Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Sandiwara Radio Siaga Bencana, Dari Telinga Menjadi Sikap dan Budaya (#1)

24 Agustus 2016   14:05 Diperbarui: 7 Juli 2019   12:25 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TALKSHOW Siaga Bencana Melalui Sandiwara Radio. Dari kiri ke kanan: Haryoko (sutradara ADB), S Tidjab (penulis naskah ADB), Sutopo Purwo Nugroho (Kapusdatin dan Humas BNPB), Achmad Zaini (praktisi radio), Lastboy Tahara (moderator). (FotoL Gapey Sandy)


Adalah Tumenggung Jaya Lengkang yang pulang dari Kadipaten Pajang mengemban tugas resmi dari Sultan. Ketika memasuki wilayah Prambanan, rombongan Ki Tumenggung dirampok. Ki Tumenggung marah besar dan segera menitahkan Bekel Manyura untuk membasmi kawanan rampok. Sementara ia dan putranya, Jatmiko langsung meneruskan perjalanan ke Mataram.

Bekel Manyura menuntaskan titah Tumenggung dengan baik. Semua kawanan rampok dibasmi. Hanya satu orang yang dibiarkan hidup, namanya Blendung. Jatmiko merasa iba melihat nasib Blendung, pemuda desa lugu yang salah bergaul dengan kawanan perampok. Karena iba, Jatmiko berusaha melunakkan hati sang ayah, Ki Tumenggung untuk mengampuni Blendung dan membawa serta ke Mataram. Harapan Jatmiko terkabul, Blendung diampuni bahkan boleh tinggal di Ndalem Katumenggungan, menjadi abdi kinasih Jatmiko.

Sejak kecil, Jatmiko sudah dipertunangkan dengan Puspaningrum. Meski sama-sama anak Tumenggung, tapi hubungan keduanya tidak serasi. Jatmiko tidak suka watak Puspaningrum yang kelewat bebas, liar dan sombong. Bahkan, meskipun sudah memiliki calon suami yakni Jatmiko, tapi Puspaningrum masih saja menjalin hubungan dengan pria-pria lain termasuk dengan Joko Umayah, pembantunya sendiri. Jatmiko mengetahui semua itu.

Suatu hari, untuk menghibur dan mengisi hatinya yang kosong, Jatmiko mengajak Blendung berburu ke hutan. Karena hari sudah larut malam, keduanya bermalam di rumah Lurah Jatisari. Disinilah, Jatmiko terpesona pada pandangan pertama. Ia bertemu gadis cantik dan baik budi, Setyaningsih, putri tunggal Ki Lurah. Pertemuan kedua insan ini berlangsung di tepi sungai. Ketika itu, Setyaningsih masih terlihat canggung dan malu-malu. Setelah Setyaningsih kembali ke pondoknya, Jatmiko bermaksud mencuci kakinya yang kotor terkena lumpur. Tapi tiba-tiba ia heran, karena merasakan air sungai begitu panas. Bahkan Blendung menjerit, ketika sempat membasuh mukanya dengan air sungai.

Jatmiko mengamati suasana sekitar. Banyak pepohonan kering meranggas. Suasana seperti senyap seperti menyiratkan suatu bencana yang akan tiba.

o o o O o o o

Poster Sandiwara Radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Sumber: BNPB)
Poster Sandiwara Radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Sumber: BNPB)
Itulah cuplikan sinopsis sandiwara radio bertajuk “Asmara di Tengah Bencana” produksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hah,BNPBngurusi sandiwara radio? Ya benar, dan bukan sembarang sandiwara radio, karena ini sekaligus jadi salah satu upaya BNPB melakukan sosialisasi pengetahuan kebencanaan dan mitigasi bencana kepada masyarakat melalui media, khususnya radio. Dalam hal ini, program siaran radio berformat sandiwara atau drama radio.

Peluncuran program Siaga Bencana Melalui Sandiwara Radio ini antara lain dilakukan pada acara Kompasiana Nangkring Bareng BNPB pada Kamis, 18 Agustus 2016 di Jakarta. Tampil sebagai pembicara pada talkshow ini yaitu Sutopo Purwo Nugroho (Kapusdatin dan Humas BNPB), S Tidjab (penulis naskah sandiwara radio), Haryoko (sutradara sandiwara radio), dan Achmad Zaini (praktisi radio).

Dalam paparannya, Sutopo membeberkan terlebih dahulu tentang kondisi Indonesia yang amat sangat rawan terhadap bencana. Pria kelahiran Boyolali, 7 Oktober 1969 ini menyebut, bencana adalah sebuah keniscayaan. “Wilayah Indonesia rawan terhadap gempa bumi, baik dari jalur subduksi maupun sesar yang ada di daratan. Penataan ruang pada daerah rawan gempa sangat berperan penting. Sebab bukan gempa yang menyebabkan korban, tapi kualitas bangunan yang justru menyebabkan korban. Sebanyak 153 kabupaten/kota yang dihuni sekitar 60,9 juta jiwa penduduk berada pada zona bahaya tinggi gempa bumi. Sedangkan 232 kabupaten/kota dengan penduduk mencapai 142,1 juta jiwa berlokasi di zona bahaya sedang,” ujarnya.

