Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ada Sampah, Pasti Ada Eka Meidya

7 Oktober 2016   12:29 Diperbarui: 7 Oktober 2016   19:08 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anggota bank sampah blusukan di saluran air untuk membersihkan sampah. (Foto: FORKAS)

Awalnya, Eka Meidya (53) benci  banget sama sampah. Swear deh, bau, jijik dan sebagainya. Ia sebal kalau lihat sampah berserakan. Sama sekali ia enggan bersinggungan dengan sampah. Tapi kini, apa yang terjadi? Justru sampah-sampah itu jadi “sahabat”nya. Sehari-harinya, bersama sang suami, Tarmizi yang merupakan Ketua RW 06 di perumahan Villa Pamulang Mas, Pamulang, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Eka semakin “bergelimang” sampah. Sementara sang suami juga aktif mengelola incinerator, mesin pencacah dan penghancur sampah di lingkungan yang sama. Hebatnya, incinerator ini menjadi proyek percontohan pengelolaan sampah di kota yang pada 26 November ini segera berusia delapan tahun.

Kok bisa getoh? Ya maklum aja, selain menjadi “ibu jenderal” di lingkungan RW-nya, Eka juga menjabat Ketua Umum FORKAS (Forum Komunikasi Bank Sampah Tangerang Selatan). Sebuah Forkom yang berdiri sejak November 2014, dimana didalamnya bergabung kelompok-kelompok bank sampah. FORKAS kemudian diresmikan Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany pada 25 Mei 2015. Airin sendiri mengukuhkan diri sebagai pelindung secara formal. “Ini sudah periode kepengurusan kedua. Insya Allah, saya hanya menjabat sampai 2019 saja. Enggak mau lama-lama,” ujar Eka tersipu kepada penulis.

Anggota FORKAS, kini ‘baru’ ada 145 bank sampah. Semuanya tersebar di seantero wilayah kota yang luasnya cuma se-uprit, 147,19 km2, dengan penduduk mencapai lebih dari 1,4 juta jiwa.

Salah satu kegiatan rutin bank sampah adalah menimbang sampah rumah tangga yang sudah dipilah dan dipilih. (Foto: FORKAS)
Salah satu kegiatan rutin bank sampah adalah menimbang sampah rumah tangga yang sudah dipilah dan dipilih. (Foto: FORKAS)
Kegiatan penimbangan sampah rumah tangga di bank sampah. (Foto: FORKAS)
Kegiatan penimbangan sampah rumah tangga di bank sampah. (Foto: FORKAS)
“Sudah ada 145 bank sampah yang tergabung di FORKAS. Semuanya ada di tujuh kecamatan se-Tangsel. Kegiatan kami, tidak melulu memilah, memilih, menimbang dan menjual sampah saja, tapi juga kreatif membuat bagaimana memanfaatkan sampah-sampah rumah tangga atau rumga. Dengan begitu, minimal, sampah-sampah rumga tidak keluar dari wilayah RW tempat kita bermukim,” jelasnya. “Kalaupun ada sampah yang terpaksa keluar dari wilayah RW dan akhirnya kelak dikirim ke TPA Cipeucang, maka itu sampah jenis B3 atau Bahan Berbahaya dan Beracun saja.”

Selain inisiatif para relawan yang peduli akan kebersihan lingkungan, Forkom ini mendapat pendampingan dan binaan dari Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman (DKPP) Tangsel. Misalnya, pelatihan pembuatan pupuk kompos cair. “Pihak DKPP, dalam hal ini Dinas Kebersihan, menyediakan tabung-tabung komposter yang biasa kami sebut sebagai tabung ajaib. Dinamakan ajaib karena sanggup menghasilkan kompos cair sebagai pupuk tanaman. Padahal pengolahannya hanya dengan memanfaatkan sampah-sampah rumah tangga. Kepada semua anggota bank sampah, kami ajarkan cara membuat kompos cair ini,” semangat Eka.

Selain pembuatan pupuk kompos cair, FORKAS juga bergerak bersama dengan seluruh elemen masyarakat untuk membuat lubang-lubang biopori. Fungsinya, menyimpan air dan menghindari genangan air yang berpotensi bisa jadi sarang nyamuk penyebab demam berdarah, sampai bencana banjir.

Anggota bank sampah blusukan di saluran air untuk membersihkan sampah. (Foto: FORKAS)
Anggota bank sampah blusukan di saluran air untuk membersihkan sampah. (Foto: FORKAS)
Anggota bank sampah membersihkan lingkungan dari sampah. (Foto: FORKAS)
Anggota bank sampah membersihkan lingkungan dari sampah. (Foto: FORKAS)
Selain pembuatan pupuk kompos cair, FORKAS juga bergerak bersama-sama seluruh elemen masyarakat dengan membuat lubang-lubang biopori. Fungsinya adalah untuk menyimpan air dan menghindari air tergenang di sekitar rumah, yang dapat menjadi sarang nyamuk bahkan mengakibatkan banjir. “Minimal, di setiap rumah, ada tiga lubang bipori,” kata Eka.

Kini, kata Eka, pihaknya juga tengah sibuk menggelorakan pembuatan produk-produk upcycle. Memilah, memilih dan mengolah sampah anorganik menjadi aneka kerajinan tangan yang memiliki nilai ekonomis tinggi.

“Tidak berhenti sampai disitu, kami juga sedang memulai gerakan urban farming yang sangat cocok diterapkan oleh warga Tangsel yang di setiap rumahnya kurang memiliki lahan luas untuk berkebun. Urban farming ini memperoleh pupuk dari kompos padat yang berbahan baku sampah-sampah rumah tangga dan dibuat sendiri oleh para anggota bank sampah, tanpa sedikit pun menggunakan campuran bahan-bahan kimia,” ungkap Eka. “Tanaman yang kita tanam misalnya kangkung dan bayam yang punya umur pendek juga cepat panen.”

Urban farming di Kebun Darlin atau Sadar Lingkungan, Pamulang, Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Urban farming di Kebun Darlin atau Sadar Lingkungan, Pamulang, Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Komposter menggunakan tabung ajaib penghasil pupuk kompos cair. (Foto: Gapey Sandy)
Komposter menggunakan tabung ajaib penghasil pupuk kompos cair. (Foto: Gapey Sandy)
Penanganan sampah juga diupayakan dengan cara membuat eco brick. Proses ini disebut juga dengan upaya memenjarakan sampah. “Misalnya, sampah plastik permen. Meskipun ukurannya kecil, tapi kalau sering-sering kita buang sembarangan, maka plastik itu akan mencemari lingkungan. Makanya, eco brick ini merupakan kreativitas anggota bank sampah dengan cara membawa botol bekas air minum kemasan. Ukuran botol 600 ml, sampah-sampah yang kita “penjarakan” bisa mencapai 200 gram. Bayangkan, kalau setiap warga bisa membuat eco brick, maka sampah-sampah ukuran kecil bisa dipadatkan dalam botol bekas, untuk kemudian jadi produk bermanfaat seperti kursi taman, dingklik dan lainnya,” urai Eka seraya memperlihatkan contoh eco brick dari sekumpulan botol bekas berisi sampah kecil-kecil yang memadat, dan sudah siap pakai.

Berapa banyak sampah bisa terserap oleh bank sampah yang ada di Tangsel?

Taksiran kasarnya, menurut Eka, untuk setiap bank sampah, per bulannya bisa mengumpulkan sampah sebanyak 300 - 500 kilogram. “Itemnya bisa berupa botol bekas, gelas plastik, kaca, karton, plastik keras, besi, koran, buku, dan boncos alias segala macam sampah seperti karton undangan, bekas snack box dan lainnya. Boncos ini harganya tidak seberapa, tapi kalau dikumpulkan di bank sampah bisa mengurangi volume sampah,” katanya.

Idealnya, jumlah bank sampah harus lebih banyak lagi. “Cita-cita kita, minimal dalam satu RW ada satu bank sampah. Nah, di Tangsel ini ada 7 kecamatan dan 54 kelurahan. Katakanlah dalam setiap kelurahan ada 10 RW, maka hendaknya dalam 1 RW itu minimal ada 1 bank sampah. Dengan begitu, cita-cita kami adalah membentuk 540 bank sampah se-Tangsel ini,” seru Eka.

Eka mempraktikkan pembuatan eco brick. Plastik dan sampah-sampah ukuran kecil dimasukkan ke dalam botol lalu dipadatkan, maka jadilah eco brick. (Foto: Gapey Sandy)
Eka mempraktikkan pembuatan eco brick. Plastik dan sampah-sampah ukuran kecil dimasukkan ke dalam botol lalu dipadatkan, maka jadilah eco brick. (Foto: Gapey Sandy)
Eco Brick hasil karya kreatif dari usaha memenjarakan sampah oleh para anggota bank sampah. Bisa dijadikan kursi taman-taman sekolah dan sebagainya. (Foto: Gapey Sandy)
Eco Brick hasil karya kreatif dari usaha memenjarakan sampah oleh para anggota bank sampah. Bisa dijadikan kursi taman-taman sekolah dan sebagainya. (Foto: Gapey Sandy)

Bank sampah yang dikelola Eka sendiri bernama “Vipamas” sebagai singkatan dari Villa Pamulang Mas. Sejak berdiri pada 2012, kini anggotanya sudah mencapai 120 orang. Dari delapan RT yang bergabung didalamnya, bank sampah “Vipamas” rata-rata dapat mengumpulkan sampah sebanyak 500 kilogram per bulan. “Sampah-sampah hasil pemilahan dan pemilihan ini kemudian dijual ke pengepul. Ini membenarkan apa yang sering diucapkan banyak pakar bahwa ‘Sampah Dipilah Menjadi Berkah dan Sampah Dipilah Menjadi Rupiah’. Saya bersama FORKAS sudah membuktikan kebenarannya,” tegas Eka.

Awalnya mendirikan “Vipamas”, Eka mengaku diajak oleh Ketua RW, yang tak lain suaminya sendiri. Peribahasa “witing tresno jalaran soko kulino” pun terjadi. Semakin lama, Eka justru semakin jatuh cinta pada upaya pengendalian sampah. “Dari yang awalnya benci kepada sampah, eh sekarang malah jatuh cinta karena akhirnya terbiasa “bergaul” dengan sampah. Tapi ingat ya, pengelolaan dan pengolahan sampah harus sama-sama, enggak boleh egois, masak rumah kita sendiri yang bersih sementara rumah tetangga-tetangga lain tidak bersih. Dari situlah akhirnya, empat tahun lalu saya mendirikan bank sampah “Vipamas” ini,” cerita Eka.

Eka masih ingat betul kendala-kendala yang dihadapi dirinya sewaktu pertama kali mendirikan bank sampah. Mulai dari ketidakpedulian warga, cemoohan, nyinyir dan lainnya. “Banyak yang merasa karena sudah membayar iuran sampah setiap bulan, maka segalanya selesai. Sama sekali tidak terpikirkan bahwa sampah adalah juga tanggung-jawab bersama untuk dikelola dan dientaskan,” kisahnya.

Aktivis bank sampah sedang mengolah sampah setelah dipilah dan dipilih menjadi aneka produk upcycle yang bernilai ekonomis. (Foto: Gapey Sandy)
Aktivis bank sampah sedang mengolah sampah setelah dipilah dan dipilih menjadi aneka produk upcycle yang bernilai ekonomis. (Foto: Gapey Sandy)
Aneka produk upcycle yang bernilai ekonomis. (Foto: Gapey Sandy)
Aneka produk upcycle yang bernilai ekonomis. (Foto: Gapey Sandy)
Menghadapi ‘tembok’ banyak penolakan oleh warganya sendiri ini, Eka anti pundung hatinya. Ia tetap bersikeras memperjuangkan berdirinya bank sampah sekaligus melibatkan seluruh warga untuk aktif didalamnya.

“Akhirnya, saya mulai bergerilya dengan mengajak terlebih dahulu para pembantu atau bahasa keren-nya asisten rumah tangga. Kepada para asisten rumga ini, saya mengiming-imingkan bahwa kalau bergabung dengan bank sampah, maka bakal punya tabungan uang. Meskipun, nilainya tidak banyak. Paling-paling setiap menimbang, seorang ‘nasabah’ hanya dapat Rp 5.000. Tapi lama kelamaan nilai yang sedikit pasti jadi bukit. Minimal, untuk para asisten rumga ini bisa beli pulsa handphone ketika mudik nanti,” ujarnya.

Kegigihan dan inflitrasi Eka berhasil. Provokasinya kepada para asisten rumga untuk bergabung dengan bank sampah mulai menunjukkan angka anggota. “Hahahaaaa … awalnya cuma lima asisten rumga saja yang sudi bergabung dengan “Vipamas” itu,” kenang ibu dari dua anak dan nenek dari dua cucu ini.

Sampah berserakan di perairan situ di Kota Tangsel. Pelaksanaan Opsih di Situ Tujuh Muara, Pamulang, Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Sampah berserakan di perairan situ di Kota Tangsel. Pelaksanaan Opsih di Situ Tujuh Muara, Pamulang, Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Tong sampah disediakan di bantaran Situ Bungur, Pondok Ranji, Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Tong sampah disediakan di bantaran Situ Bungur, Pondok Ranji, Tangsel. (Foto: Gapey Sandy)
Tapi, Eka mengaku sempat galau dan jenuh melihat animo warga yang kurang merespon bank sampahnya. Meski begitu, Tuhan tak pernah tidur. Untuk sebuah niat baik, pasti Tuhan membimbing hamba-Nya menuntaskan takdir-Nya. Tibalah suatu saat, Tarmizi, suami Eka terpilih sebagai Ketua RW 06, membawahi delapan RT.

Nah, berbekal posisi cukup berwibawa sebagai “Ibu RW” dan atas nama Ketua RW, maka saya semangat lagi untuk menggelindingkan terus ide bank sampah sekaligus membesarkannya. Saya pun masuk dan memberi pengaruh kepada delapan RT yang ada dibawah koordinasi Ketua RW. Perlahan tapi pasti, pola sosialisasi yang digerakkan Eka menemukan hasilnya. Sampai akhirnya, pada Oktober 2015, jumlah anggota bank sampah saya naik dratis menjadi 90 orang,” tutur Eka yang menegaskan tidak akan pernah memaksakan kehendak agar orang masuk menjadi anggota bank sampah. “Biar saja mereka bergabung dengan inisiatif sendiri, sesuai kemanfaatan pribadi dan lingkungan.”

Bagaimana perputaran uang dari bank sampah “Vipamas”?

“Jawabannya, lucu,” kata Eka. Kenapa? “Karena, perumahan Villa Pamulang Mas yang mayoritas berasal dari keluarga menengah ke atas, warga tidak mau mengambil uang tabungan hasil bank sampahnya dalam tempo satu tahun sekali. Ada yang misalnya, dalam satu tahun memperoleh uang sebesar Rp 200.000 – Rp. 300.000. Nilai ekonomis ini menjadi pemicu semangat agar warga lebih giat lagi beraktivitas di bank sampah. Saya mewajibkan setiap anggota mengambil tabungannya ini satu tahun sekali, dengan disisakan saldo minimal Rp 10.000 saja. Karena, saya sendiri merasa, kurang enak hati apabila berlama-lama memegang amanah menyimpan uang tabungan bank sampah milik para anggota,” tutur Eka merendah hati.

Urban farming yang sudah menghasilkan. Siap panen terung ungu. (Foto: Gapey Sandy)
Urban farming yang sudah menghasilkan. Siap panen terung ungu. (Foto: Gapey Sandy)
Urban farming juga menjadi agenda kerja dan karya nyata kelompok bank sampah. (Foto: Gapey Sandy)
Urban farming juga menjadi agenda kerja dan karya nyata kelompok bank sampah. (Foto: Gapey Sandy)
Begitulah perjuangan Eka Meidya. Seorang ibu rumah tangga biasa, yang kebetulan suaminya menjadi Ketua RW, sehingga menakdirkan Eka mempunyai pengaruh sebagai “Ibu RW”, untuk kemudian berhasil mengajak dan membina warganya bergiat dalam wadah bank sampah. Hasil ekonomisnya terbukti. Begitu juga hasil positif kepada lingkungan. Sampah berkurang, kesadaran warga peduli lingkungan bertambah, dan alam sekitar menjadi bersih bestari.

Aksi Nyata Wujudkan GBBS

Apa yang diperjuangkan Eka Meidya bersama bank sampah “Vipamas” dan FORKAS adalah aksi nyata dalam mewujudkan Gerakan Budaya Bersih dan Senyum (GBBS).

Dalam wawancara eksklusif dengan penulis, Wakil Ketua Satuan Tugas GBBS, Musyarafah Machmud menerangkan, GBBS dicanangkan oleh Kemenko Bidang Kemaritiman sejak satu tahun lalu ketika momentum pelaksanaan Sail Tomini.

“GBBS diluncurkan dalam rangka mendukung Revolusi Mental. Fokus Pemerintah dalam Gerakan Revolusi Mental itu sendiri ada tiga yaitu: Indonesia Bersih, Indonesia Sehat, dan Indonesia Melayani. Salah satu upaya kita untuk mewujudkan Indonesia Bersih ini sudah tentu melalui GBBS ini,” tutur Ara, sapaan akrabnya, usai menjadi pembicara di acara Kompasiana Nangkring Bareng Kemenko Bidang Kemaritiman dalam tajuk Mensukseskan Gerakan Budaya Bersih dan Senyum, pada 9 September di Jakarta.

Wakil Ketua Satgas Gerakan Budaya Bersih dan Senyum, Musyarafah Machmud. (Foto: Gapey Sandy)
Wakil Ketua Satgas Gerakan Budaya Bersih dan Senyum, Musyarafah Machmud. (Foto: Gapey Sandy)
Indonesia peringkat kedua di dunia sebagai penyumbang sampah plastik di lautan. (Sumber: Jenna Jambeck)
Indonesia peringkat kedua di dunia sebagai penyumbang sampah plastik di lautan. (Sumber: Jenna Jambeck)
Ara menandaskan, apabila sampah dikelola dengan baik, semisal dipilah dan dipilih untuk kemudian dijadikan produk upcycle yang indah juga bermanfaat, pastilah produk upcycledari sampah itu akan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. “Jadi kalau memang kita sudah sadar untuk membuang sampah pada  tempatnya, dan sebelum membuang sampah itu kita melakukan pemilahan juga pemilihan sampah, maka citra buruk Indonesia dan pariwisata Indonesia di mata dunia, pasti tidak akan separah ini,” tegasnya.

Tujuan akhir dari GBBS ini, jelas Ara, adalah untuk meningkatkan citra pariwisata Indonesia. Sekaligus, memperbaiki citra buruk yang menempel yaitu Indonesia menjadi negara kedua penyumbang sampah plastik di dunia sesudah China. Selain itu, Indonesia juga masih terpuruk di peringkat 109 dari 141 negara di dunia untuk masalah kesehatan dan kebersihan.

“Agak-agak malu dong kita sebagai bangsa Indonesia dengan hasil temuan tersebut. Makanya kita harus meningkatkan lagi masalah kebersihan di negara kita tercinta. Misalnya saja, kita pergi ke negara Singapura dan Jepang, maka kita akan menyaksikan betapa kebersihan sangat dijaga di sana. Bahkan kita pasti akan menjunjung tinggi juga menjaga kebersihannya, tapi begitu kembali ke Indonesia, kita pasti akan sedih melihat kondisi yang sebaliknya. Tak hanya itu, banyak dari kita yang kemudian tidak melanjutkan kebiasaan hidup bersih seperti saat berada di Singapura maupun Jepang sana,” ujarnya sembari mengatakan bahwa target GBBS akan dilaksanakan hingga 2019.

Logo GBBS dan Kemenko Bidang Kemaritiman. (Sumber: Satgas GBBS)
Logo GBBS dan Kemenko Bidang Kemaritiman. (Sumber: Satgas GBBS)
Mengapa pariwisata ini menjadi begitu penting? Ara menjelakan, karena pada 2020 nanti, sektor pariwisata akan menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia. Mengalahkan sektor pertambangan, perkebunan dan sebagainya. "Selain itu, serapan tenaga kerja pada sektor pariwisata juga diprediksikan bakal melebihi sektor-sektor lainnya,” ujar Ketua Dharma Wanita Persatuan Kemenko Bidang Maritim ini.

Di lapangan, untuk mensukseskan GBBS ini, seluruh elemen masyarakat memang harus dilibatkan, bergotong-royong dan bersatu-padu. “Kemenko Bidang Kemaritiman sebagai koordinator Gerakan Revolusi Mental untuk Indonesia Bersih bekerja sama dengan seluruh elemen dan stakeholder. Kami bekerjasama dengan Pemerintah, swasta, LSM, mahasiswa, pelajar, aktivis peduli lingkungan, awak media, blogger dan sebagainya. Semoga dengan adanya GBBS ini, kita bisa melihat Indonesia yang lebih bersih dan lebih ramah,” harap Ara.

Ayo sukseskan GBBS : Gerakan Budaya Bersih dan Senyum!

* * * * *

* Tonton Video Blogging (VLOG)-nya:

Eka Meidya, Aktivis Bank Sampah Kota Tangsel

* Baca artikel terkait GBBS, sebelumnya:

Inilah Pelitas, Super Hero Penyelamat Lingkungan Kota Tangsel

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun