Lihatlah foto di atas. Jemuran pakaian warga bergelantungan di pagar besi. Padahal, asal tahu saja, di balik pagar besi itu adalah obyek wisata teramat bersejarah yaitu sisa-sisa reruntuhan Keraton Kaibon yang berlokasi di Banten Lama.
Sebagai pelancong domestik, beberapa bulan lalu, saya sempat penuh semangat ’45 sejak sedari rumah menuju keraton yang terletak di Kampung Kroya, Desa Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kota Serang ini. Alih-alih ingin melihat langsung kompleks bangunan bekas kediaman raja Kesultanan Banten Sultan Syafiudin (1809 – 1813), ternyata kepuasannya kurang maksimal.
Betapa tidak? Sisa reruntuhan keraton yang pada 1816 oleh Pemerintah Hindia Belanda sempat dijadikan pusat pemerintahan Bupati Banten pertama Aria Adi Santika, sebagai ganti pemerintahan Kesultanan Banten, rupanya kini menampakkan sisi kurang terawat secara baik. Padahal, Keraton Kaibon yang dibongkar pada 1832 dan hanya menyisakan pondasinya saja ini, termasuk cagar budaya yang dilindungi UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Saya yang termasuk warga Provinsi Banten bisa jadi agak “memahami” kondisi memprihatinkan seperti ini, tapi saya tak bisa membayangkan, bagaimana bila ada turis dari wilayah lain, atau katakanlah dari mancanegara yang berwisata sejarah di Keraton Kaibon, lalu menemukan pemandangan miris seperti ini.
Sungguh, jangankan soal kerapihan, keasrian dan kenyamanan lokasi keraton sebagai obyek wisata kaya memoar sejarah lokal ini, bahkan kebersihan dan senyum keramah-tamahan pun nyaris tak nampak sama sekali. Padahal, pariwisata Indonesia mengusung tagline “Pesona Indonesia” atau “Wonderful Indonesia”. Tapi, dengan berkaca pada sambutan ramah penduduk sekitar lokasi obyek wisata yang jauh dari ramah dan tanpa senyum, jemuran pakaian yang bergelantungan, air sungai di sekitar yang menghitam, kebersihan Mandi Cuci Kakus (MCK) warga yang bikin mengelus dada siapa saja yang sengaja maupun tidak sengaja menyaksikannya, apakah begini yang namanya “Pesona Indonesia” serta “Wonderful Indonesia”? Padahal, tagline “Wonderful Indonesia” selain muncul di layar kaca, malah sudah juga narsis di papan iklan digital lapangan sepakbola turnamen bergengsi La Liga Espana di Spanyol.
Memang sih, di sekeliling dalam lokasi Keraton Kaibon boleh dibilang hanya sedikit terlihat sampah-sampah yang berserakan. Tetapi, nampaknya kebersihan ini belum berbanding lurus dengan kondisi sekitar luar keraton yang kurang memiliki sense of belonging sehingga belum tergerak menjaga kerapihan, keramahtamahan dan kenyamanan lokasi cagar budaya kepada para wisatawan domestik maupun mancanegara.
* * * * *
Ya sudah, kita tinggalkan keprihatinan melihat kondisi cagar budaya dan obyek wisata bersejarah Keraton Kaibon dengan beberapa penilaian kurang sedapnya. Mari sekarang kita mengulik, bagaimana Pemkot dan seluruh elemen warga Kota Tangerang Selatang berjibaku menyelamatkan kotanya dari “tertutup” buangan sampah.