Lihatlah foto di atas. Jemuran pakaian warga bergelantungan di pagar besi. Padahal, asal tahu saja, di balik pagar besi itu adalah obyek wisata teramat bersejarah yaitu sisa-sisa reruntuhan Keraton Kaibon yang berlokasi di Banten Lama.
Sebagai pelancong domestik, beberapa bulan lalu, saya sempat penuh semangat ’45 sejak sedari rumah menuju keraton yang terletak di Kampung Kroya, Desa Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kota Serang ini. Alih-alih ingin melihat langsung kompleks bangunan bekas kediaman raja Kesultanan Banten Sultan Syafiudin (1809 – 1813), ternyata kepuasannya kurang maksimal.
Betapa tidak? Sisa reruntuhan keraton yang pada 1816 oleh Pemerintah Hindia Belanda sempat dijadikan pusat pemerintahan Bupati Banten pertama Aria Adi Santika, sebagai ganti pemerintahan Kesultanan Banten, rupanya kini menampakkan sisi kurang terawat secara baik. Padahal, Keraton Kaibon yang dibongkar pada 1832 dan hanya menyisakan pondasinya saja ini, termasuk cagar budaya yang dilindungi UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Saya yang termasuk warga Provinsi Banten bisa jadi agak “memahami” kondisi memprihatinkan seperti ini, tapi saya tak bisa membayangkan, bagaimana bila ada turis dari wilayah lain, atau katakanlah dari mancanegara yang berwisata sejarah di Keraton Kaibon, lalu menemukan pemandangan miris seperti ini.
Sungguh, jangankan soal kerapihan, keasrian dan kenyamanan lokasi keraton sebagai obyek wisata kaya memoar sejarah lokal ini, bahkan kebersihan dan senyum keramah-tamahan pun nyaris tak nampak sama sekali. Padahal, pariwisata Indonesia mengusung tagline “Pesona Indonesia” atau “Wonderful Indonesia”. Tapi, dengan berkaca pada sambutan ramah penduduk sekitar lokasi obyek wisata yang jauh dari ramah dan tanpa senyum, jemuran pakaian yang bergelantungan, air sungai di sekitar yang menghitam, kebersihan Mandi Cuci Kakus (MCK) warga yang bikin mengelus dada siapa saja yang sengaja maupun tidak sengaja menyaksikannya, apakah begini yang namanya “Pesona Indonesia” serta “Wonderful Indonesia”? Padahal, tagline “Wonderful Indonesia” selain muncul di layar kaca, malah sudah juga narsis di papan iklan digital lapangan sepakbola turnamen bergengsi La Liga Espana di Spanyol.
Memang sih, di sekeliling dalam lokasi Keraton Kaibon boleh dibilang hanya sedikit terlihat sampah-sampah yang berserakan. Tetapi, nampaknya kebersihan ini belum berbanding lurus dengan kondisi sekitar luar keraton yang kurang memiliki sense of belonging sehingga belum tergerak menjaga kerapihan, keramahtamahan dan kenyamanan lokasi cagar budaya kepada para wisatawan domestik maupun mancanegara.
* * * * *
Ya sudah, kita tinggalkan keprihatinan melihat kondisi cagar budaya dan obyek wisata bersejarah Keraton Kaibon dengan beberapa penilaian kurang sedapnya. Mari sekarang kita mengulik, bagaimana Pemkot dan seluruh elemen warga Kota Tangerang Selatang berjibaku menyelamatkan kotanya dari “tertutup” buangan sampah.
Musuh mereka bertiga adalah sosok jahat Juragan Ratam alias Rakus Tamak yang menghalalkan segala cara dalam mengembangkan bisnisnya, termasuk merusak lingkungan dan tidak menjaga kebersihan maupun kelestarian alam. Juragan Ratam dibantu Profesor Linglung, yang saking takut dan tidak berani melawan titah Juaragan Ratam, maka kejeniusannya justru disalahgunakan untuk merusak kelestarian lingkungan, misalnya dengan menciptakan Monster Limki atau Limbah Kimia.
Selengkapnya mengenai kelahiran Pelitas, yang digadang-gadang dapat menarik minat serta mengedukasi anak-anak usia 4 – 12 tahun untuk menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan ini dapat dibaca pada tulisan sebelumnya, berjudul Inilah Pelitas, Super Hero Penyelamat Lingkungan Kota Tangsel.
Praktiknya di lapangan, bukan hanya tokoh super hero rekaan Pelitas saja yang berjibaku mewujudkan Kota Tangsel bersih dan bebas dari sampah. Segenap elemen masyarakat dari berbagai latarbelakang pun semakin memperlihatkan kepeduliannya guna menjaga kebersihan setiap penjuru kota yang pada 26 November ini akan memperingati hari jadinya yang kedelapan. Diantara mereka adalah, tiga mahasiswa Universitas Surya di Summarecon, Serpong, Tangerang, yaitu Fajar Febrian, Tri Wahyu Hidayat, dan Fauzan, yang menciptakan aplikasi onlineSisaku.
Apa itu Sisaku?
“Ini adalah aplikasi yang diharapkan dapat memiliki dampak positif terhadap lingkungan, khususnya mengurangi jumlah sampah. Sementara ini, fokusnya masih menyasar sampah anorganik seperti botol, kaleng, kertas dan lainnya,” jelas Fajar, mahasiswa semester V Fakultas Ilmu Hayati Jurusan Informatika.
Aplikasi Sisaku diharapkan segera masuk Play Store untuk dapat diunduh dan dimanfaatkan sebagai aplikasi peduli kebersihan yang ciamik. Nantinya, aplikasi ini menyediakan tiga layanan untuk “melenyapkan” sampah anorganik. Pertama, layanan Marketku yang menyediakan market place untuk aneka produk hasil upcycle. Jadi, para pengrajin yang punya produk-produk yang terbuat dari sampah anorganik dapat diperjualbelikan secara umum.
Ketiga, layanan Infoku, yaitu seputar edukasi sampah, misalnya bagaimana memilah dan memilih sampah, mengelola sampah untuk dijadikan produk upcycle dan sebagainya.
“Aplikasi ini diciptakan untuk mengubah mindset masyarakat dari yang sementara ini berpikiran bahwa sampah hanyalah benda-benda yang sudah tidak penting dan layak dibuang begitu saja, menjadi pola pikir bagaimana memilah dan memilih sampah untuk dijadikan benda-benda upcycleyang memiliki nilai ekonomis,” jelas Tri Wahyu, mahasiswa semester V Fakultas Ekonomi dan Sosial Jurusan Agribisnis saat dijumpai pada pameran Tangerang Selatan Global Innovation Forum(TGIF) di Puspiptek - Serpong, September kemarin.
Fajar menambahkan, kehadiran aplikasi Sisaku diharapkan dapat menjadi solusi mengatasi tumpukan sampah yang kalau dibiarkan semakin parah akan malah menutupi seluruh Kota Tangsel.
Bisa dibayangkan efektivitas Sisaku --- ide start up yang terpilih untuk menjadi pemenang ajang Indonesia Sociopreneur Challenge (ISoC) 2015 bertema Waste Around Us --- bila sudah familiar di kalangan warga Tangsel. Kesadaran bersama akan membuahkan volume sampah yang dibuang dan disalurkan masuk ke TPA Cipeucang dapat dikurangi. Begitu pula dengan pendapatan masyarakat juga dapat meningkat, karena bisa “menjual” sampah dan mengolah sampah menjadi produk-produk bernilai ekonomis.
Perjuangan Relawan Mengelola Bank Sampah
Kalau tadi para penggagas dan pembuat start up Sisaku menyebut keterlibatan bank sampah-bank sampah yang ada di Kota Tangsel, sebenarnya bagaimana geliat bank yang menampung dan memberdayakan sampah rumah tangga tersebut?
“Kini kegiatan kami tidak cuma memilah, memilih dan menimbang sampah saja, tetapi juga mengupayakan bagaimana memanfaatkan sampah rumah tangga (rumga). Sehingga sampah-sampah rumga tidak lagi keluar dari wilayah RW tempat dimana kita tinggal,” jelasnya. (Selengkapnya reportase tentang bank sampah ini, baca tulisan sebelumnya: Ada Sampah, Pasti Ada Eka Maidya)
Urun sibuk antara Pemkot Tangsel melalui Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman (DKPP) dengan FORKAS juga amat harmonis. Antara lain, pembinaan dan pelatihan kepada para kelompok bank sampah untuk membuat komposter penghasil pupuk cair. Dengan pupuk cair yang dihasilkan, pelatihan semakin ditingkatkan dengan melaksanakan urban farming, pertanian warga. Ada juga kegiatan membuat lubang-lubang biopori yang fungsinya menyimpan cadangan dan meghindari genangan air, serta pelatihan menghasilkan eco brick atau sampah plastik ukuran kecil yang dipadatkan dalam botol bekas. Tak ketinggalan, membuat produk upcycle bernilai ekonomis dari sampah anorganik.
Data yang dimiliki FORKAS untuk satu kelompok bank sampah bernama ‘Baginda’ misalnya, sempat menyentuh angka penjualan tertinggi mencapai Rp. 6.343.240 pada Agustus 2015, kemudian sebulan kemudian, September 2015, anjlok menjadi Rp. 2.112.550. Sedangkan angka penjualan tertinggi per Januari hingga September 2015, ditempati oleh kardus sebesar Rp 5.019.500, disusul botol bening senilai Rp 2.719.500, kemudian plastik warna dengan cuan masuk mencapai Rp 2.684.600. (lihat tabel)
Angka ini baru dicapai oleh satu bank sampah. Bayangkan bila di Tangsel ada 145 bank sampah seperti sekarang, dan kelak diproyeksikan jumlahnya menjadi 540 bank sampah. Perputaran roda ekonomi pasti membuat warga tersenyum akibat keberkahan sampah. “Saya percaya kata para pakar bahwa ‘Sampah Dipilah Menjadi Berkah dan Sampah Dipilah Menjadi Rupiah’. Ini benar adanya,” bahagia Eka.
Beruntung, keberadaan bank-bank sampah di Tangsel tidak dibiarkan merana. Pemkot melalui DKPP urun sibuk melakukan pembinaan dan pelatihan. “Misalnya, bagaimana memilah dan memilih sampah. Sampah anorganik sebagian bisa dijual ke lapak pemulung, sebagian lagi bisa dibuat beraneka kerajinan produk upcycle. Sedangkan sampah organiknya, dimanfaatkan untuk membuat kompos pupuk cair menggunakan tabung komposter. Setelah para anggota bank-bank sampah pandai membuat kompos pupuk cair, kemudian kami laksanakan pelatihan secara simultan yakni bagaimana mengelola pertanian warga atau urban farming,” tutur Yepi Suherman, Kepala Bidang Kebersihan Tangsel kepada penulis.
Apabila urban farming ini sudah semakin tersosialisasi dan diwujudkan dengan baik, maka pada saatnya nanti akan muncul sentra-sentra produksi hasil pertanian warga melalui komunitas bank-bank sampah.
“Untuk sementara ini, kami berharap komunitas pengelola urban farming menanam sayur-mayur yang usianya pendek sehingga bisa cepat dipanen untuk memenuhi kebutuhan keluarganya lebih dahulu. Kelak, apabila semua sudah siap ber-urban farming, maka kami punya proyeksi untuk menetapkan satu komunitas untuk satu sentra produksi pertanian. Misalnya, di lokasi A adalah urban farming untuk sentra cabai, sedangkan di lokasi B khusus untuk terung ungu, begitu juga dengan sentra-sentra lain dengan produk pertanian yang berbeda seperti sayur-mayur dan lainnya,” tuturnya.
Kelak, dengan adanya sentra-sentra urban farming ini, harapannya kemudian adalah menjadikan Tangsel sebagai Pusat Edukasi Sampah. “Artinya, bisa menjadi aset kota untuk raihan devisa dari sektor pariwisata,” harap Yepi.
Ternyata hal ini tidak lepas kaitannya dengan keterbatasan lahan TPA sampah yang dimiliki Tangsel yaitu di Cipeucang. Seperti dijelaskan Yepi, TPA ini merupakan hibah dari Pemkab Tangerang sehubungan pemekaran wilayah, dimana Tangsel menjadi kota otonom sendiri.
“Di TPA Cipeucang ini ada dua zona land fill atau kita menyebutnya kolam sampah. Kolam pertama seluas 2,5 hektar dan sudah maksimal alias tidak dapat lagi menampung buangan sampah baru, malah sudah mau ditutup lantaran ketinggian sampahnya sudah menjulang hampir 15 meter. Sementara kolam kedua, luasnya 1,7 hektar dan masih bisa menampung sampah baru dengan segala keterbatasannya,” terang Yepi.
Untuk memperpanjang usia kolam kedua tadi, imbuh Yepi, pihaknya tidak mungkin membuang seluruh sampah yang berhasil diangkut lalu dibuang begitu saja ke sana. “Makanya, harus dilakukan pemilahan dan pemilihan sampah terlebih dahulu oleh warga bersama komunitas bank-bank sampah. Selain itu, sampah-sampah baru yang akan dibuang ke kolam kedua harus sudah melalui tahap pemadatan atau di-press terlebih dahulu,” terangnya.
Kondisi darurat TPA sampah Cipeucang juga tergambarkan dari keterangan Yepi soal penambahan jumlah armada kendaraan angkut sampah.
“Memang kami akui, penambahan jumlah armada angkut sampah ini sengaja dilakukan secara bertahap. Alasannya sederhana, kalau armada angkut sampah ini diperbanyak bahkan melebihi batas, dampaknya akan berpengaruh pada jumlah dan volume sampah yang juga akan dibuang ke kolam kedua. Padahal, di sisi lain kami berharap, usia pemakaian kolam kedua TPA Cipeucang bisa lebih panjang,” jujur Yepi seraya berharap dengan membina komunitas bank-bank sampah, dan memperbanyak jumlah TPS3R (Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Reduce Reuse Recycle) akan membuat pada saatnya nanti sampah-sampah akan habis di sumbernya yaitu di rumah-rumah tangga. “Jadi tidak perlu lagi sampah itu dibuang ke TPA Cipeucang,” tuturnya.
Bagaimana dengan potret kebersihan di wilayah perairan Tangsel? Ya, kota ini memang unik. Kondisi alamnya tidak melulu daratan. Di sini terdapat beberapa situ, seperti misalnya Situ Tujuh Muara, Situ Legoso, Situ Bungur, Situ Gintung (kini Bendungan Gintung), dan Situ Sasak Tinggi. Ironisnya, luas wilayah situ, dari tahun ke tahun mengalami penciutan. Belum lagi, kualitas air yang belum tentu terjamin bebas pencemaran. Tambah lagi, kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah ke perairan situ masih sangat rendah.
Bersyukur, masih banyak aktivis peduli lingkungan yang senantiasa rajin mengerjakan Opsih alias Operasi Bersih dengan terjun langsung ke situ-situ. Seperti Opsih yang belum lama ini dilaksanakan di Situ Tujuh Muara, Pamulang.
Viera, salah seorang aktivis dari OKP Ganespa yang turut andil membersihkan perairan situ mengatakan, kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah ke situ masih rendah. Terbukti, masih banyak sampah-sampah organik dan non-organik yang berhasil diangkat ke daratan. “Juga, sampah limbah rumah tangga banyak yang kita temukan mengapung, termasuk pampers bekas pakai, kemasan plastik, bekas lampu bohlam, aneka pecahan kaca, styrofoam, bambu panjang dan kayu-kayu serta masih banyak lagi. Bahkan, cukup banyak sampah yang masih terbungkus dalam plastik kresek,” ujar gadis belia yang tinggal di Jalan Haji Saidin, Pamulang, Tangsel ini.
Wujudkan Gerakan Budaya Bersih dan Senyum
Berjibakunya Pemkot dan segenap warga Tangsel untuk mengelola dan mengolah sampah sepertinya masih kontras dengan kenyataan, masih terlihat banyak sampah berserakan dimana-mana. Misalnya, di Jalan Ciputat Raya atau tepatnya di seputaran Pasar Ciputat dan seberang Pasar Swalayan Tip-Top, Jalan Aria Putra (Ciputat), Jalan Sukadamai Raya (Ciputat), beberapa lokasi di Sawah Baru (Ciputat), Jalan Pajajaran (Pamulang) dan lainnya.
Kesadaran warga untuk tidak membuang sampah sembarangan masih belum menjadi budaya luhur yang patut dijunjung tinggi. Padahal, kalau Tangsel bersih, maka semakin banyak orang yang merasakan manfaatnya. Mulai dari kesehatan masyarakat, kebersihan hingga kenyamanan tinggal para warga kotanya.
Dampak secara ekonomi pun siap terimbas. Dengan Tangsel yang bersih akan berpotensi menghadirkan para pelaku usaha yang kian banyak membuka lapangan kerja. Akibatnya, perekonomian masyarakat makin meningkat. Praktis, kesejahteraan yang meningkat ini akan membawa sosial kehidupan menjadi lebih baik. Tangsel yang bersih dan sejahtera akan mengubah wajah seisi kota menjadi lebih ramah-tamah juga.
Ini pula yang merupakan salah satu amanat Gerakan Budaya Bersih dan Senyum (GBBS) yang kini terus digencarkan Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
Gerakan yang diharapkan menjadi “viral”, familiar dan membudaya ini merupakan salah satu bagian dari tiga Gerakan Nasional Revolusi Mental, yaitu Indonesia Tertib, Indonesia Melayani dan Indonesia Bersih. GBBS pun dikembangkan dalam rangka membangun sikap mental masyarakat Indonesia yang sehat karena memiliki kepedulian terhadap kebersihan dan kelestarian lingkungan, dan berkepribadian ramah bersahabat. GBBS terdiri dari dua gerakan moralitas publik yaitu Budaya Bersih dan Budaya Senyum.
Adapun nilai-nilai dasar revolusi mental yang terkandung dalam GBBS adalah Integritas, Etos Kerja, dan Gotong Royong. Dengan demikian diharapkan GBBS menjadi pembuka jalan bagi kekuatan pembangunan ekonomi nasional dan sekaligus kekuatan bangsa Indonesia sebagai poros maritim dunia. Gerakan ini merupakan gerakan nasional dan akan dilaksanakan secara berkesinambungan mulai tahun 2016 hingga 2019. Pencanangan GBS telah dilaksanakan pada tanggal 28 November 2015 di kawasan Marunda, Jakarta Utara.
Mengapa harus Budaya Bersih?
Asal tahu saja, setiap tahunnya ada 8 juta ton sampah plastik sedunia yang mencemari lautan. Menurut sebuah riset yang dimuat jurnal Science, para peneliti menegaskan sampah plastik yang mengalir ke laut dapat mencapai jumlah yang lebih besar lagi. Angka 8 juta ton hanyalah sampah yang dibuang masyarakat pesisir yang berada di 192 negara.
Adalah Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia yang pada 2015 kemarin memperkirakan bahwa, para penduduk yang tinggal di sekitar 50 kilometer dari garis pantai setiap negara, menghasilkan 275 juta ton sampah plastik pada 2010. Adapun sampah plastik yang terbuang dan mencemari lautan mencapai 4,8 hingga 12,7 juta ton.
Ironisnya, Indonesia menempati posisi kedua dengan produksi sampah plastik mencapai 3,2 juta ton. Jumlah sampah plastik yang mencemari laut mencapai 1,29 juta ton. Penelitian ini pun masih memberi penegasan, bahwa sekitar 83 persen sampah di Indonesia tidak dikelola dengan baik.
“Fakta riset ini parah sekali! Pantaslah kalau sangat merisaukan, karena ternyata perilaku kita sangat menyedihkan terhadap sampah plastik di lautan. Padahal, kita punya budaya Nusantara yang sangat menjunjung tinggi kebersihan, seperti misalnya yang diterapkan oleh masyarakat Desa Panglipuran di Bali. Bahkan, ada juga satu hotel di Sumba Barat, yang terpilih oleh sebuah majalah travel wisata dunia sebagai hotel terbaik sedunia tahun 2016. Namanya, Hotel Nihiwatu,” ujar Musyarafah Machmud selaku Wakil Ketua Satuan Tugas GBBS ketika menjadi pembicara di acara Kompasiana Nangkring bersama Kemenko Bidang Kemaritiman dengan tajuk “Sukseskan GBBS”, pada 9 September kemarin di Jakarta.
Sejumlah kebijakan di bidang Pariwisata pun sudah ditetaskan Pemerintah:
- Meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan dari 10 juta (2015) menjadi 20 juta orang pada 2019.
- Bebas visa kunjungan bagi 169 negara. Kebijakan ini melalui Perpres No.21/2016 tentang Bebas Visa Kunjungan.
- Kemudahan perizinan kapal yacht asing, sesuai Perpres No.105/2016 tentang Kunjungan Kapal Wisata (Yacht) ke Indonesia.
- Pencabutan Cabotage Cruise (Kapal Cruise); Meningkatkan jumlah kunjungan Kapal Cruiseke lima pelabuhan utama di Indonesia (Jakarta, Makassar, Benoa, Semarang, Surabaya).
- Menetapkan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) seperti Toba, Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, Kepulauan Seribu, Borobudur, Bromo, Wakatobi, Labuan Bajo, Mandalika, dan Morotai.
Menanggapi bebas visa kunjungan bagi 169 negara itu, Ara menekankan perlunya kemudahan berkunjung itu dibarengi dengan pelaksanaan GBBS.
“Kita juga sudah mengeluarkan kebijakan bebas visa kunjungan untuk 169 negara. Kemudahan ini sepatutnya meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia. Tapi harap dicatat, seandainya para wisatawan itu datang kemudian melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Indonesia itu kotor, apakah kelak mereka akan sudi kembali lagi? Tentu saja tidak! Bahkan, kita sendiri yang orang Indonesia asli, kalau melihat ada obyek wisata kotor, tentu spontan akan berkata “Sayang sekali kondisinya jorok dan kotor, padahal tempatnya bagus”. Sudah pasti, kita akan malas dan enggak untuk kembali lagi ke obyek wisata tersebut,” tuturnya cemas.
Tabel Indeks Daya Saing Kepariwisataan yang menukil paparan Travel and Tourism Competitiveness Report 2015oleh World Economic Forum (WEF) membeberkan Perbandingan Indeks Kompetitif Pariwisata Antar Negara Asia, dimana diketahui bahwa, daya saing Indonesia meningkat dari peringkat 70 (2013) menjadi 50 (2015).
Lebih ironis lagi, Indonesia semakin terpuruk bila dibandingkan dengan negara-negara se-ASEAN, karena memperoleh peringkat 109 untuk sisi kesehatan (health)danhigienitas (hygiene). Indonesia berada di bawah posisi Singapura (61), Malaysia (73), Vietnam (83), Thailand (89), Filipina (91) dan Laos (108). Meskipun, Indonesia unggul atas Kamboja yang meraih ranking 112.
Pun begitu, di masa datang, optimisme melambung tetap tertambat pada sektor pariwisata untuk menambah pundi-pundi cuan devisa negara. Apalagi, kalau kita tengok, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada Agustus 2016, ternyata kembali berhasil menembus angka di atas 1 juta wisman (1.031.986 wisman) atau mengalami peningkatan sebesar 13,19 persen bila dibandingkan Agustus 2015 yang sebesar 911.704 wisman. Sebelumnya, pencapaian angka 1 juta wisman juga terjadi untuk pertama kali pada Juli 2016 dengan 1.032.741 wisman.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Asdep Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan, Deputi Bidang Pengembangan Kelembagaan Kepariwisataan, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menandaskan, secara kumulatif kunjungan wisman pada Januari hingga Agustus 2016 mencapai 7.356.310 wisman atau meningkat sebesar 8,39 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sejumlah 6.786.906 wisman.
Seraya tersenyum, Ara menjawab sambil mengingatkan, ketika obyek-obyek pariwisata Indonesia sudah bersih, indah, nyaman, terpelihara kelestariannya, dan begitu mempesona, tetapi layanan yang disuguhkan tanpa memberikan sesungging senyum, maka hal ini akan sama saja dengan kembali memati-surikan pariwisata Nasional itu sendiri.
“Kalau kita memperoleh layanan dari orang-orang yang susah senyum dan jutek seperti itu, bagaimana mungkin orang akan memberikan rekomendasi untuk datang dan datang lagi berwisata ke Indonesia? Pasti mereka akan merasa ngeri untuk datang ke Indonesia, kalau layanan wisata dan keramah-tamahan sudah tidak ditampilkan lagi,” tegas Ara.
- Nawa Cita ke-3: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
- Nawa Cita ke-5: Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program "Indonesia Pintar"; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.
- Nawa Cita ke-6: Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
- Nawa Cita ke-7: Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
- Nawa Cita ke-8: Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.
- Nawa Cita ke-9: Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
.
Ketika menuntaskan reportase terkait tema GBBS di Tangsel, saya sempat beristirahat di taman yang ada di bantaran Situ Bungur, Pondok Ranji. Sejauh mata memandang, tidak ada sampah yang mengapung di permukaan. Hanya saja, kepedulian warga untuk tidak membuang sampah di bantaran situ masih tetap saja kurang. Padahal sudah disediakan tong-tong tempat sampah, agar pengunjung tidak membuang sampah sembarangan.
Jadi, ayo sukseskan GBBS. Gerakan Budaya Bersih dan Senyum. Yessss …!
* * * * *
Baca juga tulisan sebelumnya, terkait GBBS:
Inilah Pelitas, Super Hero Penyelamat Lingkungan Kota Tangsel
Ada Sampah, Pasti Ada Eka Meidya
Tonton juga VIDEO BLOGGING (VLOG) terkait GBBS:
Wujudkan GBBS di Kota Tangerang Selatan
Super Hero PELITAS Siap Sukseskan GBBS
Eka Meidya Aktivis Bank Sampah Kota Tangsel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H