Salah seorang dari lima peraih Danamon Social Entrepreneur Award pada 2016 ini adalah Bambang Boedi Cahyono. Pria kelahiran Lumajang, 19 Februari 1976 ini termasuk pionir pembuat instalasi reaktor biogas di Indonesia.
Keberhasilan Bambang meraih penghargaan bergengsi --- bagi individu-individu biasa namun menghasilkan usaha yang luar biasa dan berkesinambungan, untuk memberdayakan hidup dirinya maupun lingkungannya melalui solusi kewirausahaan --- ini, tak lepas dari perjuangan luar biasanya guna memasyarakatkan biogas sejak belasan tahun silam.
“Saya berterima kasih dan sangat mengapresiasi karena terpilih sebagai salah satu nomine Danamon Social Entrepreneur Award 2016. Apalagi, sesuatu yang kami geluti ini tidak mudah. Sehingga dengan raihan award ini menjadi semangat baru. Karena, apa yang saya lakukan tidak semua orang mudah mengerti. Makanya, dengan award ini, saya makin yakin dan semangat untuk terus menjelaskan atas apa yang sejak lama sudah ditekuni,” ujarnya kepada penulis.
Lembaran awal perjuangan Bambang terlibat pembuatan biogas dilakukan sejak 1997, ketika dirinya masih mahasiswa Fakultas Teknik Mesin di ITB. Bambang ingat benar, ia terpengaruh buku bacaan yang begitu inspiratif. Bukunya berjudul “Titik Balik Peradaban (Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan)” karya saintis Fritjof Capra. Isi buku setebal 571 halaman ini antara lain menggulirkan kesimpulan, bahwa kehidupan manusia akan mengalami kekacauan bila terus bergantung pada pemenuhan energi yang bersumber dari fosil.
“Terinspirasi dari apa yang dikemukakan buku ini, saya berpikir untuk mulai melakukan tindakan nyata yang semoga bermanfaat bagi orang banyak, yaitu membuat bioetanol dan kemudian biogas. Tindakan nyata ini perlu, karena saya pun terkadang jenuh kalau harus terus melakukan aksi demonstrasi mahasiswa menentang rezim Orde Baru kala itu. Tapi, bioetanol dan biogas plastik yang saya buat pun waktu itu tidak langsung jadi sempurna. Saya utak-atik skema dan rancangannya, kemudian ketika dirasa sudah berhasil, saya sempat menawarkan ide pembuatan bioetanol dan biogas plastik ini kepada banyak pihak, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait,” kenang Bambang yang tak pernah menamatkan pendidikannya di ITB. “Saya pindah kuliah ke fakultas yang sama di Universitas Pasundan dan lulus pada 2004.”
Seiring berjalannya waktu, suami dari Ratnauli Sitinjak ini merasa apa yang dilakukan tak mungkin terus-menerus dipertahankan atas nama charity. “Sejak itu, saya mulai membuat perusahaan yang memproduksi instalasi reaktor biogas. Semakin lama, banyak orang yang memesan karena kebutuhan. Perusahaan ini bukan sekadar menjual barang yang mainstream atau common. Perusahaan saya ibaratnya tidak seperti jualan motor. Lebih dari itu, usaha yang saya rintis dan jalani bukan semata menjual instalasi, tapi juga mengajak masyarakat bersikap peduli akan pentingnya biogas sebagai salah satu Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Dari sini pula, saya mulai mengembangkan usaha secara visioner, mulai dari visi dan misi perusahaan, bagaimana melayani pelanggan, pembukuan perusahaan, pembelanjaan bahan baku dan sebagainya,” jelas bapak dari tiga putra Arka Dinata (7) yang lahir kembar dengan Bagas Dinata (7), kemudian Satria Pamungkas (1,5).
Berkah Dari Kotoran Sapi
Jejak perjuangan Bambang memasyarakatkan biogas bisa ditelusuri di Lembang, Bandung. Kawasan ini merupakan salah satu sentra pertanian sayur dan peternakan sapi perah di Indonesia. Estimasinya, ada lebih dari 20 ribu ekor sapi milik peternak yang sebagian besar tergabung dalam Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) yang beranggotakan lebih dari 5.000 peternak.
Demi menyaksikan kondisi tersebut, Bambang berpikir keras untuk mencari solusinya. Artinya, sampah kotoran sapi dapat diminimalisir bahkan malah dimanfaatkan, dan sekaligus pula, memiliki dampak tambahan energi bagi masyarakat.
Kini, dengan teknologi biogas dari kotoran sapi, masyarakat Lembang malah mampu “mengalap berkah” dari kotoran sapi yang semula justru memicu pencemaran lingkungan. Tak hanya itu, pemanfaatan kotoran sapi melalui reaktor biogas ternyata juga sanggup membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat Lembang. Selain itu, menghasilkan pupuk bagi usaha pertanian sayur di Lembang, menggantikan kotoran ayam yang usut punya usut ternyata malah dibeli atau didatangkan dari luar wilayah.
Menurut Bambang, saat ini sudah terbentuk badan usaha yang menjadi penyedia instalasi reaktor biogas bagi peternak sapi anggota KPSBU. Hal ini dimungkinkan berkat kerjasama apik sejak 2010, dengan penyertaan kredit lunak bagi peternak. Tak hanya itu, sudah didirikan pula bengkel produksi peralatan biogas seperti kompor, keran biogas, waterdrain, alat ukur tekanan biogas, sambungan perpipaan dan sebagainya. Selain perbengkelannya, usaha ini juga memberikan garansi dengan melakukan perbaikan terhadap unit yang rusak konstruksi karena berbagai hal. Catatannya, jumlah yang rusak tidak sampai 3 persen dari total yang sudah dibangun di seantero Lembang.
Permintaan pengadaan reaktor biogas dari Lembang dan luar daerah terus bertambah, kata Bambang, begitu juga permintaan pelatihan dan pengembangan masyarakat berteknologi biogas ke berbagai daerah. “Saat ini kami terlibat aktif dalam menghadirkan solusi pengelolaan sampah organik di kota Bandung dengan menggunakan teknologi biogas,” papar Bambang yang menyebut omset perusahaannya yang berhasil membukukan angka fantastis, Rp 4 miliar per tahun.
Lantas berapa unit reaktor yang berhasil digarap Bambang dan perusahaannya? Wow, jumlahnya cukup mencengangkan! Dalam kurun tujuh tahun menjalankan pola kerjasama dengan KPSBU, telah berhasil membangun 908 unit reaktor biogas konstruksi bata semen cor. Semuanya untuk peternak KPSBU. Jumlah ini pasti terus bertambah karena permintaan pasar dan juga kucuran kredit lunak untuk pengadaan biogas makin meningkat. Praktis, gambaran ini membuktikan bahwa peternak semakin percaya dengan keandalan teknologi biogas made in Bambang. Kalaupun ada kegagalan konstruksi, jumlahnya kurang dari 20 unit dan sudah diperbaiki dalam tempo singkat.
“Kini, ada sekitar 2.500 kepala keluarga yang tidak lagi mengonsumsi gas elpiji, minyak tanah, kayu atau bahan bakar lain untuk memasak. Semua pakai biogas. Sedangkan pemanfaatan kotoran sapi yang dijadikan bahan bakar biogas itu sudah berhasil mengelola lebih dari 2,7 ton dari wilayah sekitar Lembang. Ada juga beberapa kelompok peternak yang memanfaatkan pupuk biogas guna menggantikan kotoran ayam. Misalnya, Kelompok Karya Ibu (KKI) yang ada di Kampung Areng, Desa Cibodas, Lembang. KKI beranggotakan sekitar 100 ibu rumah tangga yang semuanya pengguna biogas,” bangga Bambang yang bersama keluarga menetap di perumahan Green City View A8 Bandung.
Secara lingkup nasional, perusahaan Bambang juga meniti kerjasama dengan organisasi swasta maupun instansi pemerintah guna membangun, melatih dan mendampingi pengerjaan lebih dari 1.700 unit proyek pembangunan reaktor biogas model bata semen cor. Disamping, permintaan dari organisasi-organisasi kemasyarakatan lain pun juga terus berdatangan, seiring permintaan kerjasama ulang lanjutan. Dengan sebegitu sibuk usaha berjalan, saat ini Bambang mempekerjakan 10 staf di kantor, 6 staf di bengkel, dan lebih dari 50 teknisi.
“Pada praktiknya, kami menjual reaktor biogas dengan berbagai ukuran, mulai dari 4, 6, 8, sampai 12 kubik. Instalasi reaktor biogas yang berbahan baku serat fibre untuk ukuran 4 kubik harganya Rp 8 juta. Dengan reaktor biogas berbahan dasar serat fibre, memudahkan ketika ada orderan dari luar kota, sehingga kami tidak perlu datang untuk melakukan survei ke lokasi, melainkan tinggal rakit dan pakai. Makanya, demi menyadari besarnya potensi sumber daya biomassa di Indonesia ini, kami mengajak peran serta berbagai pihak untuk mewujudkan hal itu lebih luas lagi,” ajak Bambang.
Instalasi reaktor biogas yang didesain Bambang memiliki ketahanan hingga lebih dari 25 tahun. Jumlah instalasi yang sudah dibangun di wilayah Lembang saja, “baru” sanggup mengolah tidak lebih dari 13 persen populasi kotoran sapi dari peternak anggota KPSBU. Artinya, hitung punya hitung, butuh waktu 30 tahun lagi untuk menyediakan reaktor biogas bagi peternak di Lembang. Belum lagi, untuk memenuhi permintaan dari koperasi dan organisasi lain yang juga tiada henti.
Sementara itu, aku Bambang, pihak Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM dalam beberapa tahun terakhir juga terus menambah proyek reaktor biogas di berbagai penjuru Nusantara. Kegiatan yang sama dilakukan pula oleh banyak instansi Pemerintah Daerah.
“Model kegiatan yang sama sedang ditawarkan untuk pembangunan 10.000 reaktor pengolah sampah organik di Bandung. Prototipe digester pengolah sampahnya sudah ada beberapa unit dalam dua tahun terakhir ini. Saya berharap biogas mampu menjadi salah satu solusi nyata bagi masalah sampah di perkotaan,” jelasnya.
Memang, untuk saat ini, imbuh Bambang, pihaknya sedang melakukan perubahan positioning dari sekadar kontraktor menjadi operator. “Dalam arti, kami berusaha untuk merambah kepada masalah pengelolaan sampah-sampah di perkotaan. Kalau yang pada awalnya, reaktor biogas kami hanya mampu membuat energi bakar, tetapi dengan menjadi operator dan mengelola sampah-sampah di perkotaan, maka kami yang notabene memiliki reaktor biogas akan sekaligus mengolah sampah-sampah perkotaan yang kemudian misalnya dicampur dengan kotoran sapi, untuk kemudian menjadi biogas. Makanya, dengan meraih Danamon Social Entrepreneur Award2016 ini saya berharap semakin dapat menambah semangat dan membawa citra baik dalam pengembangan bisnis selanjutnya,” tutur Direktur CV Energi Persada ini.
Sekilas Award dan Dewan Juri
Sejak dilaksanakan pertama kali pada 2006 lalu, Danamon Social Entrepreneur Award senantiasa mengusung visi Danamon, yakni Kita peduli dan membantu jutaan orang untuk mencapai kesejahteraan. Ini merupakan ajang yang memberi apresiasi tertinggi kepada para pejuang masyarakat yang mewujudkan visi sama. Penghargaan ini dipersembahkan bagi individu-individu biasa namun menghasilkan usaha yang luar biasa dan berkesinambungan untuk memberdayakan hidup diri maupun lingkungannya melalui solusi kewirausahaan.
Lima individu yang menerima award adalah mereka yang memiliki motif memberdayakan diri dan lingkungan dengan outcome yang sudah terlihat dari outreach usahannya. Apalagi, kalau bukan jumlah orang yang terkena dampak dari kegiatan atau usaha yang dilakukan. Peraih award juga harus mempunyai komitmen terhadap sustainability usahanya yang sudah berjalan minimal selama satu tahun.
Sama seperti pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya, pada 2016 ini, dewan juri terdiri dari para profesional yang begitu memahami seluk-beluk social entrepreneurship. Mereka adalah Billy Boen seorang entrepreneur sukses dan pernah memimpin beberapa merek global di Indonesia seperti Nike, Umbro, Oakley, Haagen Dazs, dan Hard Rock Café. Termasuk menciptakan League, sebuah brand sport lifestyle di Indonesia pada 2004. Lalu, Choirul Djamhari, Ph.D yang menjabat Deputi Menteri Bidang Kelembagaan di Kementerian Koperasi dan UKM. Kemudian, Chris Pudjiastuti selaku Redaksi Senior Harian Kompas.
Oh ya, menurut rencana, kelima peraih Danamon Social Entreprenur Award 2016 akan hadir menerima penghargaan pada 10 November 2016 di Jakarta. Selamat!
Dukung Bambang Budi Cahyono, sebagai peraih favorit Danamon Social Entrepreneur Awards 2016. Klik: Danamon Awards
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H