Di sisi lain, kegiatan eksplorasi yang dilakukan belum mampu memberikan hasil yang memadai untuk mengganti cadangan minyak yang telah diproduksi. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa blok utama penyumbang produksi minyak nasional seperti Blok Rokan dan Mahakam yang mengalami penurunan lifting secara bertahap.
Di samping itu, kondisi harga minyak dunia yang masih relatif rendah juga mengakibatkan banyak pelaku di industri hulu migas melakukan penundaan kegiatan investasi baik produksi, eksplorasi maupun pengembangan. Kendala lain yang masih sering dihadapi oleh industri hulu migas nasional antara lain: kendala operasional, upaya pembebasan lahan dan perizinan.
Menghadapi kondisi tersebut, Pemerintah terus berupaya melakukan koordinasi dan kerjasama yang baik dengan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) dan pemangku kepentingan lainnya untuk menjaga agar produksi minyak tidak terus menurun.
Upaya dimaksud antara lain melalui: (1) efisiensi penggunaan capital expenditure (Capex) dan operational expenditure (Opex) yakni dengan melakukan optimasi kegiatan pengeboran, (2) meningkatkan kegiatan kerja ulang (workover) dan perawatan sumur (well service) untuk mendapat tambahan produksi dari sumur-sumur yang ada, (3) mempertahankan kehandalan fasilitas produksi guna mengurangi kejadian gangguan produksi (unplanned shutdown), (4) menganalisis kembali kegiatan proyek dan rencana pengembangan yang keekonomiannya dipengaruhi oleh harga minyak, serta (5) mempertahankan kegiatan eksplorasi baik studi, survei seismik dan nonseismik, maupun pengeboran. Dengan mempertimbangkan potensi dan risiko operasional yang ada, serta upaya mitigasi risiko dimaksud, lifting minyak mentah pada 2017 diperkirakan sebesar 780 ribu bph.
Lebih lanjut, dukungan pembangunan infrastruktur gas yang memadai akan terus diupayakan seperti pengembangan jaringan gas kota, pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas, dan revitalisasi terminal gas domestik. Dengan mempertimbangkan kondisi, potensi, dan faktor risiko yang ada, lifting gas bumi diperkirakan sebesar 1.150 ribu bsmph.
Lantas, bagaimana dengan kondisi Minerba?
Setali tiga uang. Kondisinya perlu pembenahan reaksi cepat. Karena, terjadi inkonsistensi dalam mendorong hilirisasi mineral. Padahal, hingga kini baru dibangun 23 smelter, dan ditambah empat smelterlagi yang baru akan dibangun hingga akhir 2016. Penyebab ketidakkonsistenan ini karena Pemerintah dinilai kurang tegas menjalankan amanat UU No.4/2009 tentang Pertambangan Minerba.
Selain itu, mayoritas perusahaan tambang belum berstatus clean and clear. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengidentifikasi dari 11.000 izin tambang di Indonesia, sekitar 3.772 izin bermasalah. Lho, kenapa bisa begini? Desentralisasi yang mengakibatkan tumpang-tindih perizinan sehingga membuka patgulipat korupsi perizinan. Dan, banyak perusahaan tambang yang (berusaha) mangkir pajak.
Dua gambaran miris di sektor Minerba ini membawa dampak fatal. Pertama, operasional perusahaan tambah tidak memberikan manfaat maksimal untuk daerah dan negara. Kedua, kerusakan kawasan hutan sebagai akibat pertambangan yang menabrak aturan.