Selain gempa bumi, kata suami dari Retno Utami Yulianingsih ini, wilayah kepulauan Indonesia juga rawan tsunami. Tercatat, sejak 1629 – 2014 terjadi 173 tsunami besar dan kecil. Salah satu lokasi yang rawan bencana tsunami adalah wilayah Jawa bagian Selatan. Perkiraannya sangat mengerikan, karena dengan gempa bumi mencapai 8,2 SR di Selatan wilayah Jawa Barat dapat menimbulkan tsunami dengan ketinggian 10 meter. Bencana tsunami terjadi hanya selang 20 menit sesudah gempa bumi melanda.

Sutopo Purwo Nugroho, Kapusdatin dan Humas BNPB. (Foto: Gapey Sandy)
Sutopo Purwo Nugroho, Kapusdatin dan Humas BNPB. (Foto: Gapey Sandy)
“Ancaman bencana di Indonesia juga datang dari gunung berapi. Indonesia memiliki 127 gunung api aktif. Jumlah ini bahkan mencapai 13 persen dari seluruh gunung api yang ada di dunia. Sebanyak 75 kabupaten/kota yang dihuni 3,85 juta jiwa penduduk berada di daerah bahaya sedang hingga tinggi dari erupsi gunung api,” ungkap ayah dari dua anak ini.

Adapun bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) sepanjang 2015 kemarin memunculkan sejumlah catatan mengenaskan. BNPB mendata, 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600.000 jiwa menderita ISPA, 2,61 juta hektar hutan dan lahan terbakar, lebih dari 60 juta terpapar asap, kerugian ekonomi mencapai Rp 221 triliun (diluar sektor kesehatan dan pendidikan), dan yang juga tak kalah penting adalah kerugian plasma nutfah, emisi karbon serta masih banyak lagi.  

“Sejak Januari hingga pertengahan Agustus 2016, data di BNPB menunjukkan sudah terjadi lebih dari 1.300 kali kejadian bencana di Indonesia. Dan pada 2016 ini nyaris tidak ada musim kemarau, yang artinya musim kemaraunya adalah musim kemarau basah, sehingga selama musim kemarau pun terjadi bencana banjir maupun longsor. Kejadian bencana terakhir terjadi di Trenggalek, Jawa Timur, dimana hampir 4.000 rumah terendam banjir. Di Cilegon pun banjir banyak merendam pemukiman warga, dan di beberapa tempat juga terjadi lagi bencana longsor. Kondisi ini masih akan terjadi lagi, apalagi dengan meningkatnya badai La Nina pasti akan meningkatkan curah hujan yang akhirnya konsekwensinya ke banjir, longsor dan sebagainya. Puncak banjir dan longsor adalah diperkirakan pada akhir 2016 sampai dengan awal 2017. Ancaman ini menjadi nyata, meski di satu sisi juga ada positifnya yaitu kebakaran lahan dan hutan di Indonesia menjadi lebih menurun karena hujan masih terus berlangsung di banyak tempat. Artinya, jumlah hotspot lebih sedikit dibandingkan pada 2015,” tutur mantan Ahli Peneliti Utama IVe bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ini.

Bencana pasti menjadi keniscayaan di Indonesia, ujar Sutopo, sedangkan yang jadi permasalahan adalah secara umum masyarakat belum siap menghadapi bencana-bencana besar. “Karena memang multi faktor penyebab bencana itu sendiri, baik itu pendidikan, kemiskinan, penataan ruang, lemahnya penegakan hukum, regulasi dan sebagainya. Oleh karena itu, bagaimana kita menyiapkan masyarakat yang siap menghadapi bencana, tangguh menghadapi bencana, dan menjadi bagian budaya kehidupan sehari-hari untuk siaga bencana,” terang alumnus Fakultas Geografi, Jurusan Geografi Fisik, Program Studi Hidrologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.

Sebagian Kompasianer tekun menyimak talkshow Siaga Bencana Melalui Sandiwara Radio. (Foto: Gapey Sandy)
Sebagian Kompasianer tekun menyimak talkshow Siaga Bencana Melalui Sandiwara Radio. (Foto: Gapey Sandy)
Apakah masyarakat kita siap menghadapi bencana?

Jawabannya, kata Sutopo, secara umum masih belum siap. Pengetahuan kebencanaan memang meningkat, apalagi setelah tsunami pada tahun 2004 di Aceh. Tapi pengetahuan tadi belum menjadi sikap dan perilaku apalagi budaya. Sesuai dengan kesimpulan hasil tiga sigi yang dilakukan BNPB, BPS, dan UNFPA tentang pilot survei knowledge, attitude dan practice pada 2013 yang menegaskan bahwa tingkat pengetahuan tentang bencana sudah baik tetapi belum menjadi sikap dan perilaku.

“Apa saja penyebab bencana di Indonesia? Diantaranya adalah lemahnya penegakan hukum dan penataan ruang. Ambil contoh gempa 6,3 SR di Yogyakarta pada 27 Maret 2006. Padatnya pemukiman di wilayah Sesar Opak Yogyakarta dan minimnya mitigasi bencana yang dilakukan berakibat fatal, karena 5.716 jiwa meninggal dunia, 306.234 rumah penduduk rusak dan kerugian materiil mencapai Rp 29,1 triliun. Kondisi demikian kontras dengan yang berlangsung di Jepang. Masyarakat di sana selalu siap menghadapi bencana karena pengetahuan kebencanaannya sudah menjadi sikap, perilaku juga budaya yang mengaitkan kehidupannya dengan mitigasi bencana,” paparnya.

Ia melanjutkan, sosialisasi tentang mitigasi bencana harus kontinyu dan simultan. “BNPB meyakini bahwa peran media sangat besar untuk itu. Mengapa media penting dalam bencana? Karena dari berbagai literature menyebutkan, media mampu mengubah keputusan politik, perilaku dan menyelamatkan nyawa manusia. Selain itu, komunikasi merupakan inti untuk sukses dalam mitigasi, kesiapsiagaan, respon dan rehabilitasi bencana. Serta, media juga dapat menunjukkan eksistensi, pencitraan dan simbol organisasi terhadap masyarakat terkait tugas kemanusiaan dalam penanggulangan bencana,” tutur Sutopo yang menamatkan S2 di Program Studi Pengelolaan DAS IPB Bogor, dan S3 di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di kampus yang sama.

Sandiwara Radio, Pendekatan Informal yang Mudah Dipahami

Menurut Sutopo, BNPB yakin bahwa sosialisasi kebencanaan dan mitigasi bencana dapat lebih mudah dipahami masyarakat melalui pendekatan informal. “Intinya adalah bagaimana BNPB melakukan sosialisasi dengan bentuk hiburan yang memuat pendidikan tentang kebencanaan. Berbagai media dipergunakan baik itu televisi, radio, suratkabar, media online dan sebagainya. Berdasarkan survei yang sudah dilakukan BNPB ternyata sosialisasi dengan yang sifatnya informal, misalnya dengan menggunakan jalur kebudayaan kesenian rakyat, ternyata lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Pengetahuan mereka jadi meningkat signifikan, oleh karena itu salah satu upaya yang kita lakukan adalah BNPB menggunakan sandiwara radio,” jelasnya kepada penulis dalam wawancara khusus di sela acara.

Lokasi gempa di Indonesia sepanjang 1973 - 2014. (Sumber: BNPB)
Lokasi gempa di Indonesia sepanjang 1973 - 2014. (Sumber: BNPB)
Sebenarnya, selain pendekatan informal mempergunakan media radio dengan format sandiwara radio ini, BNPB sudah pernah juga menerbitkan beraneka komik penyuluhan bencana. Termasuk, menggelar pertunjukan edutainment kesenian tradisional, memproduksi film bertema bencana dengan sineas kondang Riri Reza dan Mira Lesmana, pemanfaatan mobil perpustakaan keliling dan sebagainya.

“Tapi, untuk sandiwara radio, ini baru pertama kali kita coba, dan BNPB optimis bahwa ini akan banyak pendengar yang mendengarkan sandiwara radio berseri sebanyak 50 episode yang diputar melalui 20 stasiun radio yang ada di seputar Pulau Jawa ini. Durasinya adalah 30 menit setiap episode. Apalagi cerita yang diangkat itu adalah bagaimana kisah heroisme dan asmara yang seluruhnya berada didalam konteks bencana. Sehingga kita bisa memasukkan pendidikan kebencanaan dalam rangkaian cerita yang menarik. Saya yakin, berdasarkan pengalaman --- sewaktu kecil bagaimana sandiwara radio Tutur Tinular yang begitu booming dan tayangannya selalu ditunggu-tunggu penggemar ---, ini akan lebih menarik karena dari segi content, isi maupun artistiknya juga nampaknya lebih menarik dibandingkan masa lalu. Tentu dikaitkan dengan kemajuan informasi, komunikasi, teknologi dan lainnya,” optimis Sutopo.

Bagaimana dengan pilihan stasiun radionya?

Sutopo mengatakan, pilihannya sudah tentu radio yang mampu menjangkau masyarakat pendengar secara luas. “Hampir kebanyakan radio yang kita plot-kan memang ada di lokasi rawan bencana, misalnya Radio Merapi Indah FM (104.9 MHz di Magelang), Radio CJDW FM  (107 MHz di Boyolali), Radio Komunitas Lintas Merapi FM (107.90 MHz di Klaten), Radio Komunitas Kelud FM (88.4 MHz di Kediri) dan lainnya. Masyarakat yang ada di sekitar lereng Gunung Merapi apalagi konteksnya cerita ini adalah bagaimana pertempuran kesultanan setempat dalam konteks juga terjadi erupsi Gunung Merapi kala itu. Tentu masyarakat --- khususnya yang berada di kawasan pedesaan dan sekitar gunung berapi --- akan lebih mudah memahaminya,” urai Sutopo seraya menyebut bahwa Pulau Jawa memang paling banyak memiliki gunung berapi aktif, sehingga didalam peradabannya masyarakat Jawa tidak pernah lepas dari erupsi-erupsi seperti Gunung Merapi, Kelud, Galunggung dan lainnya.

Target yang BNPB ingin capai, ujarnya lagi, adalah masyarakat benar-benar paham tentang adanya rawan bencana. Dari pesan pendidikan kebencanaan dan informasi yang disampaikan melalui sandiwara radio dapat menjadi pengetahuan, untuk kemudian menjadi sikap dan perilaku, serta berujung menjadi budaya. Ini merupakan proses panjang dimana sosialisasi siaga bencana harus kita sampaikan kepada masyarakat sejak usia dini hingga lanjut usia secara terus-menerus.

.

Tingkat pengetahuan tentang kebencanaan sudah baik, tetapi belum menjadi sikap dan perilaku. (Sumber: BNPB)
Tingkat pengetahuan tentang kebencanaan sudah baik, tetapi belum menjadi sikap dan perilaku. (Sumber: BNPB)
Budget program sosialisasi siaga bencana melalui radio ini sekitar Rp 1,5 miliar, dimana sandiwara radio merupakan bahagian kecil dari rangkaian program sosialisasi yang mempergunakan media radio. Misalnya, ada radio talkshow, iklan layanan masyarakat (public service announcement/PSA), ada blog competition dan kegiatan lainnya. Semua proses ini dilakukan melalui lelang yang semua pihak bisa mengikuti baik teknis maupun administrasinya,” pungkas Kapusdatin dan Humas BNPB yang setiap hari rajin mengirim press release kepada 1.997 jurnalis dengan menggunakan aplikasi Blackberry Messenger ini.

Dari Siaga Bencana, Asmara, Heroisme Sampai Balas Budi  

Sementara itu, S Tidjab selaku penulis naskah ‘Asmara di Tengah Bencana’ mengatakan, inti sandiwara radio ini sebenarnya adalah kisah asmara biasa saja, tapi peristiwanya persis berbarengan saat meletusnya Gunung Merapi. “Ini hanya waktunya saja yang bersamaan, tidak ada kaitan apa-apa antara keduanya. Sekali lagi, hanya percintaan yang gagal, kemudian Gunung Merapi meletus, dan mereka semua tercerai-berai. Selain asmara, ada juga pembelajaran moral bagi masyarakat yakni sikap kepahlawanan dan balas budi. Ini digambarkan melalui Jatmiko dan Blendung. Blendung menggambarkan sosok orang kecil, pernah menjadi orang jahat dan dari kalangan rakyat biasa, yang apabila memiliki kredibilitas baik pasti akan menuai kepercayaan dari orang banyak,” tuturnya.

Adapun soal pesan pendidikan siaga bencana, ujar pria berusia 79 tahun ini, nantinya akan dimasukkan pada bagian episode akhir. Kalau untuk episode-episode awal ini hanya menampilkan kisah asmara percintaannya saja terlebih dahulu. “Pada 30 episode pertama ini belum menyentuh soal siaga bencana, baru mengolah tentang kisah kasih asmaranya saja dulu. Nanti, pada 20 episode terakhir, informasi dan pesan siaga bencana baru akan disisipkan dalam sandiwara radio ini,” jelas Tidjab yang mengenakan topi baret.

Peristiwa roman bersejarah dalam sandiwara radio, katanya lagi, digambarkan dalam masa Kerajaan Mataram yang dipimpin Sultan Agung. “Menariknya, ini karena percintaan beda kelas sosial masyarakat. Yaitu antara Radenmas Jatmiko yang berasal dari kalangan ningrat dengan Setyaningsih yang merupakan putri dari salah seorang lurah atau dari kalangan masyarakat biasa. Kisah asmara berbeda kelas sosial masyarakat ini mendapat tentangan dari kedua belah pihak. Tetapi keduanya tetap melanjutkan kisah kasih asmaranya. Yang memisahkan asmara keduanya adalah bencana meletusnya Gunung Merapi ini. Selain erupsi Gunung Merapi, dalam sandiwara radio ini juga ada bencana wedhus gembel, tanah longsor dan banjir lahar panas,” urainya.

S Tidjab, penulis naskah sandiwara radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Foto: Gapey Sandy)
S Tidjab, penulis naskah sandiwara radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Foto: Gapey Sandy)
Adapun mengenai pendidikan siaga bencana yang dimasukkan dalam skenario sandiwara radio ini misalnya, pesan-pesan agar masyarakat senantiasa siaga akan bencana, juga melakukan aktivitas berupa kelompok-kelompok warga yang ronda setiap malam, dan penyuluhan-penyuluhan dari pihak penguasa Kerajaan Mataram.

Sebenarnya, lanjut Tidjab, rancangan sandiwara radio ‘Asmara Di Tengah Bencana’ ini sengaja dibuat untuk kisah yang panjang. “Tapi, karena memang diminta hanya sebanyak 50 episode saja, maka disinilah saya mulai merasakan kesulitannya. Sulit, membagi seri demi seri. Jadi kita harus irit durasi, tidak bisa berlama-lama, harus cepat. Kesulitan lain, kalau ada ‘titipan pesanan informasi’ seperti memasukkan pendidikan kesiagaan bencana seperti yang digariskan BNPB ini. Kita harus merancang ceritanya sedemikian rupa disesuaikan dengan kewaspadaan bencana,” ujarnya kepada penulis dalam wawancara eksklusif sebelum acara.

Sejauh ini, Tidjab yakin, sandiwara radio masih efektif untuk menarik minat dengar masyarakat dan yang lebih penting lagi, efektif untuk menyampaikan informasi kebencanaan maupun pesan mitigasi bencana. “Saya kira, pesan pendidikan kesiap-siagaan bencana yang dimasukkan kedalam skenario sandiwara radio, masih efektif dampaknya di lapangan. Pada masa lalu, hal demikian tentu saja sangat efektif, apalagi disiarkan oleh sebanyak 400 hingga 500 radio secara serentak dan diudarakannya setiap hari pula. Sekarang, hal seperti ini sudah tergerus oleh pengaruh kehadiran siaran televisi,” ujarnya.

Nama S Tidjab menjadi garansi mutu bagi sandiwara radio. Maklum, ia pernah menulis sandiwara radio Tutur Tinular yang disiarkan setiap hari selama empat tahun (1989 – 1992). Tutur Tinular yang bermakna “nasehat atau petuah yang disebarluaskan” ini pertama kali mengudara pada 1 Januari 1989 dan disiarkan melalui 512 radio se-Indonesia atau yang tergabung dalam PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia). Diantara pemerannya adalah Ferry Fadli sebagai Arya Kamandanu, M Aboed sebagai Arya Dwipangga, Elly Ermawatie sebagai Mei Shin, juga Ivone Rose sebagai Sakawuni.

Asmara di Tengah Bencana (ADB), sandiwara radio produksi BNPB. (Foto: Gapey Sandy)
Asmara di Tengah Bencana (ADB), sandiwara radio produksi BNPB. (Foto: Gapey Sandy)
Suasana ketika pengisian suara sandiwara radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Foto: BNPB/Trailer Sandiwara Radio)
Suasana ketika pengisian suara sandiwara radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Foto: BNPB/Trailer Sandiwara Radio)
Begitu juga dengan sandiwara radio Mahkota Mayangkara yang disiarkan selama 2 tahun. Suatu kisah dengan latar belakang sejarah Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Prabu Jayanagara, di mana pada akhirnya terjadi pemberontakan Ra Kuti yang berhasil ditumpas oleh Gajah Mada. Secara umum Mahkota Mayangkara bisa diartikan sebagai sebuah kekuasaan yang bersifat semu atau sementara yang dicapai dengan penuh angkara dan pertumpahan darah. Mulai disiarkan pada 1 Januari 1990 melalui 512 stasiun radio yang tergabung dalam PRSSNI.

Ada lagi, sandiwara radio berjudul Kaca Benggala produksi PT Menara Gading Citra Perkasa dengan masa tayang dua tahun, 1994 - 1995. Kaca Benggala dalam Bahasa Jawa berarti cermin keburukan. Kisah yang menggambil latar jaman Kerajaan Islam Pajang di tanah Jawa, dan awal mula berdirinya kerajaan Mataram Islam. Seperti Saur Sepuh yang dalam ceritanya terdapat tokoh-tokoh yang sebenarnya ada dalam sejarah. Di dalam cerita Kaca Benggala banyak tokoh sejarah yang ada dalam cerita, dan diceritakan kisahnya sesuai alur sejarah, meski berikutnya diarahkan kepada cerita mengenai tokoh seperti Modosiyo dan Nyai Basingah sebagai tokoh utama dalam cermin prilaku keburukan manusia. Para pemeran tokohnya antara lain Meriam Bellina sebagai Srikanti atau Nyai Basingah, Adjie Pangestu sebagai Mondosiyo, Agus Kuncoro sebagai Senopati Ing Alaga, dan Advent Bangun sebagai Demang Wirojoyo. Selain itu, sandiwara radio modern juga pernah ditulis Tidjab dengan judul Kasih Sepanjang Jalan.

Menjadi wajar jika kemudian para pembicara talkshow ini sepakat, untuk membangkitkan kembali --- bukan sekadar nostalgia --- masa keemasan siaran sandiwara radio, khususnya melalui roman bersejarah ‘Asmara di Tengah Bencana’ yang khusus diproduksi BNPB untuk makin meningkatkan kesiagaan masyarakat akan bencana.

Radio adalah ‘Teman Paling Dekat’

Bagi Achmad Zaini, praktisi radio sekaligus konsultan media, perlu dipertimbangkan delapan faktor untuk membuat sandiwara radio yang memainkan imajinasi pendengar dengan mengandalkan kekuatan suara, dialog, musik dan sound effect (SFX), sehingga dapat efektif dan mencapai target sasaran.

Achmad Zaini, praktisi radio yakin sandiwara radio masih ditunggu-tunggu oleh penggemarnya. (Foto: Gapey Sandy)
Achmad Zaini, praktisi radio yakin sandiwara radio masih ditunggu-tunggu oleh penggemarnya. (Foto: Gapey Sandy)
Pertama, pemilihan cerita. Tema-tema yang kolosal masih menjadi minat masyarakat di sebagian tempat. Kedua, kemasan. Kekuatan narator dan para pengisi suara tokoh-tokoh yang ada dalam cerita menjadi penentu, selain dialog, musik maupun sound effect. Semuanya harus mampu meninggalkan jejak didalam benak pendengar sehingga pengudaraan sandiwara radio akan terus dinanti-nantikan jam siarnya. Ketiga, pendengar radio itu sendiri yang sifatnya heterogen. Keempat, pemilihan stasiun radio yang bakal menyiarkannya. Radio lokal dan radio komunitas bisa menjadi andalan untuk menyiarkan sandiwara radio, selain harus dipertimbangkan juga bahwa stasiun radio tersebut benar-benar berada di lokasi rawan bencana, serta pandai mempromosikan sandiwara radio yang akan disiarkannya. Kelima, pemilihan jam siar dengan jumlah pendengar paling banyak atau prime time. Keenam, siaran ulang mengingat media radio hanya selintas dengar dan tidak bisa diulang oleh pendengarnya. Ketujuh, survei popularitas program. Dan kedelapan, gelar acara off air yang interaktif dan melibatkan seluruh pendengar juga penggemar maupun pendukung sandiwara radio,” tutur mantan host talkshow di Radio Elshinta ini.

Ketika wawancara eksklusif dengan penulis sebelum acara berlangsung, Achmad mengatakan, sebagai insan radio, dirinya sangat apresiatif dengan kebijakan BNPB memproduksi sandiwara radio dengan tema siaga bencana.

“Saya mengapresiasi langkah BNPB menggunakan radio sebagai sarana penyebaran informasi dan edukasi kepada masyarakat, terutama di daerah sekitar bencana. Karena selama ini, kawasan yang dekat-dekat dengan lokasi rawan bencana adalah kawasan yang paparan medianya sangat kurang. Adapun jurnalis televisi dan suratkabar, mereka biasa datang manakala bencana sedang terjadi, dan lebih banyak mengeksplorasi liputan korban bencananya. Setelah itu, mereka menghilang. Sedangkan radio adalah “teman yang paling dekat” dengan warga desa di lokasi-lokasi rawan bencana. Memang ada siaran televisi lokal yang mereka saksikan juga, tapi sejauh ini masyarakat di sekitar lokasi rawan bencana sangat haus akan hiburan seperti musik Tarling, Dangdut dan Campursari. Sandiwara radio bisa masuk dan diterima juga oleh masyarakat di sekitar sana. Artinya, sandiwara radio ini bisa melakukan penetrasi sebagai salah satu sarana pilihan hiburan alternatif. Inilah mengapa tepat sekali bahwa BNPB memilih penyampaian pesan waspada bencana melalui sandiwara radio, karena mengambil sisi manfaat radio sebagai pembawa pesan informasi, sarana edukasi, dan hiburan bagi warga masyarakat. Dalam konteks ini, sandiwara radionya disisipkan sosialisasi akan keharusan masyarakat untuk selalu siaga dan waspada bencana,” urainya.

Area ring 1 kawah Gunung Kelud yang berbahaya. (Foto: Radio Kelud FM)
Area ring 1 kawah Gunung Kelud yang berbahaya. (Foto: Radio Kelud FM)
Radio Komunitas Kelud FM yang juga menyiarkan sandiwara radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Foto: Radio Kelud FM)
Radio Komunitas Kelud FM yang juga menyiarkan sandiwara radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Foto: Radio Kelud FM)
Menurut Achmad Zaini lagi, sandiwara radio merupakan sarana yang baik untuk menyampaikan pesan pendidikan siaga bencana, apalagi untuk masyarakat yang kini berusia 40 tahun keatas, pasti memiliki kerinduan untuk mendengarkan kembali sandiwara radio yang sempat menjadi trend pada era ’80 dan ’90-an kemudian belakangan jadi menghilang. Apalagi dengan siaran televisi yang tak bisa dipungkiri mampu juga untuk menyuguhkan informasi dan hiburan untuk masyarakat. Meskipun, belakangan ini siaran televisi banyak dianggap membosankan karena misalnya, terlalu banyak informasi tentang perpolitikan.

“Untuk di sekitar Jawa Tengah, pemutaran sandiwara radio ini digencarkan melalui radio-radio yang berada di sekitaran Gunung Merapi dan Gunung Kelud. Pilihan ini tepat sekali, karena disitulah salah satu lokasi masyarakat rawan tertimpa bencana, dan sangat kekurangan sekali paparan medianya. Disinilah, radio dengan tayangan sandiwara radio produksi BNPB bisa masuk ke wilayah tersebut, meskipun media radio itu sendiri memiliki beberapa kekurangan, seperti misalnya gangguan teknis penerimaan siaran radio akibat pengaruh kontur keadaan alam sekitar. Nah, disinilah kehadiran radio komunitas menjadi sangat terdepan urgensinya,” jelasnya.

Salah satu radio komunitas tersebut, sebut Achmad Zaini, adalah Radio Komunitas Lintas Merapi yang dibentuk oleh para praktisi radio asal Malang, Kediri dan Boyolali. Inilah radio komunitas yang paling nomor satu, karena menjadi panutan bagi warga masyarakat sekitar untuk selalu siaga terhadap bencana. Luar biasanya, BNPB juga menetapkan radio komunitas ini untuk penayangan sandiwara radionya.

“Selain itu, radio-radio lain yang dipilih BNPB untuk pemutaran sandiwara radionya, saya melihat merupakan radio-radio yang sudah melakukan konvergensi media seperti dengan social media, website, streaming siaran radio melalui koneksi internet dan sebagainya. Disinilah masyarakat dapat melakukan pilihan sendiri dalam upaya mendengarkan siaran radio favoritnya, tidak saja dengan radio konvensional yang manual, tapi juga melalui radio digital, live streaming internet, bahkan melalui smartphone dan sebagainya. Problemnya adalah apakah masyarakat sudah memiliki akses koneksi internet yang mudah dan murah?” tanyanya.

Sebagian para pengisi suara sandiwara radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Foto: Gapey Sandy)
Sebagian para pengisi suara sandiwara radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Foto: Gapey Sandy)
Suasana ketika pengisian suara sandiwara radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Foto: BNPB/Trailer Sandiwara Radio)
Suasana ketika pengisian suara sandiwara radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Foto: BNPB/Trailer Sandiwara Radio)
Apakah pilihan BNPB menggunakan sandiwara radio sebagai media sosialisasi justru merupakan sesuatu yang kuno dan ketinggalan zaman?

“Tidak! Karena radio, masih menjadi primadona di daerah. Di Jakarta, orang mungkin hanya mendengarkan radio kalau sedang berkendara saja, tapi kalau di daerah, mereka sehabis bertani di sawah, pada malam hari, selalu saja radio menjadi sarana memperoleh informasi dan hiburannya. Makanya, sandiwara radio produksi BNPB yang kolosal seperti ini, saya pikir sangat bisa dinikmati oleh masyarakat pedesaan yang berada di lokasi daerah rawan bencana,” jawab Achmad Zaini.

Meski begitu, Achmad Zaini menitipkan saran untuk menjadi perhatian BNPB. Terutama menyangkut tematik sandiwara radio disesuaikan dengan daerah tempat stasiun radio tersebut mengudarakannya.

“Saya menyarankan kepada BNPB, untuk melakukan variasi tema dari sandiwara radionya. Kalau kita melihat 20 stasiun radio yang memutarkannya --- di Jawa Timur (GE FM, Senaputra FM, Gema Surya FM, dan Soka FM), Jawa Tengah (SPS FM, Studio 99 FM, CJDW FM, Radio H FM, dan Merapi Indah FM), Yogyakarta (EMC FM, dan Persatuan FM), Jawa Barat dan Banten (Gamma FM, Fortuna FM, Aditya FM, Thomson FM, Elpass FM, HOT FM, dan GeNJ FM), serta dua radio komunitas di Klaten (Radio Komunitas Lintas Merapi FM), dan Kediri (Radio Komunitas Kelud FM) ---, maka bisa saja di kemudian hari, tema yang diangkat disesuaikan dengan tatar lokal bahasa, adat budaya masyarakat pendengarnya, seperti misalnya untuk Jawa Barat bisa diketengahkan sandiwara radio dengan tatar Pasundan, untuk pendengar di Jawa Timur bisa mengangkat seni ke-Jawa Timur-an dan seterusnya. Sehingga bisa lebih mengena atau mudah dipahami oleh masyarakat lokal pendengarnya. Atau, kalau pun mungkin, mengambil tema yang lebih kekinian tentang anak muda, tentang remaja, dan memadukan unsur musik hip hop agar anak-anak muda pun dapat turut menggemarinya. Meskipun, unsur pendidikan kesiap-siagaan bencana tetap dimasukkan dalam skenario sandiwara radionya,” pesan trainer untuk pelatihan insan radio ini.

Suara Efek Kuda Berlari dengan Tepukan Batok Kelapa

Yang menarik adalah pernyataan Haryoko, sang sutradara ‘Asmara di Tengah Bencana’. Menurutnya, pada masa kini, memproduksi sandiwara radio jauh lebih mudah secara teknis bila dibandingkan era ’80 dan ’90-an.

“Karena, kelengkapan asesoris mudah diperoleh. Pada masa lalu, asesoris sangat sulit didapat, dan karena itu harus mengandalkan kekuatan ceritanya itu sendiri. Apalagi, pada masa lalu, musik untuk efek itu sangat terbatas, dan karena waktu itu belum ada aturan ketat semisal hak cipta, royalti atau Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), maka kita mensiasati dengan mencuplik musik-musik untuk sandiwara radio itu dari kaset rekaman, piringan hitam dan sebagainya. Bahkan, saking sulitnya mencari sound effect, saya pernah memproduksi sendiri suara derap kaki kuda yang sedang berlari kencang dengan merekam tepukan antar batok kelapa. Sampai sebegitu detil kami memproduksinya. Tapi untuk masa sekarang ini, sound effect sangat lengkap dan mudah diperoleh. Kemudahan ini membuat imajinasi pendengar menjadi lebih mudah dimainkan,” ungkapnya.

Haryoko, sutradara sandiwara radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Foto: BNPB/Trailer Sandiwara Radio)
Haryoko, sutradara sandiwara radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Foto: BNPB/Trailer Sandiwara Radio)
Perbedaan lain antara sandiwara radio pada masa lalu dan saat ini, lanjut Haryoko, adalah karena pada era sebelumnya itu sandiwara radio tidak memiliki pesaing secara reguler, karena belum ada siaran-siaran televisi swasta kecuali TVRI.

“Sedangkan untuk saat ini, sandiwara radio dan media radionya itu sendiri memiliki kompetitor yang sangat banyak. Meskipun begitu, setiap tahun selalu saja ada tawaran dari berbagai pihak untuk memproduksi sandiwara atau drama radio. Selain itu, dalam beberapa kali kesempatan saya sering juga menjadi juri untuk lomba sandiwara radio yang diselenggarakan RRI. Ini membuktikan bahwa sandiwara radio masih eksis, dan harapannya akan kembali meraih kejayaan seperti masa-masa sebelumnya dengan format media yang berbeda, entah itu radio digital, live streaming radio dengan menggunakan koneksi internet, aplikasi radio online pada smartphone dan sebagainya,” harap pria yang cukup pengalaman di industri radio broadcasting ini.

Ivone Rose Yakin Sandiwara Radio Masih Efektif

Optimisme akan format sandiwara radio yang dipilih BNPB untuk meningkatkan masyarakat siaga bencana, muncul pula dari Ivone Rose. Nama yang satu ini sudah bukan sosok anyar lagi dalam blantika sandiwara radio. “Saya dari dulu memang berprofesi sebagai pemain atau pengisi suara sandiwara radio, dan saya rasa efektif sekali bagi BNPB untuk menyampaikan pesan pendidikan kewaspadaan bencana ini kepada masyarakat di lokasi daerah rawan bencana. Selain itu, banyak juga penggemar-penggemar kita yang masih rindu untuk mendengarkan kembali sandiwara radio seperti masa-masa lalu,” tutur Ivone Rose yang memerankan tokoh Nyi Lurah dalam ‘Asmara di Tengah Bencana’.

Sebagai pemain sandiwara radio yang sarat pengalaman, katanya lagi, tidak ada kesulitan untuk memainkan peran dan tokoh yang skenarionya memasukkan unsur pendidikan kewaspadaan bencana. “Saya tidak kesulitan memainkan peran Nyi Lurah dalam ‘Asmara di Tengah Bencana’ ini, ya karena sudah biasa melakukannya,” ujar Ivone yang mengenakan blouse oranye.

Tercatat, Ivone Rose pernah mengisi suara dalam sandiwara radio Butir-butir Pasir di Laut--- yang bertemakan Keluarga Berencana ---, Saur Sepuh dan Tutur Tinular. “Yang paling berkesan adalah ketika Saur Sepuh karena saya memainkan peran sebagai Lasmini yang menjadi perempuan pembela kebenaran sekaligus penggoda lelaki. Waktu itu, seluruh kemampuan saya tercurah untuk memerankan tokoh Lasmini,” kenangnya.

Ivone Rose, pengisi suara tokoh Nyi Lurah untuk sandiwara radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Foto: Gapey Sandy)
Ivone Rose, pengisi suara tokoh Nyi Lurah untuk sandiwara radio 'Asmara di Tengah Bencana'. (Foto: Gapey Sandy)
Selain itu, Ivone Rose juga pernah bermain sebagai Sakawuni --- gadis berjiwa pendekar yang merupakan cucu dari Ki Sugata Brahma yang terkenal dengan julukan Pendekar Lengan Seribu --- dalam Tutur Tinular.

Menurut Ivone Rose, bermain sandiwara radio itu seperti layaknya orang bercerita tetapi tidak boleh membaca. “Walaupun kita membaca naskah, tetapi tetap harus bermain, berekspresi, karena itulah maka susahnya adalah kita harus menghayati peran yang kita mainkan. Tidak perlu suara yang baik, tetapi harus bisa bermain atau berekspresi,” jelasnya.

Akhirnya, kita semua berharap sandiwara radio ‘Asmara di Tengah Bencana’ produksi BNPB ini sukses seiring dengan meningkatnya kesiagaan masyarakat terhadap bencana. Utamanya, masyarakat yang menjadi pendengar dan berada persis di lokasi-lokasi daerah yang rawan bencana. Selain itu, pemutaran 50 episode ‘Asmara di Tengah Bencana’ kiranya telah mampu memuaskan dahaga kerinduan masyarakat akan siaran sandiwara radio yang kaya imajinasi. Pantaslah kalau banyak pakar radio, termasuk Theo Stokkink, menyebut radio sebagai the theatre of mind. Terbukti! 

Bersambung ke tulisan ini: Sandiwara Radio Siaga Bencana, Dari Telinga Jadi Sikap dan Budaya (#2)

o o o O o o o

Tonton: VLOG peluncuran sandiwara radio ‘Asmara di Tengah Bencana’.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun