Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jurnalis dan Pertanyaan Kurang Empati

17 Januari 2018   21:41 Diperbarui: 22 Januari 2018   09:56 3923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maestro talkshow, Larry King. (Foto: canyon-news.com)
Maestro talkshow, Larry King. (Foto: canyon-news.com)
Terbukti kan, betapa rempong -- harus begini-begitu - melakukan wawancara tak terencana apalagi dalam kemasan live show. Makanya kita mahfum ketika Ulish Anwar yang sudah berpengalaman dalam bidang komunikasi sekalipun menganggap wawancara live di layar kaca (maupun radio) adalah sulit, sehingga kalaupun ada pertanyaan kurang pas atau kurang berempati bolehlah dianggap sebagai sebuah kewajaran meski "tak mudah termaafkan".

Hal senada dituturkan Larry King dan Bill Gilbert dalam buku Seni Berbicara kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja. Pada bab Pembicaraan Sosial, Larry King -- pembawa acara radio dan televisi di Amerika Serikat -- membuka rahasia, bahwa ia punya rambu khusus dalam mengajukan pertanyaan maupun melontarkan pernyataan. Begini, tulisnya:

Pemakaman biasanya menjadi tantangan. Saya merasakannya sebagai salah satu lingkungan yang sulit untuk membuat percakapan sosial. Saya punya satu aturan dasar saat berbicara dengan anggota keluarga yang berduka dalam pemakaman: Jangan terlalu berlebihan. Komentar yang sangat sering didengar pada pemakaman adalah "Saya tahu bagaimana perasaan Anda." Saya menghindari pernyataan itu karena dua alasan. Pertama, jika kematiannya disebabkan oleh hal wajar dan alami--dengan kata lain, rasa kehilangan yang bagi kita yang berusia di atas dua belas tahun sudah hilang sama sekali---keluarga yang berduka sudah tahu bahwa kita maklum bagaimana perasaan mereka. Kedua, jika penyebab kematiannya benar-benar tidak wajar, mengerikan atau mengejutkan karena alasan tertentu, kita tak mungkin dapat mengetahui perasaan mereka. (hal. 40)

Selanjutnya, Larry King pun menekankan pentingnya mengajukan pertanyaan maupun pernyataan yang berempati. "Cukup tanyakan pada diri Anda sendiri, apa yang ingin Anda dengar seandainya Anda termasuk anggota keluarga duka. Biasanya yang terbaik adalah berbicara singkat."   

Wartawan Kompas, Ahmad Arif. (Foto: Gapey Sandy)
Wartawan Kompas, Ahmad Arif. (Foto: Gapey Sandy)
Terkait dengan meliput korban ini, sebaiknya jurnalis membaca buku Ahmad Arif yang berjudul Jurnalisme Bencana - Bencana Jurnalisme : Kesaksian dari Tanah Bencana. Meski buku ini berfokus pada jurnalisme bencana tsunami tahun 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam, tapi banyak kiat yang bisa dipelajari menyangkut bagaimana jurnalis berempati terhadap korban dalam tugas reportasenya.

Wartawan Kompas, Ahmad Arif -- peraih Mochtar Lubis Award kategori feature - menulis: Menemukan narasumber yang ekspresif dan terbuka terhadap wartawan adalah separuh kerja kita di lapangan. Terkadang untuk menemukan mereka, kita butuh keajaiban. Dengan keterbukaan sikap dan BEREMPATI kepada para korban, kemungkinan untuk menemukan narasumber yang mau bicara akan jauh lebih besar.

Selanjutnya, wartawan yang banyak menulis tentang persoalan lingkungan dan bencana ini mengutarakan: Fokuslah pada orang yang selamat atau terluka. Hadapi korban bencana sebagai narasumber dengan rasa hormat, compassion, dan jangan pernah memaksa mewawancarai mereka atau mengambil foto/gambar mereka bila mereka tak bersedia. Jangan mencecar korban dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama atau pertanyaan yang sulit. Harus disadari bahwa korban berada dalam posisi sedang membutuhkan segalanya. Setiap orang di lokasi bencana sebetulnya sedang marah, lelah, dan trauma. (hal. 168 -- 169)

Tuh, kembali kerja dengan empati dan jurnalisme empati toh yang dikedepankan!

Banjir di Purworejo. Masih mau nanya bagaimana perasaan mereka yang kebanjiran? (Foto: Radar Jogja)
Banjir di Purworejo. Masih mau nanya bagaimana perasaan mereka yang kebanjiran? (Foto: Radar Jogja)
Akhirnya, jurnalis harus kembali lagi kepada Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers. Tercantum pada Pasal 2: Wartawan Indonesiamenempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran cara-cara kerja profesional itu adalah:

a. Menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b. Menghormati hak privasi;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun