Awalnya, Eka Meidya (53) benci banget sama sampah. Swear deh, bau, jijik dan sebagainya. Ia sebal kalau lihat sampah berserakan. Sama sekali ia enggan bersinggungan dengan sampah. Tapi kini, apa yang terjadi? Justru sampah-sampah itu jadi “sahabat”nya. Sehari-harinya, bersama sang suami, Tarmizi yang merupakan Ketua RW 06 di perumahan Villa Pamulang Mas, Pamulang, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Eka semakin “bergelimang” sampah. Sementara sang suami juga aktif mengelola incinerator, mesin pencacah dan penghancur sampah di lingkungan yang sama. Hebatnya, incinerator ini menjadi proyek percontohan pengelolaan sampah di kota yang pada 26 November ini segera berusia delapan tahun.
Kok bisa getoh? Ya maklum aja, selain menjadi “ibu jenderal” di lingkungan RW-nya, Eka juga menjabat Ketua Umum FORKAS (Forum Komunikasi Bank Sampah Tangerang Selatan). Sebuah Forkom yang berdiri sejak November 2014, dimana didalamnya bergabung kelompok-kelompok bank sampah. FORKAS kemudian diresmikan Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany pada 25 Mei 2015. Airin sendiri mengukuhkan diri sebagai pelindung secara formal. “Ini sudah periode kepengurusan kedua. Insya Allah, saya hanya menjabat sampai 2019 saja. Enggak mau lama-lama,” ujar Eka tersipu kepada penulis.
Anggota FORKAS, kini ‘baru’ ada 145 bank sampah. Semuanya tersebar di seantero wilayah kota yang luasnya cuma se-uprit, 147,19 km2, dengan penduduk mencapai lebih dari 1,4 juta jiwa.
Selain inisiatif para relawan yang peduli akan kebersihan lingkungan, Forkom ini mendapat pendampingan dan binaan dari Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman (DKPP) Tangsel. Misalnya, pelatihan pembuatan pupuk kompos cair. “Pihak DKPP, dalam hal ini Dinas Kebersihan, menyediakan tabung-tabung komposter yang biasa kami sebut sebagai tabung ajaib. Dinamakan ajaib karena sanggup menghasilkan kompos cair sebagai pupuk tanaman. Padahal pengolahannya hanya dengan memanfaatkan sampah-sampah rumah tangga. Kepada semua anggota bank sampah, kami ajarkan cara membuat kompos cair ini,” semangat Eka.
Selain pembuatan pupuk kompos cair, FORKAS juga bergerak bersama dengan seluruh elemen masyarakat untuk membuat lubang-lubang biopori. Fungsinya, menyimpan air dan menghindari genangan air yang berpotensi bisa jadi sarang nyamuk penyebab demam berdarah, sampai bencana banjir.
Kini, kata Eka, pihaknya juga tengah sibuk menggelorakan pembuatan produk-produk upcycle. Memilah, memilih dan mengolah sampah anorganik menjadi aneka kerajinan tangan yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
“Tidak berhenti sampai disitu, kami juga sedang memulai gerakan urban farming yang sangat cocok diterapkan oleh warga Tangsel yang di setiap rumahnya kurang memiliki lahan luas untuk berkebun. Urban farming ini memperoleh pupuk dari kompos padat yang berbahan baku sampah-sampah rumah tangga dan dibuat sendiri oleh para anggota bank sampah, tanpa sedikit pun menggunakan campuran bahan-bahan kimia,” ungkap Eka. “Tanaman yang kita tanam misalnya kangkung dan bayam yang punya umur pendek juga cepat panen.”
Berapa banyak sampah bisa terserap oleh bank sampah yang ada di Tangsel?
Taksiran kasarnya, menurut Eka, untuk setiap bank sampah, per bulannya bisa mengumpulkan sampah sebanyak 300 - 500 kilogram. “Itemnya bisa berupa botol bekas, gelas plastik, kaca, karton, plastik keras, besi, koran, buku, dan boncos alias segala macam sampah seperti karton undangan, bekas snack box dan lainnya. Boncos ini harganya tidak seberapa, tapi kalau dikumpulkan di bank sampah bisa mengurangi volume sampah,” katanya.
Idealnya, jumlah bank sampah harus lebih banyak lagi. “Cita-cita kita, minimal dalam satu RW ada satu bank sampah. Nah, di Tangsel ini ada 7 kecamatan dan 54 kelurahan. Katakanlah dalam setiap kelurahan ada 10 RW, maka hendaknya dalam 1 RW itu minimal ada 1 bank sampah. Dengan begitu, cita-cita kami adalah membentuk 540 bank sampah se-Tangsel ini,” seru Eka.
Bank sampah yang dikelola Eka sendiri bernama “Vipamas” sebagai singkatan dari Villa Pamulang Mas. Sejak berdiri pada 2012, kini anggotanya sudah mencapai 120 orang. Dari delapan RT yang bergabung didalamnya, bank sampah “Vipamas” rata-rata dapat mengumpulkan sampah sebanyak 500 kilogram per bulan. “Sampah-sampah hasil pemilahan dan pemilihan ini kemudian dijual ke pengepul. Ini membenarkan apa yang sering diucapkan banyak pakar bahwa ‘Sampah Dipilah Menjadi Berkah dan Sampah Dipilah Menjadi Rupiah’. Saya bersama FORKAS sudah membuktikan kebenarannya,” tegas Eka.
Awalnya mendirikan “Vipamas”, Eka mengaku diajak oleh Ketua RW, yang tak lain suaminya sendiri. Peribahasa “witing tresno jalaran soko kulino” pun terjadi. Semakin lama, Eka justru semakin jatuh cinta pada upaya pengendalian sampah. “Dari yang awalnya benci kepada sampah, eh sekarang malah jatuh cinta karena akhirnya terbiasa “bergaul” dengan sampah. Tapi ingat ya, pengelolaan dan pengolahan sampah harus sama-sama, enggak boleh egois, masak rumah kita sendiri yang bersih sementara rumah tetangga-tetangga lain tidak bersih. Dari situlah akhirnya, empat tahun lalu saya mendirikan bank sampah “Vipamas” ini,” cerita Eka.
Eka masih ingat betul kendala-kendala yang dihadapi dirinya sewaktu pertama kali mendirikan bank sampah. Mulai dari ketidakpedulian warga, cemoohan, nyinyir dan lainnya. “Banyak yang merasa karena sudah membayar iuran sampah setiap bulan, maka segalanya selesai. Sama sekali tidak terpikirkan bahwa sampah adalah juga tanggung-jawab bersama untuk dikelola dan dientaskan,” kisahnya.
“Akhirnya, saya mulai bergerilya dengan mengajak terlebih dahulu para pembantu atau bahasa keren-nya asisten rumah tangga. Kepada para asisten rumga ini, saya mengiming-imingkan bahwa kalau bergabung dengan bank sampah, maka bakal punya tabungan uang. Meskipun, nilainya tidak banyak. Paling-paling setiap menimbang, seorang ‘nasabah’ hanya dapat Rp 5.000. Tapi lama kelamaan nilai yang sedikit pasti jadi bukit. Minimal, untuk para asisten rumga ini bisa beli pulsa handphone ketika mudik nanti,” ujarnya.
Kegigihan dan inflitrasi Eka berhasil. Provokasinya kepada para asisten rumga untuk bergabung dengan bank sampah mulai menunjukkan angka anggota. “Hahahaaaa … awalnya cuma lima asisten rumga saja yang sudi bergabung dengan “Vipamas” itu,” kenang ibu dari dua anak dan nenek dari dua cucu ini.
“Nah, berbekal posisi cukup berwibawa sebagai “Ibu RW” dan atas nama Ketua RW, maka saya semangat lagi untuk menggelindingkan terus ide bank sampah sekaligus membesarkannya. Saya pun masuk dan memberi pengaruh kepada delapan RT yang ada dibawah koordinasi Ketua RW. Perlahan tapi pasti, pola sosialisasi yang digerakkan Eka menemukan hasilnya. Sampai akhirnya, pada Oktober 2015, jumlah anggota bank sampah saya naik dratis menjadi 90 orang,” tutur Eka yang menegaskan tidak akan pernah memaksakan kehendak agar orang masuk menjadi anggota bank sampah. “Biar saja mereka bergabung dengan inisiatif sendiri, sesuai kemanfaatan pribadi dan lingkungan.”
Bagaimana perputaran uang dari bank sampah “Vipamas”?
“Jawabannya, lucu,” kata Eka. Kenapa? “Karena, perumahan Villa Pamulang Mas yang mayoritas berasal dari keluarga menengah ke atas, warga tidak mau mengambil uang tabungan hasil bank sampahnya dalam tempo satu tahun sekali. Ada yang misalnya, dalam satu tahun memperoleh uang sebesar Rp 200.000 – Rp. 300.000. Nilai ekonomis ini menjadi pemicu semangat agar warga lebih giat lagi beraktivitas di bank sampah. Saya mewajibkan setiap anggota mengambil tabungannya ini satu tahun sekali, dengan disisakan saldo minimal Rp 10.000 saja. Karena, saya sendiri merasa, kurang enak hati apabila berlama-lama memegang amanah menyimpan uang tabungan bank sampah milik para anggota,” tutur Eka merendah hati.
Aksi Nyata Wujudkan GBBS
Apa yang diperjuangkan Eka Meidya bersama bank sampah “Vipamas” dan FORKAS adalah aksi nyata dalam mewujudkan Gerakan Budaya Bersih dan Senyum (GBBS).
Dalam wawancara eksklusif dengan penulis, Wakil Ketua Satuan Tugas GBBS, Musyarafah Machmud menerangkan, GBBS dicanangkan oleh Kemenko Bidang Kemaritiman sejak satu tahun lalu ketika momentum pelaksanaan Sail Tomini.
“GBBS diluncurkan dalam rangka mendukung Revolusi Mental. Fokus Pemerintah dalam Gerakan Revolusi Mental itu sendiri ada tiga yaitu: Indonesia Bersih, Indonesia Sehat, dan Indonesia Melayani. Salah satu upaya kita untuk mewujudkan Indonesia Bersih ini sudah tentu melalui GBBS ini,” tutur Ara, sapaan akrabnya, usai menjadi pembicara di acara Kompasiana Nangkring Bareng Kemenko Bidang Kemaritiman dalam tajuk Mensukseskan Gerakan Budaya Bersih dan Senyum, pada 9 September di Jakarta.
Tujuan akhir dari GBBS ini, jelas Ara, adalah untuk meningkatkan citra pariwisata Indonesia. Sekaligus, memperbaiki citra buruk yang menempel yaitu Indonesia menjadi negara kedua penyumbang sampah plastik di dunia sesudah China. Selain itu, Indonesia juga masih terpuruk di peringkat 109 dari 141 negara di dunia untuk masalah kesehatan dan kebersihan.
“Agak-agak malu dong kita sebagai bangsa Indonesia dengan hasil temuan tersebut. Makanya kita harus meningkatkan lagi masalah kebersihan di negara kita tercinta. Misalnya saja, kita pergi ke negara Singapura dan Jepang, maka kita akan menyaksikan betapa kebersihan sangat dijaga di sana. Bahkan kita pasti akan menjunjung tinggi juga menjaga kebersihannya, tapi begitu kembali ke Indonesia, kita pasti akan sedih melihat kondisi yang sebaliknya. Tak hanya itu, banyak dari kita yang kemudian tidak melanjutkan kebiasaan hidup bersih seperti saat berada di Singapura maupun Jepang sana,” ujarnya sembari mengatakan bahwa target GBBS akan dilaksanakan hingga 2019.
Di lapangan, untuk mensukseskan GBBS ini, seluruh elemen masyarakat memang harus dilibatkan, bergotong-royong dan bersatu-padu. “Kemenko Bidang Kemaritiman sebagai koordinator Gerakan Revolusi Mental untuk Indonesia Bersih bekerja sama dengan seluruh elemen dan stakeholder. Kami bekerjasama dengan Pemerintah, swasta, LSM, mahasiswa, pelajar, aktivis peduli lingkungan, awak media, blogger dan sebagainya. Semoga dengan adanya GBBS ini, kita bisa melihat Indonesia yang lebih bersih dan lebih ramah,” harap Ara.
Ayo sukseskan GBBS : Gerakan Budaya Bersih dan Senyum!
* * * * *
* Tonton Video Blogging (VLOG)-nya:
Eka Meidya, Aktivis Bank Sampah Kota Tangsel
* Baca artikel terkait GBBS, sebelumnya:
Inilah Pelitas, Super Hero Penyelamat Lingkungan Kota Tangsel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H