Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jurnalis dan Pertanyaan Kurang Empati

17 Januari 2018   21:41 Diperbarui: 22 Januari 2018   09:56 3923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jurnalis melakukan wawancara. (Sumber: 123rf.com)

"And I believe that good journalism, good television, can make our world a better place."(Christiane Amanpour)

Nama "Amanpour" sudah mendunia. Dedengkot CNN International ini bukan anak bawang lagi di blantika jurnalisme televisi. Mulai dari Perang Teluk, Perang Bosnia, Perang Afghanistan, dan Perang Suriah jadi contoh ladang garapan liputannya. Makanya, menjadi wajar ketika Amanpour yakin benar, bahwa jurnalisme televisi yang baik dapat membuat dunia kita menjadi hunian yang lebih baik.

Tapi bagaimana dengan jurnalisme televisi yang kurang baik? Pemirsa pasti akan memberikan penilaian dari sudut pandangnya masing-masing. Termasuk, ketika jurnalis televisi melakukan hal-hal yang dianggap kurang pas dalam menjalankan tugasnya, pemirsa pun pasti sigap menyampaikan penilaiannya.

Satu hal yang dinilai pemirsa, karena berulang kali dilakukan beberapa jurnalis televisi pada saat melakukan pekerjaannya adalah mengajukan pertanyaan yang kurang berempati kepada narasumber, dalam hal ini korban (bencana alam, musibah dan lainnya).

Peristiwa ambruknya mezani di BEI Jakarta. (Foto: jurnalsumut.com)
Peristiwa ambruknya mezani di BEI Jakarta. (Foto: jurnalsumut.com)
Sebagai contoh, rangkaian pemberitaan terkait peristiwa ambruknya atap mezanin di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (15 Januari 2018) kemarin. Kejadian yang membuat puluhan orang terluka ini sontak menjadi tema Breaking News di sejumlah televisi. Semua belomba menyiarkan kejadian secara eksklusif, mulai dari lokasi Tempat Kejadian Perkara (TKP) sampai sejumlah rumah sakit yang merawat para korban.

Saya menonton salah seorang wartawati televisi yang berhasil masuk ke ruang gawat darurat rumah sakit, dan melakukan wawancara live dengan salah seorang korban yakni seorang mahasiswi yang masih terbaring lemah.

Diantara pertanyaan wartawati televisi kepada korban adalah, apakah korban mengetahui berapa ketinggian lantai mezanin di lantai dua yang ambruk ke lantai satu. Bayangkan, korban yang tergolek lemah, mengalami shock, derita memar dan nyeri tubuh, serta merasakan ketidaknyamanan suasana darurat rumah sakit, malah memperoleh pertanyaan dari wartawati televisi yang sudah pasti belum mungkin bisa ia jawab.

Kaget campur kesal juga saya menyimak pertanyaan wartawati televisi ini. Bagaimana mungkin, korban yang masih tergolek di ranjang rumah sakit dan dalam kondisi shock, diajukan pertanyaan tentang ketinggian lantai mezanin yang ambruk dan turut bahkan menimpa korban?

"Tontonan" ini pun segera saya ceritakan ulang sebagai status Facebook. Hasilnya, tidak sedikit komentar yang menilai bahwa wartawati televisi tersebut kurang berempati kepada korban. Pertanyaan yang diajukannya tidak mencerminkan perasaan seperti apa yang tengah dialami narasumbernya.

Ambruknya mezani di BEI Jakarta. (Foto: kompas.com)
Ambruknya mezani di BEI Jakarta. (Foto: kompas.com)
Salah satu komentar ditulis Sonya Tampubolon. Ia yang berprofesi sebagai content writer ini menulis: "Sering sedih campur kesel kalau pas reporter liputan dan pertanyaan-pertanyaannya enggak logis atau enggak empati, duuhhh."

Sedangkan Fejuli menulis komentar: "Mungkin reportenya mesti nanya dia ketimpa beton terbuat dari batu bata, batako apa semen, kasihan juga sama korban"

Hal senada disampaikan Nilmawati Thamrin. Ia berkomentar: "Sekalian aja nanya begini: gimana perasaan Mbak terjun bebas dari ketinggian sekian meter???"

Beda dengan Didit Widiyanto yang malah balik meledek pertanyaan kurang empati itu. Ahli Ilmu Komputer dan Robotika ini bilang: "Kalau saya tanyanya berapa kecepatan tubuh Mbak ketika membentur lantai dasar? Hahahaa..."

Jawaban yang rada positif ditulis Gita Siwi. Mentor public speaking ini menulis, "Antara mata melihat, otak berpikir (mengolah) dan mulut menyampaikan memang dibutuhkan ketepatan, kecepatan yang enggak bisa dibilang mudah. #JamTerbang".

Mantan wartawati senior Kompas, Maria Hartiningsih (berdiri), dalam satu kesempatan pelatihan jurnalistik. (Foto: Gapey Sandy)
Mantan wartawati senior Kompas, Maria Hartiningsih (berdiri), dalam satu kesempatan pelatihan jurnalistik. (Foto: Gapey Sandy)
Kurang Persiapan + Kurang Berlatih = Kurang Empati

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan empati sebagai keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Itu artinya, kalau jurnalisme empati berarti pekerjaan jurnalistik yang mewakili perasaan atau pikiran seperti yang orang lain rasakan maupun pikirkan. Sederhana yak!

Mantan wartawati senior Kompas, Maria Hartiningsih pernah menjelaskan apa dan bagaimana jurnalisme empati. Dalam Festival Budaya Humanis Tzu Chi (2016), ia mengatakan, metode jurnalisme ini mengajarkan kita untuk melihat, mendengar, merasakan dari sisi narasumber. Bukan mencari dan memberikan berita sesuai dengan keinginan dari para pembaca maupun jurnalis sendiri, tapi bagaimana, apa yang narasumber ingin sampaikan dan nara sumber lihatkan tentang hal yang dia rasakan.

Jurnalis televisi di kamp pengungsian warga Rohingya di Bangladesh. (Foto: Youtube Official Net News)
Jurnalis televisi di kamp pengungsian warga Rohingya di Bangladesh. (Foto: Youtube Official Net News)
Tujuan dari jurnalisme empati ini, lanjut Maria, agar para pembaca dapat melihat, mengerti dan merasakan apa yang nara sumber rasakan. Kebanyakan narasumber dari jurnalisme empati ini adalah mereka yang tersingkirkan, seperti para penderita HIV/AIDS, korban kejahatan maupun bencana alam.

Praktiknya, jurnalisme empati dalam kemasan tayangan live show lebih sulit kalau dibandingkan dengan bentuk rekaman ataupun tulisan. Ya seperti itu tadi, sedikit melakukan kesalahan saja jurnalis televisi dalam mengajukan pertanyaan kepada "mereka yang tersingkirkan" maupun para korban bencana atau musibah, maka pemirsa akan lantas menilai bahwa hal itu sebagai bentuk kurang berempati.

Dalam komentar di status Facebook saya tadi misalnya, Diah Woro Susanti juga memberi contoh satu pertanyaan jurnalis televisi kepada salah seorang korban banjir: "Banjir ini, kira-kira apa penyebabnya ya?" Pertanyaan tersebut membuat Diah Woro Susanti gusar. Sedikit ngomel dalam hati ia menjawab, "Ya penyebabnya air, Mas."

Hihihihiiiii ... si Diah sampe geregetan!

Muchlis Anwar, mantan broadcaster Radio MetroFM Surabaya. (Foto: Ulish Anwar Facebook)
Muchlis Anwar, mantan broadcaster Radio MetroFM Surabaya. (Foto: Ulish Anwar Facebook)
Terkait masalah ajuan pertanyaan yang kurang berempati dalam kemasan wawancara live show, saya mewawancarai Muchlis Anwar, mantan broadcaster Radio MetroFM Surabaya. Menurutnya, jurnalis televisi memang sering terjebak dalam mengajukan pertanyaan yang sifat reportasenya mendadak dan special case.

Contohnya ya seperti wartawati televisi yang menanyakan kepada seorang wanita muda korban ambruknya lantai mezanin di Gedung BEI kemarin. "Sudah jelas-jelas korban masih menjalani perawatan medis. Sudah jelas-jelas mahasiswi ini berstatus tamu yang sedang field trip di BEI, dan berasal dari salah satu kampus di Palembang, eh kenapa malah ditanya berapa kira-kira ketinggian mezanin yang ambruk itu. Ini kan membuat pemirsa heran dan bertanya-tanya, apakah wartawati televisi ini pernah ikut training jurnalistik atau belum?" prihatin Ulish, sapaak akrabnya, melalui WhatsApp Voice Call, Rabu, 17 Januari 2018.

Meski begitu, Ulish bisa memahami bahwa melakukan wawancara live show memang sulit. "Biarpun sudah mengikuti training jurnalistik, tetapi wawancara live dan mendadak atau dadakan memanglah sulit. Untuk itu, setiap jurnalis harus terus melatih diri untuk mengajukan pertanyaan yang sifat kemasannya live dan dadakan seperti itu, Artinya, jangan sampai terjebak sehingga mengajukan pertanyaan yang kurang empati seperti contoh barusan," tutur penulis buku The Art of Communication ini.

Banjir di Hanoi, Vietnam. Apa jurnalis masih tanya bagaimana perasaan Ibu karena kebanjiran? (Foto: merdeka.com | reuters/kham)
Banjir di Hanoi, Vietnam. Apa jurnalis masih tanya bagaimana perasaan Ibu karena kebanjiran? (Foto: merdeka.com | reuters/kham)
Karena tingkat kesulitan wawancara live show dan dadakan inilah, Ulish menyebutkan bahwa wajar apabila jurnalis televisi beberapa kali mengajukan pertanyaan yang dinilai kurang berempati kepada narasumber, khususnya mereka yang menjadi korban bencana alam maupun musibah lainnya.

"Munculnya pertanyaan yang kurang berempati itu wajar saja sebenarnya. Apalagi, kalau jurnalis televisi ini terbilang masih baru, dan belum banyak pengalaman terjun ke lapangan peliputan. Wajar, tapi akhirnya jurnalis televisi ini menjadi terjebak pada diajukannya pertanyaan-pertanyaan yang kurang berempati seperti tadi itu. Atau, yang lebih parah lagi, jurnalis ini bingung sendiri, mau bertanya apa lagi ya? Namanya juga mereka jurnalis pemula dan ketika di lapangan harus segera membuat pertanyaan yang dadakan dan special case," tutur pelatih public speaking sekaligus motivator ini.

Tapi, jangan anggap kewajaran ini sebagai hal yang "mudah termaafkan". Harus ada evaluasi dan training khusus agar mereka bisa mengajukan pertanyaan dalam situasi wawancara mendadak dan kemasannya live show pula.

"Apalagi, jenis pertanyaan yang kurang berempati seperti ini sering berulang kali diajukan oleh jurnalis televisi. Seharusnya, ketika menerima penugasan peliputan dan pada saat mereka menuju lokasi, harus sudah terpikirkan apa-apa saja yang seharusnya ditanyakan dalam wawancara live show nanti. Ketika jurnalis bergerak on the way, harusnya mereka sudah merancang beberapa pertanyaan inti, dan dari sini mereka harus bisa kembangkan lagi nantinya, sesuai situasi dan kondisi di lapangan peliputan," saran Ulish.

Heheheheee ... kalau soal dadakan, yang paling enak ya tahu bulat, atuh.

Luana Yunaneva, jurnalis KompasTV biro Kediri. (Foto: Luana Yunaneva Facebook)
Luana Yunaneva, jurnalis KompasTV biro Kediri. (Foto: Luana Yunaneva Facebook)
Luana Yunaneva, jurnalis KompasTV biro Kediri. (Foto: Ezzha Prihandaya Facebook)
Luana Yunaneva, jurnalis KompasTV biro Kediri. (Foto: Ezzha Prihandaya Facebook)
Oh ya, rasanya enggak berimbang kalau tulisan ini tidak mewawancarai juga jurnalisnya. Untuk itu, saya wawancara viaWhatsApp Chat dengan Luana Yunaneva, jurnalis KompasTV biro Kediri.

Menurut Lulu, panggilan akrabnya, mewawancarai korban bencana alam dan musibah adalah materi yang cukup sulit dan sensitif. Karena, harus menjaga tutur kata supaya tidak menyinggung perasaan narasumber.

"Salah satu kesulitannya yaitu mencari momentum yang pas buat bertanya. Ketika narasumbernya merupakan korban bencana, tentu dia akan memikirkan dan mengerjakan banyak hal. Kalau enggak pas, yang ada dianya bisa tersinggung dan enggak mau diwawancarai. Bisa-bisa kita dianggap mengganggu. Belum lagi, kadang mereka enggak nyaman dengan kamera karena merasa terekspos. Sementara jurnalis televisi perlu mengambil gambar suasana, ekspresi wajah dan detil-detil yang lain," tutur Lulu.

Solusinya? "Ya sejak awal, jurnalis televisi berada di lokasi, ya membaur saja dengan masyarakat atau korban bencana tadi. Ngobrol-ngobrol saja sambil duduk santai. Syukur-syukur bisa ngobrol pakai bahasa setempat pasti lebih welcome merekanya. Sambil kita menggali data dengan pertanyaan yang disampaikan dengan bahasa luwes. Pas posisi udah ngobrol enak, baru minta izin wawancara beliaunya untuk ngobrol atau wawancara," urainya memberi tips.

