Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bersih dan Senyum untuk Buktikan Pesona Indonesia

9 Oktober 2016   10:55 Diperbarui: 9 Oktober 2016   17:52 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pulau Sepa di Kepulauan Seribu. Salah satu KSPN atau Kawasan Strategis Pariwisata Nasional adalah Kepulauan Seribu di Jakarta. (Foto: Lisdiana Sari)

Lihatlah foto di atas. Jemuran pakaian warga bergelantungan di pagar besi. Padahal, asal tahu saja, di balik pagar besi itu adalah obyek wisata teramat bersejarah yaitu sisa-sisa reruntuhan Keraton Kaibon yang berlokasi di Banten Lama.

Sebagai pelancong domestik, beberapa bulan lalu, saya sempat penuh semangat ’45 sejak sedari rumah menuju keraton yang terletak di Kampung Kroya, Desa Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kota Serang ini. Alih-alih ingin melihat langsung kompleks bangunan bekas kediaman raja Kesultanan Banten Sultan Syafiudin (1809 – 1813), ternyata kepuasannya kurang maksimal.

Betapa tidak? Sisa reruntuhan keraton yang pada 1816 oleh Pemerintah Hindia Belanda sempat dijadikan pusat pemerintahan Bupati Banten pertama Aria Adi Santika, sebagai ganti pemerintahan Kesultanan Banten, rupanya kini menampakkan sisi kurang terawat secara baik. Padahal, Keraton Kaibon yang dibongkar pada 1832 dan hanya menyisakan pondasinya saja ini, termasuk cagar budaya yang dilindungi UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Kondisi pemukiman warga yang berada persis di belakang Keraton Kaibon, Serang, Banten. (Foto: Gapey Sandy)
Kondisi pemukiman warga yang berada persis di belakang Keraton Kaibon, Serang, Banten. (Foto: Gapey Sandy)
Pemukiman warga yang langsung berhadapan dengan lokasi cagar budaya dan obyek wisata bersejarah Keraton Kaibon di Serang, Banten. Nampak ada warga yang MCK di WC cemplung. (Foto: Gapey Sandy)
Pemukiman warga yang langsung berhadapan dengan lokasi cagar budaya dan obyek wisata bersejarah Keraton Kaibon di Serang, Banten. Nampak ada warga yang MCK di WC cemplung. (Foto: Gapey Sandy)
Selain jemuran pakaian yang menggelantung seenaknya di pagar lokasi wisata sejarah sekaligus cagar budaya ini, pemandangan di balik reruntuhan bangunan sangat membuat saya sebagai pelacong semakin kurang merasa nyaman. Mau tahu kenapa? Silakan cermati foto-foto di atas ini, yang menggambarkan pemandangan rumah-rumah dan keseharian warga yang bermukim persis di sebelah tembok keraton. Perhatikan, ada warga yang tengah buang air besar di WC nangkring di atas permukaan air, sementara warga lain seperti tak terganggu, juga asyik beraktivitas tak jauh dari WC “cemplung langsung” itu.

Saya yang termasuk warga Provinsi Banten bisa jadi agak “memahami” kondisi memprihatinkan seperti ini, tapi saya tak bisa membayangkan, bagaimana bila ada turis dari wilayah lain, atau katakanlah dari mancanegara yang berwisata sejarah di Keraton Kaibon, lalu menemukan pemandangan miris seperti ini.

Sungguh, jangankan soal kerapihan, keasrian dan kenyamanan lokasi keraton sebagai obyek wisata kaya memoar sejarah lokal ini, bahkan kebersihan dan senyum keramah-tamahan pun nyaris tak nampak sama sekali. Padahal, pariwisata Indonesia mengusung tagline “Pesona Indonesia” atau “Wonderful Indonesia”. Tapi, dengan berkaca pada sambutan ramah penduduk sekitar lokasi obyek wisata yang jauh dari ramah dan tanpa senyum, jemuran pakaian yang bergelantungan, air sungai di sekitar yang menghitam, kebersihan Mandi Cuci Kakus (MCK) warga yang bikin mengelus dada siapa saja yang sengaja maupun tidak sengaja menyaksikannya, apakah begini yang namanya “Pesona Indonesia” serta “Wonderful Indonesia”? Padahal, tagline “Wonderful Indonesia” selain muncul di layar kaca, malah sudah juga narsis di papan iklan digital lapangan sepakbola turnamen bergengsi La Liga Espana di Spanyol.

Keraton Kaibon di Serang, Banten. (Foto: Gapey Sandy)
Keraton Kaibon di Serang, Banten. (Foto: Gapey Sandy)
Sisa reruntuhan Keraton Kaibon yang tetap sangat menarik dan harus dilestarikan. (Foto: Gapey Sandy)
Sisa reruntuhan Keraton Kaibon yang tetap sangat menarik dan harus dilestarikan. (Foto: Gapey Sandy)
Andaikata pengelolaan cagar budaya Keraton Kaibon ini baik dan profesional, bukan tidak mungkin, lokasi obyek wisata bersejarah ini pasti dapat menarik minat pelancong untuk datang berkunjung. Bukan cuma mereka, para pelajar dan mahasiswa juga bakal banyak yang datang ke sisa reruntuhan bangunan yang banyak berciri tradisional ini. Semakin banyak pelancong yang datang berkunjung, tentu makin banyak juga cuan devisa yang masuk mengalir ke wilayah setempat.

Memang sih, di sekeliling dalam lokasi Keraton Kaibon boleh dibilang hanya sedikit terlihat sampah-sampah yang berserakan. Tetapi, nampaknya kebersihan ini belum berbanding lurus dengan kondisi sekitar luar keraton yang kurang memiliki sense of belonging sehingga belum tergerak menjaga kerapihan, keramahtamahan dan kenyamanan lokasi cagar budaya kepada para wisatawan domestik maupun mancanegara.

* * * * *

Ya sudah, kita tinggalkan keprihatinan melihat kondisi cagar budaya dan obyek wisata bersejarah Keraton Kaibon dengan beberapa penilaian kurang sedapnya. Mari sekarang kita mengulik, bagaimana Pemkot dan seluruh elemen warga Kota Tangerang Selatang berjibaku menyelamatkan kotanya dari “tertutup” buangan sampah.

Super hero Pelitas diciptakan untuk mengedukasi anak-anak agar melestarikan lingkungan Kota Tangsel. (Sumber: DKPP Tangsel)
Super hero Pelitas diciptakan untuk mengedukasi anak-anak agar melestarikan lingkungan Kota Tangsel. (Sumber: DKPP Tangsel)
Sebagai upaya menyelamatkan lingkungan, Pemkot Tangerang Selatan (Tangsel) membidani lahirnya super hero anyar yang diberi nama Pelitas. Lahir pada Hari Peduli Sampah Nasional, 21 Februari 2015, Pelitas akronim dari Penyelamat Lingkungan Tangerang Selatan. Ada dua kawan seperjuangan Pelitas, yakni super hero cantik bernama Anggrek yang pandai terbang dan bertelepati dengan tetumbuhan, juga Bin Bin yang berwujud robot keranjang sampah.

Musuh mereka bertiga adalah sosok jahat Juragan Ratam alias Rakus Tamak yang menghalalkan segala cara dalam mengembangkan bisnisnya, termasuk merusak lingkungan dan tidak menjaga kebersihan maupun kelestarian alam. Juragan Ratam dibantu Profesor Linglung, yang saking takut dan tidak berani melawan titah Juaragan Ratam, maka kejeniusannya justru disalahgunakan untuk merusak kelestarian lingkungan, misalnya dengan menciptakan Monster Limki atau Limbah Kimia.

Selengkapnya mengenai kelahiran Pelitas, yang digadang-gadang dapat menarik minat serta mengedukasi anak-anak usia 4 – 12 tahun untuk menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan ini dapat dibaca pada tulisan sebelumnya, berjudul Inilah Pelitas, Super Hero Penyelamat Lingkungan Kota Tangsel.

Fajar Febrian dan Tri Wahyu Hidayat menggagas aplikasi Sisaku untuk selamatkan Tangsel dari sampah. (Foto: Gapey Sandy)
Fajar Febrian dan Tri Wahyu Hidayat menggagas aplikasi Sisaku untuk selamatkan Tangsel dari sampah. (Foto: Gapey Sandy)
Start Up Solusi Masalah Lingkungan

Praktiknya di lapangan, bukan hanya tokoh super hero rekaan Pelitas saja yang berjibaku mewujudkan Kota Tangsel bersih dan bebas dari sampah. Segenap elemen masyarakat dari berbagai latarbelakang pun semakin memperlihatkan kepeduliannya guna menjaga kebersihan setiap penjuru kota yang pada 26 November ini akan memperingati hari jadinya yang kedelapan. Diantara mereka adalah, tiga mahasiswa Universitas Surya di Summarecon, Serpong, Tangerang, yaitu Fajar Febrian, Tri Wahyu Hidayat, dan Fauzan, yang menciptakan aplikasi onlineSisaku.

Apa itu Sisaku?

“Ini adalah aplikasi yang diharapkan dapat memiliki dampak positif terhadap lingkungan, khususnya mengurangi jumlah sampah. Sementara ini, fokusnya masih menyasar sampah anorganik seperti botol, kaleng, kertas dan lainnya,” jelas Fajar, mahasiswa semester V Fakultas Ilmu Hayati Jurusan Informatika.

Aplikasi Sisaku diharapkan segera masuk Play Store untuk dapat diunduh dan dimanfaatkan sebagai aplikasi peduli kebersihan yang ciamik. Nantinya, aplikasi ini menyediakan tiga layanan untuk “melenyapkan” sampah anorganik. Pertama, layanan Marketku yang menyediakan market place untuk aneka produk hasil upcycle. Jadi, para pengrajin yang punya produk-produk yang terbuat dari sampah anorganik dapat diperjualbelikan secara umum.

Aplikasi Sisaku yang mengedukasi masyarakat untuk memilah dan memilih sampah. Sekaligus mengolah menjadi aneka produk upcycle yang bernilai ekonomis. (Foto: Gapey Sandy)
Aplikasi Sisaku yang mengedukasi masyarakat untuk memilah dan memilih sampah. Sekaligus mengolah menjadi aneka produk upcycle yang bernilai ekonomis. (Foto: Gapey Sandy)
Kedua, layanan Bank Saku yang merupakan layanan antar jemput sampah. Mirip seperti Bank Sampah, tapi Bank Saku ini dilaksanakan secara online. Masyarakat yang punya sampah untuk dijual, tinggal meng-klik layanan Bank Saku, kemudian sampah akan dijemput untuk diambil. Penjemputan ini bekerjasama bank sampah-bank sampah se-Kota Tangsel. Sampah yang dijemput akan ditimbang, dicatat dan dihitung berapa nilai rupiahnya, sehingga masyarakat dapat memiliki tabungan dari sampah-sampah tadi.

Ketiga, layanan Infoku, yaitu seputar edukasi sampah, misalnya bagaimana memilah dan memilih sampah, mengelola sampah untuk dijadikan produk upcycle dan sebagainya.

“Aplikasi ini diciptakan untuk mengubah mindset masyarakat dari yang sementara ini berpikiran bahwa sampah hanyalah benda-benda yang sudah tidak penting dan layak dibuang begitu saja, menjadi pola pikir bagaimana memilah dan memilih sampah untuk dijadikan benda-benda upcycleyang memiliki nilai ekonomis,” jelas Tri Wahyu, mahasiswa semester V Fakultas Ekonomi dan Sosial Jurusan Agribisnis saat dijumpai pada pameran Tangerang Selatan Global Innovation Forum(TGIF) di Puspiptek - Serpong, September kemarin.

Fajar menambahkan, kehadiran aplikasi Sisaku diharapkan dapat menjadi solusi mengatasi tumpukan sampah yang kalau dibiarkan semakin parah akan malah menutupi seluruh Kota Tangsel.

Produk yang dihasilkan dari sampah anorganik. (Foto: FORKAS)
Produk yang dihasilkan dari sampah anorganik. (Foto: FORKAS)
“Kota Tangsel ini, secara fisik tidak terlampau luas. Kecil sekali. Sedangkan jumlah penduduknya, setiap saat selalu bertambah. Imbasnya tentu kepada sampah-sampah rumah tangga yang setiap hari juga dibuang oleh para warganya. Padahal, Kota Tangsel ini hanya punya satu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah saja, yaitu di Cipeucang. Itupun luasnya tidak seberapa, hanya sekitar 5 hektar dan pasti akan terus semakin padat dengan tumpukan sampah yang kian meninggi. Kami berharap warga Tangsel jangan asal membuang sampah begitu saja, sehingga dampaknya justru membuat TPA Cipeucang makin tak sanggup lagi menampung volume sampah. Mulailah lakukan pemilahan dan pemilihan sampah terlebih dahulu sebelum dibuang, dan untuk selanjutnya, tinggal connect dan access ke Sisaku,” himbau Fajar yang menyebut semboyan Sisaku yakni Solusi Masalah Lingkungan.

Bisa dibayangkan efektivitas Sisaku --- ide start up yang terpilih untuk menjadi pemenang ajang Indonesia Sociopreneur Challenge (ISoC) 2015 bertema Waste Around Us --- bila sudah familiar di kalangan warga Tangsel. Kesadaran bersama akan membuahkan volume sampah yang dibuang dan disalurkan masuk ke TPA Cipeucang dapat dikurangi. Begitu pula dengan pendapatan masyarakat juga dapat meningkat, karena bisa “menjual” sampah dan mengolah sampah menjadi produk-produk bernilai ekonomis.

Perjuangan Relawan Mengelola Bank Sampah

Kalau tadi para penggagas dan pembuat start up Sisaku menyebut keterlibatan bank sampah-bank sampah yang ada di Kota Tangsel, sebenarnya bagaimana geliat bank yang menampung dan memberdayakan sampah rumah tangga tersebut?

Eka Meidya, Ketua Umum FORKAS. (Foto: Gapey Sandy)
Eka Meidya, Ketua Umum FORKAS. (Foto: Gapey Sandy)
Pelatihan smart urban farming. (Foto: FORKAS)
Pelatihan smart urban farming. (Foto: FORKAS)
Menurut Eka Meidya, ibu rumah tangga sekaligus Ketua Umum Forum Komunikasi Bank Sampah Tangerang Selatan (FORKAS) mengatakan, sejak diresmikan pada 25 Mei 2015 oleh Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany, jumlah bank sampah sudah mencapai 145 kelompok yang tersebar di tujuh kecamatan sekota.

“Kini kegiatan kami tidak cuma memilah, memilih dan menimbang sampah saja, tetapi juga mengupayakan bagaimana memanfaatkan sampah rumah tangga (rumga). Sehingga sampah-sampah rumga tidak lagi keluar dari wilayah RW tempat dimana kita tinggal,” jelasnya. (Selengkapnya reportase tentang bank sampah ini, baca tulisan sebelumnya: Ada Sampah, Pasti Ada Eka Maidya)

Urun sibuk antara Pemkot Tangsel melalui Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman (DKPP) dengan FORKAS juga amat harmonis. Antara lain, pembinaan dan pelatihan kepada para kelompok bank sampah untuk membuat komposter penghasil pupuk cair. Dengan pupuk cair yang dihasilkan, pelatihan semakin ditingkatkan dengan melaksanakan urban farming, pertanian warga. Ada juga kegiatan membuat lubang-lubang biopori yang fungsinya menyimpan cadangan dan meghindari genangan air, serta pelatihan menghasilkan eco brick atau sampah plastik ukuran kecil yang dipadatkan dalam botol bekas. Tak ketinggalan, membuat produk upcycle bernilai ekonomis dari sampah anorganik.

Rekapitulasi jenis sampah yang dikumpulkan melalui salah satu bank sampah. (Sumber: FORKAS)
Rekapitulasi jenis sampah yang dikumpulkan melalui salah satu bank sampah. (Sumber: FORKAS)
Rekapitulasi hasil penjualan sampah di salah satu bank sampah. (Sumber: FORKAS)
Rekapitulasi hasil penjualan sampah di salah satu bank sampah. (Sumber: FORKAS)
Untuk satu kelompok bank sampah, Eka memperkirakan, setiap kali dilaksanakan penimbangan per dua minggu atau setiap bulan sekali, sampah yang terkumpul mencapai 300 – 500 kilogram. Sampah yang sudah dipilah dan dipilih warga itu kemudian dijual ke para pengepul. Uangnya menjadi tabungan bagi warga. “Uang tabungan ini, saya selalu ingatkan untuk selalu diambil satu tahun sekali untuk keperluan misalnya, menjelang Hari Raya Idul Fitri dan lainnya. Saya hanya menghimbau untuk menyisakan Rp 10.000 untuk saldo,” kata Eka yang punya cita-cita menggenjot jumlah bank sampah menjadi 540 unit se-Tangsel. “Tiap satu RW, diharapkan ada satu bank sampah.”

