Sementara itu, Poppy Savitri selaku Direktur Edukasi Ekonomi Kreatif BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif Indonesia) mengatakan, BEKRAF mempunyai visi membangun Indonesia menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia dalam ekonomi kreatif pada 2030 mendatang. Untuk mencapai visi tersebut, BEKRAF merancang enam misi besar, yaitu:
- Menyatukan seluruh aset dan potensi kreatif Indonesia untuk mencapai ekonomi kreatif yang mandiri.
- Menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan industri kreatif.
- Mendorong inovasi di bidang kreatif yang memiliki nilai tambah dan daya saing di dunia internasional.
- Membuka wawasan dan apresiasi masyarakat terhadap segala aspek yang berhubungan dengan ekonomi kreatif.
- Membangun kesadaran dan apresiasi terhadap hak kekayaan intelektual, termasuk perlindungan hukum terhadap hak cipta.
- Merancang dan melaksanakan strategi yang spesifik untuk menempatkan Indonesia dalam peta ekonomi kreatif dunia.
Adapun sasaran edukasi ekonomi kreatif, menurut Poppy, adalah meningkatkan jumlah pelaku kreatif, meningkatkan kualitas pelaku kreatif, dan memperluas lapangan kerja di Bidang Ekonomi Kreatif.
Penerapan pola pikir kreatif pada produk lokal, kata Poppy lagi, dapat menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru yang dapat meningkatkan nilai ekonomis maupun estetis produk tersebut, serta dapat memunculkan identitas bangsa bahkan ikon-ikon baru dari Indonesia di mata internasional.
“Salah satu karya nyata yang membanggakan adalah Batik Tulis dari Brebes yang sudah dikembangkan oleh IKKON Brebes. Batiknya tidak lagi hanya dimanfaatkan sebatas untuk fesyen busana saja, tapi juga untuk kepentingan lain, seperti asesoris meja makan dan tempat tidur. Bahkan, salah satu hotel di Brebes sudah mempergunakan Batik Tulis dari wilayah setempat sebagai asesoris maupun desain interior ruang demi ruangnya. Selain itu, Batik Tulis Brebes yang diproduksi Sylvie Romi dan Tarkinah asal Desa Bentas, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes pernah meraih sukses di Kota Milan, Italia,” urainya.
Di sisi lain, Ketua Yayasan Batik Indonesia, Nita Kenzo menerangkan, Batik Indonesia yang diakui sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh UNESCO karena merupakan tradisi budaya yang sudah turun temurun.
“Inilah salah satu wujud pelestarian dan pengembangannya. Sehingga pola batik Indigo bukan sekadar sesuatu yang kuno saja, tetapi kita sanggup menjawabnya dengan kekunoan itu menjadi kekinian, sehingga bisa menjadi pakaian jadi, produk interior dan sebagainya. Indonesia mempunyai kekuatan untuk bertanggung-jawab terhadap pengakuan UNESCO bahwa tradisi itu akan terus berjalan pada masa kini dan di masa mendatang. Selain tradisi, yang juga menjadi pertimbangan adalah kebiasaan sosial, dan kegiatan membatik yang masih berlanjut sampai saat ini. Apabila kelak kegiatan membatik tidak berlanjut lagi, maka akan sulit bagi kita untuk mempertahankan pengakuan UNESCO itu,” tutur Nita penuh semangat.
Nita juga mengisahkan tentang perjuangan Kota Yogyakarta yang sukses meraih pengakuan global sebagai Kota Batik Dunia.
“Kekuatan Batik Indonesia, selain karena memperoleh pengakuan UNESCO, juga karena pada tahun 2014 lalu, Yogyakarta diakui pula sebagai Kota Batik Dunia. Pemilihan ini melalui seleksi ketat karena bersaing dengan kota-kota di negara lain sedunia, diantaranya Kota Batik Dunia harus punya nilai budaya, pelestarian budaya, green value dengan menghindari penggunaan pewarnaan sintetis yang belum ramah lingkungan juga zat karsinogen yang bisa memicu kanker, menyangkut nilai ekonomi global dan kekinian yang berkesinambungan, Membicarakan batik tidak lepas dari nilai budaya. Kalau hanya semata bicara nilai ekonomi saja, maka “jatuhnya” akan menjurus kepada Batik Printing saja,” tegas Nita yang memang lahir dan bermukim di Yogyakarta.