Menurut Lulu, berempati kepada korban bencana juga bisa diwujudkan dalam bentuk perbuatan. "Jurnalis itu kan berada di lokasi enggak cuma sesaat. Bisa stay di wilayah setempat, tergantung penugasan dari Koordinator Liputan. Nah, waktu longgar atau pas enggak kerjalah yang jadi kesempatan jurnalis berempati. Rasa empatinya ditunjukkan lewat perbuatan," kata jurnalis yang juga Kompasianer ini.

Adapun kiat untuk menghindari pertanyaan kurang berempati kepada natasumber korban bencana pada saat wawancara live, kata Lulu, adalah dengan tidak menanyakan bagaimana perasaan si narasumber. "Pertanyaan kita, bisa dialihkan seperti misalnya: "Berada pada posisi sebelah mana Bapak pada waktu kejadian?", "Waktu itu Bapak sedang apa?", "Bagaimana suasananya pada saat kejadian berlangsung?" dan lainnya. Intinya, kita mengajak narasumber untuk bercerita, dan tidak menanyakan bagaimana perasaan narasumber tersebut. Karena, bencana sudah jelas membuat korban merasa sedih," urai Lulu.

Kerja jurnalis di lapangan. (Foto: Dina Octora/krjogja.com)
Kerja jurnalis di lapangan. (Foto: Dina Octora/krjogja.com)
Panduan Wawancara Tak Terencana

Abdullah Alamudi dalam bukunya Teknik Melakukan & Melayani Wawancara menyampaikan sejumlah tips apabila jurnalis bertemu dengan narasumber secara tidak terencana. Misalnya, ketika jurnalis lebih dulu tiba di lokasi bencana atau musibah, bahkan lebih cepat datangnya daripada polisi maupun pemadam kebakaran.

Dalam bukunya itu, Abdullah Alamudi - yang merintis karir penyiaran di ABC Radio Australia -- memberi kiat wawancara mendadak atau tidak terencana dengan mengutip Joe Hight dan Frank Smith, yaitu:

Pertama, selalu perlakukan korban dengan sopan dan hormat, seperti halnya jurnalis itu sendiri yang ingin diperlakukan apabila berada dalam keadaan serupa. Tak pelak, inilah yang namanya EMPATI.

Kedua, jelaskan identitas sebagai jurnalis.

Ketiga, sampaikan keprihatinan.

Keempat, jangan serbu keluarga korban dengan pertanyaan-pertanyaan berat pada awal wawancara. Mulailah dengan pertanyaan seperti, "Bisa Anda ceritakan bagaimana kehidupan Fulan?", "Apa yang Fulan suka lakukan?" atau  "Apa hobi yang paling disukainya?"Lalu dengarkan! Kesalahan terburuk yang dilakukan jurnalis adalah apabila dia bicara terlalu banyak!

Kelima, berhati-hati ketika mewawancarai anggota keluarga yang hilang. Jika jurnalis mendapat reaksi keras, tinggalkan nomor telepon atau kartu nama dan jelaskan bahwa korban atau keluarganya dapat menghubungi jika sudah mau berbicara.

Maestro talkshow, Larry King. (Foto: canyon-news.com)
Maestro talkshow, Larry King. (Foto: canyon-news.com)
Terbukti kan, betapa rempong -- harus begini-begitu - melakukan wawancara tak terencana apalagi dalam kemasan live show. Makanya kita mahfum ketika Ulish Anwar yang sudah berpengalaman dalam bidang komunikasi sekalipun menganggap wawancara live di layar kaca (maupun radio) adalah sulit, sehingga kalaupun ada pertanyaan kurang pas atau kurang berempati bolehlah dianggap sebagai sebuah kewajaran meski "tak mudah termaafkan".

Hal senada dituturkan Larry King dan Bill Gilbert dalam buku Seni Berbicara kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja. Pada bab Pembicaraan Sosial, Larry King -- pembawa acara radio dan televisi di Amerika Serikat -- membuka rahasia, bahwa ia punya rambu khusus dalam mengajukan pertanyaan maupun melontarkan pernyataan. Begini, tulisnya:

Pemakaman biasanya menjadi tantangan. Saya merasakannya sebagai salah satu lingkungan yang sulit untuk membuat percakapan sosial. Saya punya satu aturan dasar saat berbicara dengan anggota keluarga yang berduka dalam pemakaman: Jangan terlalu berlebihan. Komentar yang sangat sering didengar pada pemakaman adalah "Saya tahu bagaimana perasaan Anda." Saya menghindari pernyataan itu karena dua alasan. Pertama, jika kematiannya disebabkan oleh hal wajar dan alami--dengan kata lain, rasa kehilangan yang bagi kita yang berusia di atas dua belas tahun sudah hilang sama sekali---keluarga yang berduka sudah tahu bahwa kita maklum bagaimana perasaan mereka. Kedua, jika penyebab kematiannya benar-benar tidak wajar, mengerikan atau mengejutkan karena alasan tertentu, kita tak mungkin dapat mengetahui perasaan mereka. (hal. 40)

Selanjutnya, Larry King pun menekankan pentingnya mengajukan pertanyaan maupun pernyataan yang berempati. "Cukup tanyakan pada diri Anda sendiri, apa yang ingin Anda dengar seandainya Anda termasuk anggota keluarga duka. Biasanya yang terbaik adalah berbicara singkat."   

Wartawan Kompas, Ahmad Arif. (Foto: Gapey Sandy)
Wartawan Kompas, Ahmad Arif. (Foto: Gapey Sandy)
Terkait dengan meliput korban ini, sebaiknya jurnalis membaca buku Ahmad Arif yang berjudul Jurnalisme Bencana - Bencana Jurnalisme : Kesaksian dari Tanah Bencana. Meski buku ini berfokus pada jurnalisme bencana tsunami tahun 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam, tapi banyak kiat yang bisa dipelajari menyangkut bagaimana jurnalis berempati terhadap korban dalam tugas reportasenya.

Wartawan Kompas, Ahmad Arif -- peraih Mochtar Lubis Award kategori feature - menulis: Menemukan narasumber yang ekspresif dan terbuka terhadap wartawan adalah separuh kerja kita di lapangan. Terkadang untuk menemukan mereka, kita butuh keajaiban. Dengan keterbukaan sikap dan BEREMPATI kepada para korban, kemungkinan untuk menemukan narasumber yang mau bicara akan jauh lebih besar.

Selanjutnya, wartawan yang banyak menulis tentang persoalan lingkungan dan bencana ini mengutarakan: Fokuslah pada orang yang selamat atau terluka. Hadapi korban bencana sebagai narasumber dengan rasa hormat, compassion, dan jangan pernah memaksa mewawancarai mereka atau mengambil foto/gambar mereka bila mereka tak bersedia. Jangan mencecar korban dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama atau pertanyaan yang sulit. Harus disadari bahwa korban berada dalam posisi sedang membutuhkan segalanya. Setiap orang di lokasi bencana sebetulnya sedang marah, lelah, dan trauma. (hal. 168 -- 169)

Tuh, kembali kerja dengan empati dan jurnalisme empati toh yang dikedepankan!

Banjir di Purworejo. Masih mau nanya bagaimana perasaan mereka yang kebanjiran? (Foto: Radar Jogja)
Banjir di Purworejo. Masih mau nanya bagaimana perasaan mereka yang kebanjiran? (Foto: Radar Jogja)
Akhirnya, jurnalis harus kembali lagi kepada Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers. Tercantum pada Pasal 2: Wartawan Indonesiamenempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran cara-cara kerja profesional itu adalah:

a. Menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b. Menghormati hak privasi;

c. Tidak menyuap;

d. Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

e. Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

f. Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

g. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;

h. Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

That's it!

Ketika bencana alam di Banjarnegara. (Foto: ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/foc/16).
Ketika bencana alam di Banjarnegara. (Foto: ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/foc/16).
Pada beberapa kesempatan saya mengutip apa yang disampaikan Luwi Ishwara dalam bukunya Jurnalisme Dasar. Ada beberapa syarat kerja bagi wartawan, diantaranya - yang selalu saya ingat - adalah TAHU YANG MENARIK dan SELALU INGIN TAHU.

Tapi saya berkeyakinan, dalam jurnalisme empati, dua syarat kerja ini harus ditambah lagi dengan sensitivitas. Tak bisa seenaknya pertanyaan diajukan maupun pernyataan dilontarkan tanpa memperhatikan kondisi narasumber atau korban. Karena, sekali lagi, sisi yang dikedepankan adalah empati atau dapat turut merasakan senasib dan sepemikiran dengan narasumber yang sedang baper luar biasa itu.

Tabik!

"Jurnalisme bukanlah obat, tetapi dia dapat menyembuhkan. Jurnalisme bukanlah hukum tetapi dia dapat membawa keadilan. Jurnalisme bukanlah militer, tetapi dia dapat membantu menjaga kita aman."(Mary Mapes dalam Truth and Duty)

o o o O o o o

Baca juga artikel saya tentang jurnalistik:

Ulah Presenter ('Penyidik') tvOne
Inilah, Sejumlah "Dosa" Pewawancara TV
Liviana dan Hari Pers Nasional 2016
Blogger Dilarang Nulis Berita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun