Nama S Tidjab menjadi garansi mutu bagi sandiwara radio. Maklum, ia pernah menulis sandiwara radio Tutur Tinular yang disiarkan setiap hari selama empat tahun (1989 – 1992). Tutur Tinular yang bermakna “nasehat atau petuah yang disebarluaskan” ini pertama kali mengudara pada 1 Januari 1989 dan disiarkan melalui 512 radio se-Indonesia atau yang tergabung dalam PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia). Diantara pemerannya adalah Ferry Fadli sebagai Arya Kamandanu, M Aboed sebagai Arya Dwipangga, Elly Ermawatie sebagai Mei Shin, juga Ivone Rose sebagai Sakawuni.
Ada lagi, sandiwara radio berjudul Kaca Benggala produksi PT Menara Gading Citra Perkasa dengan masa tayang dua tahun, 1994 - 1995. Kaca Benggala dalam Bahasa Jawa berarti cermin keburukan. Kisah yang menggambil latar jaman Kerajaan Islam Pajang di tanah Jawa, dan awal mula berdirinya kerajaan Mataram Islam. Seperti Saur Sepuh yang dalam ceritanya terdapat tokoh-tokoh yang sebenarnya ada dalam sejarah. Di dalam cerita Kaca Benggala banyak tokoh sejarah yang ada dalam cerita, dan diceritakan kisahnya sesuai alur sejarah, meski berikutnya diarahkan kepada cerita mengenai tokoh seperti Modosiyo dan Nyai Basingah sebagai tokoh utama dalam cermin prilaku keburukan manusia. Para pemeran tokohnya antara lain Meriam Bellina sebagai Srikanti atau Nyai Basingah, Adjie Pangestu sebagai Mondosiyo, Agus Kuncoro sebagai Senopati Ing Alaga, dan Advent Bangun sebagai Demang Wirojoyo. Selain itu, sandiwara radio modern juga pernah ditulis Tidjab dengan judul Kasih Sepanjang Jalan.
Menjadi wajar jika kemudian para pembicara talkshow ini sepakat, untuk membangkitkan kembali --- bukan sekadar nostalgia --- masa keemasan siaran sandiwara radio, khususnya melalui roman bersejarah ‘Asmara di Tengah Bencana’ yang khusus diproduksi BNPB untuk makin meningkatkan kesiagaan masyarakat akan bencana.
Radio adalah ‘Teman Paling Dekat’
Bagi Achmad Zaini, praktisi radio sekaligus konsultan media, perlu dipertimbangkan delapan faktor untuk membuat sandiwara radio yang memainkan imajinasi pendengar dengan mengandalkan kekuatan suara, dialog, musik dan sound effect (SFX), sehingga dapat efektif dan mencapai target sasaran.
Ketika wawancara eksklusif dengan penulis sebelum acara berlangsung, Achmad mengatakan, sebagai insan radio, dirinya sangat apresiatif dengan kebijakan BNPB memproduksi sandiwara radio dengan tema siaga bencana.
“Saya mengapresiasi langkah BNPB menggunakan radio sebagai sarana penyebaran informasi dan edukasi kepada masyarakat, terutama di daerah sekitar bencana. Karena selama ini, kawasan yang dekat-dekat dengan lokasi rawan bencana adalah kawasan yang paparan medianya sangat kurang. Adapun jurnalis televisi dan suratkabar, mereka biasa datang manakala bencana sedang terjadi, dan lebih banyak mengeksplorasi liputan korban bencananya. Setelah itu, mereka menghilang. Sedangkan radio adalah “teman yang paling dekat” dengan warga desa di lokasi-lokasi rawan bencana. Memang ada siaran televisi lokal yang mereka saksikan juga, tapi sejauh ini masyarakat di sekitar lokasi rawan bencana sangat haus akan hiburan seperti musik Tarling, Dangdut dan Campursari. Sandiwara radio bisa masuk dan diterima juga oleh masyarakat di sekitar sana. Artinya, sandiwara radio ini bisa melakukan penetrasi sebagai salah satu sarana pilihan hiburan alternatif. Inilah mengapa tepat sekali bahwa BNPB memilih penyampaian pesan waspada bencana melalui sandiwara radio, karena mengambil sisi manfaat radio sebagai pembawa pesan informasi, sarana edukasi, dan hiburan bagi warga masyarakat. Dalam konteks ini, sandiwara radionya disisipkan sosialisasi akan keharusan masyarakat untuk selalu siaga dan waspada bencana,” urainya.
“Untuk di sekitar Jawa Tengah, pemutaran sandiwara radio ini digencarkan melalui radio-radio yang berada di sekitaran Gunung Merapi dan Gunung Kelud. Pilihan ini tepat sekali, karena disitulah salah satu lokasi masyarakat rawan tertimpa bencana, dan sangat kekurangan sekali paparan medianya. Disinilah, radio dengan tayangan sandiwara radio produksi BNPB bisa masuk ke wilayah tersebut, meskipun media radio itu sendiri memiliki beberapa kekurangan, seperti misalnya gangguan teknis penerimaan siaran radio akibat pengaruh kontur keadaan alam sekitar. Nah, disinilah kehadiran radio komunitas menjadi sangat terdepan urgensinya,” jelasnya.