perlu atau apa perlunya batik disertifikasi kehalalannya.

"Yang disertifikasi itu tentunya bukan batik sebagai nonbendawi, namun mungkin kain-kain batik (bendawi) tersebut yang dimaksudkan sejauh ini. Walaupun, jangan terlalu dirisaukan karena akan kita buktikan bahwa dalam proses pembuatan batik sudah dinyatakan halal," tegas Komarudin yang juga anggota pengurus Yayasan Batik Indonesia(YBI) dan Ketua Harian Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB) ini.

Seorang model memamerkan busana batik yang modis. (Foto: Gapey Sandy)
Seorang model memamerkan busana batik yang modis. (Foto: Gapey Sandy)
Saran APPBI terkait sertifikat halal batik

Akhirnya, APPBI pun mengeluarkan 7 sikap terkait pro-kontra sertifikasi halal batik. Yaitu:

Satu, bagi para produsen batik dan khususnya bagi pengguna kain-kain batik tidak perlu merasa risau dengan adanya isu penggunaan sertifikasi halal untuk kain-kain batik.

Dua, sikap kehati-hatian sangat diperlukan dalam menyikapi segala bentuk isu dan informasi yang menyesatkan.

Tiga, bagi unsur pemerintah terkait, sudah seharusnya segera menertibkan atau memberikan peringatan bagi produsen-produsen besar penghasil kain untuk menyertifikasi produk-produk kainnya, serta mengawasinya dengan ketat dan berikan sanksi hukum bagi yang melanggar.

Empat, Pemerintah harus bisa bertindak tegas bagi produsen kain batik, produsen bahan pembantu proses batik yang sekiranya terdapat bahan-bahan yang berbahaya terlebih lagi pada penggunaan bahan-bahan yang dikategorikan memiliki sifat najis (kotor menurut syar'i).

Lima, sertifikasi halal ini jangan dijadikan suatu keharusan bagi produsen-produsen batik bersekala UKM/IKM maupun lainnya, karena mereka sebenarnya pemakai dari bahan-bahan yang diproduksi dari pabrik-pabrik besar yang menyuplai para perajin batik.

Enam, wajibkan kepada para produsen bahan-bahan batik, bahan-bahan pembantu proses batik dan produsen bahan-bahan pewarna menjelaskan kandungan atau esensi dari produk-produk yang dijualnya.

Tujuh, Pemerintah hendaknya mewajibkan terlebih dahulu sertifikasi pada pabrik-pabrik besar tersebut sebelum melangkah kepada perajin batik tradisional tersebut.

Pengunjung galeri Batik Banten di Cipocok, Serang, Banten tengah berpose dengan latarbelakang info motif batik Banten. (Foto: Gapey Sandy)
Pengunjung galeri Batik Banten di Cipocok, Serang, Banten tengah berpose dengan latarbelakang info motif batik Banten. (Foto: Gapey Sandy)
Bagaimana kelanjutannya? Masih bakal rame kayak-kayaknya.

Ada baiknya Pemerintah dan pihak-pihak terkait memperhatikan juga 7 sikap APPBI ini, supaya win win solution, tak ada yang dikecewakan.

oooOooo

Baca juga tulisan soal batik sebelumnya:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun