Pasar utama Batik Indonesia, lanjutnya lagi, adalah Jepang dan Eropa. “Mereka merasa cocok dengan Batik Indonesia yang punya pewarnaan alami dan ramah lingkungan. Pewarnaan alami ini sungguh sebuah kekuatan yang luar biasa sekaligus kemandirian bagi industri batik Indonesia, apalagi warna sintetik masih memiliki kandungan impor yang tinggi. Maklum, Indonesia sendiri juga bukan penghasil warna sintetik yang andal,” papar Nita yang aktif menggerakkan Batik Rakyat.
“Kita tahu banyak sekali sentra-sentra batik di Jawa Tengah yang kolaps karena “serangan” Batik Printing. Alhasil, muncul kesadaran untuk mengangkat kembali sentra-sentra batik rakyat. Makanya, kita kemudian secara bersama-sama membuat sebuah gerakan yang namanya Batik Rakyat, untuk membangkitkan kembali batik-batik Kebumen, Tegal, Batang, Imogiri dan sebagainya, semata agar batik-batik tersebut tidak punah,” tutur pemilik Galeri Batik Jawa ini.
Dari sisi akademisi, Suryani SH MHum, Rektor Universitas Pekalongan (Unikal) memaparkan, Pekalongan sudah terkenal sebagai Kota Batik. Untuk mendukung hal tersebut, Unikal membuka Program Studi Teknologi Batik pada 2011.
“Hal ini dikarenakan Unikal mempunyai beban moril sekaligus menunjukkan tanggung jawab akademik terhadap batik, karena minat generasi muda untuk membatik semakin berkurang. Padahal, produksi batik justru banyak diminati dunia. Artinya, bagaimana Batik Indonesia harus dilestarikan dan dikembangkan, dari hulu sampai hilir butuh knowledge. Kami mewajibkan semua Prodi di Unikal mempunyai kewirausahaan membatik yang berkonsentrasi sesuai Prodi masing-masing. Misalnya, Prodi Kesehatan Masyarakat yang membahas bagaimana agar limbah batik menjadi tidak berbahaya bagi masyarakat dan lainnya,” urai Suryani yang juga Ketua Dewan Pendidikan Kota Pekalongan.
Sayangnya, imbuh Suryani, minat mahasiswa terhadap Prodi Teknologi Batik sangat kurang. “Paling hanya sekitar 20 mahasiswa per semester, selain mahasiswa yang datang dari luar negeri seperti Brunei Darussalam,” ungkap Ketua Dewan Riset Daerah Kota Pekalongan ini.
Selain menampilkan talkshow yang sarat pengetahuan tentang Batik, forum kafe BCA VI juga menjadi momentum peluncuran buku ‘Batik Pekalongan – Dari Masa ke Masa’ karya Budi Mulyawan yang didukung secara penuh oleh BCA.
Ya, salah satu kota yang tak bisa dipisahkan dari eksistensi Batik adalah Pekalongan di Jawa Tengah. Mendapat julukan Kota Batik, Pekalongan punya Industri Kecil Menengah (IKM) Batik sebanyak 12.475 unit yang menyerap sekitar 88.670 tenaga kerja.
Tak salah bila buku ini diharapkan dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap Batik dan menjadi inspirasi bagi kemajuan teknik membatik di Indonesia. “Sebagai salah satu perusahaan yang lahir dan besar di Indonesia, BCA melakukan berbagai cara untuk mendukung Pekalongan mempertahankan eksistensinya sebagai Kota Batik. Baru saja misalnya, BCA meresmikan Kampung Batik Gemah Sumilir, Wiradesa, Pekalongan sebagai salah satu Desa Wisata Binaan BCA,” kata Jahja Setiaatmadja, Presdir BCA.