Data yang dimiliki FORKAS untuk satu kelompok bank sampah bernama ‘Baginda’ misalnya, sempat menyentuh angka penjualan tertinggi mencapai Rp. 6.343.240 pada Agustus 2015, kemudian sebulan kemudian, September 2015, anjlok menjadi Rp. 2.112.550. Sedangkan angka penjualan tertinggi per Januari hingga September 2015, ditempati oleh kardus sebesar Rp 5.019.500, disusul botol bening senilai Rp 2.719.500, kemudian plastik warna dengan cuan masuk mencapai Rp 2.684.600. (lihat tabel)

Angka ini baru dicapai oleh satu bank sampah. Bayangkan bila di Tangsel ada 145 bank sampah seperti sekarang, dan kelak diproyeksikan jumlahnya menjadi 540 bank sampah. Perputaran roda ekonomi pasti membuat warga tersenyum akibat keberkahan sampah. “Saya percaya kata para pakar bahwa ‘Sampah Dipilah Menjadi Berkah dan Sampah Dipilah Menjadi Rupiah’. Ini benar adanya,” bahagia Eka.

Kepala Dinas Kebersihan Kota Tangsel, Yepi Suherman. (Foto: Gapey Sandy)
Kepala Dinas Kebersihan Kota Tangsel, Yepi Suherman. (Foto: Gapey Sandy)
Sayur mayur di urban farming. (Foto: Gapey Sandy)
Sayur mayur di urban farming. (Foto: Gapey Sandy)
Kota Tangsel Akan Jadi Pusat Edukasi Sampah

Beruntung, keberadaan bank-bank sampah di Tangsel tidak dibiarkan merana. Pemkot melalui DKPP urun sibuk melakukan pembinaan dan pelatihan. “Misalnya, bagaimana memilah dan memilih sampah. Sampah anorganik sebagian bisa dijual ke lapak pemulung, sebagian lagi bisa dibuat beraneka kerajinan produk upcycle. Sedangkan sampah organiknya, dimanfaatkan untuk membuat kompos pupuk cair menggunakan tabung komposter. Setelah para anggota bank-bank sampah pandai membuat kompos pupuk cair, kemudian kami laksanakan pelatihan secara simultan yakni bagaimana mengelola pertanian warga atau urban farming,” tutur Yepi Suherman, Kepala Bidang Kebersihan Tangsel kepada penulis.

Apabila urban farming ini sudah semakin tersosialisasi dan diwujudkan dengan baik, maka pada saatnya nanti akan muncul sentra-sentra produksi hasil pertanian warga melalui komunitas bank-bank sampah.

“Untuk sementara ini, kami berharap komunitas pengelola urban farming menanam sayur-mayur yang usianya pendek sehingga bisa cepat dipanen untuk memenuhi kebutuhan keluarganya lebih dahulu. Kelak, apabila semua sudah siap ber-urban farming, maka kami punya proyeksi untuk menetapkan satu komunitas untuk satu sentra produksi pertanian. Misalnya, di lokasi A adalah urban farming untuk sentra cabai, sedangkan di lokasi B khusus untuk terung ungu, begitu juga dengan sentra-sentra lain dengan produk pertanian yang berbeda seperti sayur-mayur dan lainnya,” tuturnya.

Kelak, dengan adanya sentra-sentra urban farming ini, harapannya kemudian adalah menjadikan Tangsel sebagai Pusat Edukasi Sampah. “Artinya, bisa menjadi aset kota untuk raihan devisa dari sektor pariwisata,” harap Yepi.

TPA Cipeucang yang memiliki dua zona land fill. (Foto: FORKAS)
TPA Cipeucang yang memiliki dua zona land fill. (Foto: FORKAS)
Sampah di TPA Cipeucang sudah sedemikian tinggi. (Foto: FORKAS)
Sampah di TPA Cipeucang sudah sedemikian tinggi. (Foto: FORKAS)
Sampah yang diangkut armada kebersihan Tangsel mencapai 800 ton per hari. Meski sudah ada Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipeucang, tapi mengapa pengelolaan dan pengolahan sampah jadi amat mendesak?

Ternyata hal ini tidak lepas kaitannya dengan keterbatasan lahan TPA sampah yang dimiliki Tangsel yaitu di Cipeucang. Seperti dijelaskan Yepi, TPA ini merupakan hibah dari Pemkab Tangerang sehubungan pemekaran wilayah, dimana Tangsel menjadi kota otonom sendiri.

“Di TPA Cipeucang ini ada dua zona land fill atau kita menyebutnya kolam sampah. Kolam pertama seluas 2,5 hektar dan sudah maksimal alias tidak dapat lagi menampung buangan sampah baru, malah sudah mau ditutup lantaran ketinggian sampahnya sudah menjulang hampir 15 meter. Sementara kolam kedua, luasnya 1,7 hektar dan masih bisa menampung sampah baru dengan segala keterbatasannya,” terang Yepi.

Untuk memperpanjang usia kolam kedua tadi, imbuh Yepi, pihaknya tidak mungkin membuang seluruh sampah yang berhasil diangkut lalu dibuang begitu saja ke sana. “Makanya, harus dilakukan pemilahan dan pemilihan sampah terlebih dahulu oleh warga bersama komunitas bank-bank sampah. Selain itu, sampah-sampah baru yang akan dibuang ke kolam kedua harus sudah melalui tahap pemadatan atau di-press terlebih dahulu,” terangnya.

Kondisi TPA Cipeucang dengan sampah yang menjulang. (Foto: FORKAS)
Kondisi TPA Cipeucang dengan sampah yang menjulang. (Foto: FORKAS)
Truk pengangkut sampah Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Truk pengangkut sampah Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Adapun sampah-sampah yang kadung menjulang tinggi di kolam pertama TPA Cipeucang, menurut Yepi, bakal diolah untuk menghasilkan sumber EBT atau Energi Baru Terbarukan yaitu methane gas. “Kami sedang mencoba untuk menghadirkan pakar-pakar teknologi penghasil EBT ini dari berbagai wilayah, termasuk Malang, Jawa Timur,” ungkapnya.

Kondisi darurat TPA sampah Cipeucang juga tergambarkan dari keterangan Yepi soal penambahan jumlah armada kendaraan angkut sampah.

“Memang kami akui, penambahan jumlah armada angkut sampah ini sengaja dilakukan secara bertahap. Alasannya sederhana, kalau armada angkut sampah ini diperbanyak bahkan melebihi batas, dampaknya akan berpengaruh pada jumlah dan volume sampah yang juga akan dibuang ke kolam kedua. Padahal, di sisi lain kami berharap, usia pemakaian kolam kedua TPA Cipeucang bisa lebih panjang,” jujur Yepi seraya berharap dengan membina komunitas bank-bank sampah, dan memperbanyak jumlah TPS3R (Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Reduce Reuse Recycle) akan membuat pada saatnya nanti sampah-sampah akan habis di sumbernya yaitu di rumah-rumah tangga. “Jadi tidak perlu lagi sampah itu dibuang ke TPA Cipeucang,” tuturnya.

Operasi Bersih di Situ Tujuh Muara, Pamulang, Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Operasi Bersih di Situ Tujuh Muara, Pamulang, Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Operasi Bersih sampah dan tanaman liar di Situ Tujuh Muara, Pamulang, Tangse. (Foto: Gapey Sandy)
Operasi Bersih sampah dan tanaman liar di Situ Tujuh Muara, Pamulang, Tangse. (Foto: Gapey Sandy)
Operasi Bersih Wilayah Perairan

Bagaimana dengan potret kebersihan di wilayah perairan Tangsel? Ya, kota ini memang unik. Kondisi alamnya tidak melulu daratan. Di sini terdapat beberapa situ, seperti misalnya Situ Tujuh Muara, Situ Legoso, Situ Bungur, Situ Gintung (kini Bendungan Gintung), dan Situ Sasak Tinggi. Ironisnya, luas wilayah situ, dari tahun ke tahun mengalami penciutan. Belum lagi, kualitas air yang belum tentu terjamin bebas pencemaran. Tambah lagi, kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah ke perairan situ masih sangat rendah.

Bersyukur, masih banyak aktivis peduli lingkungan yang senantiasa rajin mengerjakan Opsih alias Operasi Bersih dengan terjun langsung ke situ-situ. Seperti Opsih yang belum lama ini dilaksanakan di Situ Tujuh Muara, Pamulang.

Viera, salah seorang aktivis dari OKP Ganespa yang turut andil membersihkan perairan situ mengatakan, kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah ke situ masih rendah. Terbukti, masih banyak sampah-sampah organik dan non-organik yang berhasil diangkat ke daratan. “Juga, sampah limbah rumah tangga banyak yang kita temukan mengapung, termasuk pampers bekas pakai, kemasan plastik, bekas lampu bohlam, aneka pecahan kaca, styrofoam, bambu panjang dan kayu-kayu serta masih banyak lagi. Bahkan, cukup banyak sampah yang masih terbungkus dalam plastik kresek,” ujar gadis belia yang tinggal di Jalan Haji Saidin, Pamulang, Tangsel ini.

Kondisi perairan Situ Tujuh Muara di Pamulang, Tangsel sebelum dilakukan Operasi Bersih. (Foto: Gapey Sandy)
Kondisi perairan Situ Tujuh Muara di Pamulang, Tangsel sebelum dilakukan Operasi Bersih. (Foto: Gapey Sandy)
Kondisi perairan Situ Tujuh Muara sesudah dilaksanakan Opsih. (Foto: Gapey Sandy)
Kondisi perairan Situ Tujuh Muara sesudah dilaksanakan Opsih. (Foto: Gapey Sandy)
Selain sampah limbah rumah tangga, Viera juga mengaku kesulitan ketika hendak membersihkan tanaman eceng gondok yang tumbuh begitu meluas. “Eceng gondok sangat mengganggu lingkungan. Dan karena sudah begitu lebat juga tinggi-tinggi, akibatnya menyulitkan sewaktu hendak kita masukkan ke dalam karung,” katanya.

Wujudkan Gerakan Budaya Bersih dan Senyum

Berjibakunya Pemkot dan segenap warga Tangsel untuk mengelola dan mengolah sampah sepertinya masih kontras dengan kenyataan, masih terlihat banyak sampah berserakan dimana-mana. Misalnya, di Jalan Ciputat Raya atau tepatnya di seputaran Pasar Ciputat dan seberang Pasar Swalayan Tip-Top, Jalan Aria Putra (Ciputat), Jalan Sukadamai Raya (Ciputat), beberapa lokasi di Sawah Baru (Ciputat), Jalan Pajajaran (Pamulang) dan lainnya.

Tujuan akhir GBBS adalah meningkatnya posisi peringkat Indonesia dalam bidang pariwisata, kata Musyarafah Machmud selaku Wakil Ketua Satgas GBBS. (Foto: Gapey Sandy)
Tujuan akhir GBBS adalah meningkatnya posisi peringkat Indonesia dalam bidang pariwisata, kata Musyarafah Machmud selaku Wakil Ketua Satgas GBBS. (Foto: Gapey Sandy)

Kesadaran warga untuk tidak membuang sampah sembarangan masih belum menjadi budaya luhur yang patut dijunjung tinggi. Padahal, kalau Tangsel bersih, maka semakin banyak orang yang merasakan manfaatnya. Mulai dari kesehatan masyarakat, kebersihan hingga kenyamanan tinggal para warga kotanya.

Dampak secara ekonomi pun siap terimbas. Dengan Tangsel yang bersih akan berpotensi menghadirkan para pelaku usaha yang kian banyak membuka lapangan kerja. Akibatnya, perekonomian masyarakat makin meningkat. Praktis, kesejahteraan yang meningkat ini akan membawa sosial kehidupan menjadi lebih baik. Tangsel yang bersih dan sejahtera akan mengubah wajah seisi kota menjadi lebih ramah-tamah juga.

Ini pula yang merupakan salah satu amanat Gerakan Budaya Bersih dan Senyum (GBBS) yang kini terus digencarkan Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

Pulau Sepa di Kepulauan Seribu. Salah satu KSPN atau Kawasan Strategis Pariwisata Nasional adalah Kepulauan Seribu di Jakarta. (Foto: Lisdiana Sari)
Pulau Sepa di Kepulauan Seribu. Salah satu KSPN atau Kawasan Strategis Pariwisata Nasional adalah Kepulauan Seribu di Jakarta. (Foto: Lisdiana Sari)
Doberai Eco Resort di Raja Ampat, Papua. Obyek wisata yang bersih, nyaman dengan layanan ramah dan murah senyum dambaan para wisatawan. (Foto: Lisdiana Sari)
Doberai Eco Resort di Raja Ampat, Papua. Obyek wisata yang bersih, nyaman dengan layanan ramah dan murah senyum dambaan para wisatawan. (Foto: Lisdiana Sari)
GBBS mulai digaungkan sejak 19 September 2015. Kala itu, sinergi dua kementerian yakni Kemenko Bidang Maritim dan Sumber Daya beserta Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, berhasil menandatangani deklarasi GBBS tersebut.

Gerakan yang diharapkan menjadi “viral”, familiar dan membudaya ini merupakan salah satu bagian dari tiga Gerakan Nasional Revolusi Mental, yaitu Indonesia Tertib, Indonesia Melayani dan Indonesia Bersih. GBBS pun dikembangkan dalam rangka membangun sikap mental masyarakat Indonesia yang sehat karena memiliki kepedulian terhadap kebersihan dan kelestarian lingkungan, dan berkepribadian ramah bersahabat.  GBBS terdiri dari dua gerakan moralitas publik yaitu Budaya Bersih dan Budaya Senyum.

Adapun nilai-nilai dasar revolusi mental yang terkandung dalam GBBS adalah Integritas, Etos Kerja, dan Gotong Royong.  Dengan demikian diharapkan GBBS menjadi pembuka jalan bagi kekuatan pembangunan ekonomi nasional dan sekaligus kekuatan bangsa Indonesia sebagai poros maritim dunia.  Gerakan ini merupakan gerakan nasional dan akan dilaksanakan secara berkesinambungan mulai tahun 2016 hingga 2019.  Pencanangan GBS telah dilaksanakan pada tanggal 28 November 2015 di kawasan Marunda, Jakarta Utara.

Indonesia berada di urutan kedua sebagai pembuang sampah plastik di lautan dunia. (Sumber: Jenna Jambeck)
Indonesia berada di urutan kedua sebagai pembuang sampah plastik di lautan dunia. (Sumber: Jenna Jambeck)
Fakta dan data sampah plastik di dunia. (Sumber: Ocean Conservancy)
Fakta dan data sampah plastik di dunia. (Sumber: Ocean Conservancy)
Kedua gerakan moralitas publik diatas, ditumbuhkembangkan dengan cara menerapkan delapan prinsip Revolusi Mental, yaitu: (1) gerakan sosial, (2) tekad politik, (3) lintas sektoral, (4) partisipatif, (5) pemicu, (6) mudah dilaksanakan, populer, holistic, sistematik, (7) moralitas publik, dan (8) terukur.

Mengapa harus Budaya Bersih?

Asal tahu saja, setiap tahunnya ada 8 juta ton sampah plastik sedunia yang mencemari lautan. Menurut sebuah riset yang dimuat jurnal Science, para peneliti menegaskan sampah plastik yang mengalir ke laut dapat mencapai jumlah yang lebih besar lagi. Angka 8 juta ton hanyalah sampah yang dibuang masyarakat pesisir yang berada di 192 negara.

Adalah Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia yang pada 2015 kemarin memperkirakan bahwa, para penduduk yang tinggal di sekitar 50 kilometer dari garis pantai setiap negara, menghasilkan 275 juta ton sampah plastik pada 2010. Adapun sampah plastik yang terbuang dan mencemari lautan mencapai 4,8 hingga 12,7 juta ton.

Pesona Pulau Derawan di Kalimantan Timur yang sangat elok dan eksotis. (Foto: Gapey Sandy)
Pesona Pulau Derawan di Kalimantan Timur yang sangat elok dan eksotis. (Foto: Gapey Sandy)
Jambeck dan tim penelitinya kemudian merinci 20 negara yang diperkirakan paling banyak mencemari laut dengan sampah plastik. Cina menempati posisi pertama pada daftar itu, dengan menghasilkan 8,8 juta ton (sekitar 27 persen dari produksi sampah plastik global). Diperkirakan 1,3 sampai 3,5 juta ton di antaranya terbawa arus ke lautan.

Ironisnya, Indonesia menempati posisi kedua dengan produksi sampah plastik mencapai 3,2 juta ton. Jumlah sampah plastik yang mencemari laut mencapai 1,29 juta ton. Penelitian ini pun masih memberi penegasan, bahwa sekitar 83 persen sampah di Indonesia tidak dikelola dengan baik.

“Fakta riset ini parah sekali! Pantaslah kalau sangat merisaukan, karena ternyata perilaku kita sangat menyedihkan terhadap sampah plastik di lautan. Padahal, kita punya budaya Nusantara yang sangat menjunjung tinggi kebersihan, seperti misalnya yang diterapkan oleh masyarakat Desa Panglipuran di Bali. Bahkan, ada juga satu hotel di Sumba Barat, yang terpilih oleh sebuah majalah travel wisata dunia sebagai hotel terbaik sedunia tahun 2016. Namanya, Hotel Nihiwatu,” ujar Musyarafah Machmud selaku Wakil Ketua Satuan Tugas GBBS ketika menjadi pembicara di acara Kompasiana Nangkring bersama Kemenko Bidang Kemaritiman dengan tajuk “Sukseskan GBBS”, pada 9 September kemarin di Jakarta.

Menyelam di Tulamben, Bali. Pesona alam bawah laut Indonesia pun menjadi pariwisata menjanjikan. Bayangkan bila laut Indonesia kotor dan jorok? Adakah wisatawan yang akan datang menyelam? (Foto: Lisdiana Sari)
Menyelam di Tulamben, Bali. Pesona alam bawah laut Indonesia pun menjadi pariwisata menjanjikan. Bayangkan bila laut Indonesia kotor dan jorok? Adakah wisatawan yang akan datang menyelam? (Foto: Lisdiana Sari)
Snorkeling di Pulau Derawan, Kalimantan Timur. (Foto: Gapey Sandy)
Snorkeling di Pulau Derawan, Kalimantan Timur. (Foto: Gapey Sandy)
Menurut Musyarafah yang akrab disapa Ara, tujuan akhir GBBS adalah peningkatan pariwisata Indonesia, sekaligus memperbaiki citra buruk Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik nomor dua sedunia tadi. “Kenapa turisme ini penting? Karena, pada 2020 nanti, sektor pariwisata akan menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia. Mengalahkan sektor pertambangan, perkebunan dan sebagainya. Selain itu, serapan tenaga kerja pada sektor pariwisata juga diprediksikan melebihi sektor lainnya,” ujarnya yang juga Ketua Dharma Wanita Persatuan Kemenko Bidang Maritim ini.

Sejumlah kebijakan di bidang Pariwisata pun sudah ditetaskan Pemerintah:

  • Meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan dari 10 juta (2015) menjadi 20 juta orang pada 2019.
  • Bebas visa kunjungan bagi 169 negara. Kebijakan ini melalui Perpres No.21/2016 tentang Bebas Visa Kunjungan.
  • Kemudahan perizinan kapal yacht asing, sesuai Perpres No.105/2016 tentang Kunjungan Kapal Wisata (Yacht) ke Indonesia.
  • Pencabutan Cabotage Cruise (Kapal Cruise); Meningkatkan jumlah kunjungan Kapal Cruiseke lima pelabuhan utama di Indonesia (Jakarta, Makassar, Benoa, Semarang, Surabaya).
  • Menetapkan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) seperti Toba, Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, Kepulauan Seribu, Borobudur, Bromo, Wakatobi, Labuan Bajo, Mandalika, dan Morotai.    

Menanggapi bebas visa kunjungan bagi 169 negara itu, Ara menekankan perlunya kemudahan berkunjung itu dibarengi dengan pelaksanaan GBBS.

“Kita juga sudah mengeluarkan kebijakan bebas visa kunjungan untuk 169 negara. Kemudahan ini sepatutnya meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia. Tapi harap dicatat, seandainya para wisatawan itu datang kemudian melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Indonesia itu kotor, apakah kelak mereka akan sudi kembali lagi? Tentu saja tidak! Bahkan, kita sendiri yang orang Indonesia asli, kalau melihat ada obyek wisata kotor, tentu spontan akan berkata “Sayang sekali kondisinya jorok dan kotor, padahal tempatnya bagus”. Sudah pasti, kita akan malas dan enggak untuk kembali lagi ke obyek wisata tersebut,” tuturnya cemas.

Lomba Iklan Pendek Kampanye Indonesia Berbudaya Bersih dan Senyum yang diselenggarakan Satgas GBBS Kemenko Bidang Kemaritiman. Deadline diperpanjang hingga 1 November 2016, menurut Wakil Ketua Satgas GBBS, Musyarafah Machmud. (Sumber: Satgas GBBS)
Lomba Iklan Pendek Kampanye Indonesia Berbudaya Bersih dan Senyum yang diselenggarakan Satgas GBBS Kemenko Bidang Kemaritiman. Deadline diperpanjang hingga 1 November 2016, menurut Wakil Ketua Satgas GBBS, Musyarafah Machmud. (Sumber: Satgas GBBS)
Belum lagi, imbuh Ara, kelengkapan infrastruktur yang belum menunjang. Begitu juga dengan orang-orang yang belum ramah dan budaya keramahtamahan itu sendiri yang semakin menipis. “Makanya perlu ada GBBS. Menuntut integritas dan gotong-royong segenap lapisan untuk mensukseskan revolusi mental untuk membuat negara Indonesia menjadi bersih kembali,” serunya.

Tabel Indeks Daya Saing Kepariwisataan yang menukil paparan Travel and Tourism Competitiveness Report 2015oleh World Economic Forum (WEF) membeberkan Perbandingan Indeks Kompetitif Pariwisata Antar Negara Asia, dimana diketahui bahwa, daya saing Indonesia meningkat dari peringkat 70 (2013) menjadi 50 (2015).

Lebih ironis lagi, Indonesia semakin terpuruk bila dibandingkan dengan negara-negara se-ASEAN, karena memperoleh peringkat 109 untuk sisi kesehatan (health)danhigienitas (hygiene). Indonesia berada di bawah posisi Singapura (61), Malaysia (73), Vietnam (83), Thailand (89), Filipina (91) dan Laos (108). Meskipun, Indonesia unggul atas Kamboja yang meraih ranking 112.

Sampah di lautan. Kantor Menteri Kelautan dan Perikanan sudah meluncurkan program Blue and Healthy Ocean. (Foto: misoolbaseftin.com)
Sampah di lautan. Kantor Menteri Kelautan dan Perikanan sudah meluncurkan program Blue and Healthy Ocean. (Foto: misoolbaseftin.com)
“Indonesia menempati posisi ke-109 dari 141 negara dari tingkat kesehatan dan higienitas. Kita cuma sedikit lebih di atas, bila dibandingkan dengan negara-negara di Afrika. Tapi, posisi kita jauh berada di bawah posisi negara-negara tetangga kita, apalagi dengan Singapura. Padahal, jarak Singapura dengan Indonesia hanya dua jam. Kenapa kalau kita ke Singapura, kita bisa disiplin, menjaga kebersihan dan mengikuti aturan mereka, tetapi begitu kembali ke Indonesia, budaya kebersihan itu hilang,” kesal Ara seraya mengingat kejadian yang pernah disaksikannya sendiri yakni adanya turis asing yang terpaksa buang air kecil di bawah pohon. “Karena memang di Wakatobi itu, infrastruktur toilet belum mencukupi.”

Pun begitu, di masa datang, optimisme melambung tetap tertambat pada sektor pariwisata untuk menambah pundi-pundi cuan devisa negara. Apalagi, kalau kita tengok, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada Agustus 2016, ternyata kembali berhasil menembus angka di atas 1 juta wisman (1.031.986 wisman) atau mengalami peningkatan sebesar 13,19 persen bila dibandingkan Agustus 2015 yang sebesar 911.704 wisman. Sebelumnya, pencapaian angka 1 juta wisman juga terjadi untuk pertama kali pada Juli 2016 dengan 1.032.741 wisman.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Asdep Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan, Deputi Bidang Pengembangan Kelembagaan Kepariwisataan, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menandaskan, secara kumulatif kunjungan wisman pada Januari hingga Agustus 2016 mencapai 7.356.310 wisman atau meningkat sebesar 8,39 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sejumlah 6.786.906 wisman.

Senyum wisatawan yang gembira snorkeling di Danau Kakaban yang berair payau di Pulau Kakaban, Kalimantan Timur. Bermain dengan ubur-ubur yang jinak dan tidak beracun. (Foto: Gapey Sandy)
Senyum wisatawan yang gembira snorkeling di Danau Kakaban yang berair payau di Pulau Kakaban, Kalimantan Timur. Bermain dengan ubur-ubur yang jinak dan tidak beracun. (Foto: Gapey Sandy)
Lantas bagaimana dengan Budaya Senyum?

Seraya tersenyum, Ara menjawab sambil mengingatkan, ketika obyek-obyek pariwisata Indonesia sudah bersih, indah, nyaman, terpelihara kelestariannya, dan begitu mempesona, tetapi layanan yang disuguhkan tanpa memberikan sesungging senyum, maka hal ini akan sama saja dengan kembali memati-surikan pariwisata Nasional itu sendiri.

“Kalau kita memperoleh layanan dari orang-orang yang susah senyum dan jutek seperti itu, bagaimana mungkin orang akan memberikan rekomendasi untuk datang dan datang lagi berwisata ke Indonesia? Pasti mereka akan merasa ngeri untuk datang ke Indonesia, kalau layanan wisata dan keramah-tamahan sudah tidak ditampilkan lagi,” tegas Ara.

Logo Gerakan Budaya Bersih dan Senyum. (Sumber: Satgas GBBS)
Logo Gerakan Budaya Bersih dan Senyum. (Sumber: Satgas GBBS)
Jadi, dengan Gerakan Nasional Revolusi Mental yang antara lain disukseskan melalui GBBS, maka sejumlah point dari ‘Nawa Cita’ atau ‘Sembilan Program’ dapat terengkuh sekaligus. Yakni, ‘Nawa Cita’ ke-3, 5, 6, 7, 8, dan 9, yang berbunyi:
  • Nawa Cita ke-3: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
  • Nawa Cita ke-5: Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program "Indonesia Pintar"; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.
  • Nawa Cita ke-6: Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
  • Nawa Cita ke-7: Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
  • Nawa Cita ke-8: Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.
  • Nawa Cita ke-9: Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.

.

Ketika menuntaskan reportase terkait tema GBBS di Tangsel, saya sempat beristirahat di taman yang ada di bantaran Situ Bungur, Pondok Ranji. Sejauh mata memandang, tidak ada sampah yang mengapung di permukaan. Hanya saja, kepedulian warga untuk tidak membuang sampah di bantaran situ masih tetap saja kurang. Padahal sudah disediakan tong-tong tempat sampah, agar pengunjung tidak membuang sampah sembarangan.

Tulisan di mural dekat Situ Bungur, Pondok Ranji, Tangsel: “How green are you?”. (Foto: Gapey Sandy)
Tulisan di mural dekat Situ Bungur, Pondok Ranji, Tangsel: “How green are you?”. (Foto: Gapey Sandy)
Memandang sekeliling suasana, mata saya tertumbuk pada mural di tembok dekat situ yang bertuliskan: “HOW GREEN ARE YOU?” Cukup menyentil juga maknanya. Anda sendiri, bagaimana menjawabnya?

Jadi, ayo sukseskan GBBS. Gerakan Budaya Bersih dan Senyum. Yessss …!

* * * * *

Baca juga tulisan sebelumnya, terkait GBBS:

Inilah Pelitas, Super Hero Penyelamat Lingkungan Kota Tangsel

Ada Sampah, Pasti Ada Eka Meidya

Tonton juga VIDEO BLOGGING (VLOG) terkait GBBS:

Wujudkan GBBS di Kota Tangerang Selatan

Super Hero PELITAS Siap Sukseskan GBBS

Eka Meidya Aktivis Bank Sampah Kota Tangsel

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun