Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Inilah Kalimat-kalimat Bijak Kompasianer

28 Februari 2016   10:25 Diperbarui: 28 Februari 2016   10:52 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya iseng saja mengumpulkan kalimat demi kalimat para Kompasianer. Bukan sembarang kalimat. Saya menganggapnya sebagai kalimat bijak, kalimat penuh arti, dan insya Alloh bertuah.

Dari mana saya "memulung" kalimatnya?

Ya gampang saja. Saya tinggal buka-buka laman facebook milik mereka. Membaca-baca apa yang mereka tulis sebagai status. Atau, telusuri tulisan-tulisan pendek mereka yang diunggah di situs jejaring media sosial itu.

Dalam penelusuran, tak terasa, kadang saya cukup lama mematut-matut status mereka. Saya coba menafsirkan kalimat-kalimatnya, sehingga sampai akhirnya banyak memperoleh “sesuatu” yang berharga. Kadang juga saya enggak mengerti atas apa yang mereka tuliskan. Untuk kalimat yang bikin saya enggak ngerti, biasanya segera saya skip.

Nah, “sesuatu” yang berharga itu yang sekarang mau saya share! Bukankah KOMPASIANA itu punya semboyan SHARING & CONNECTING? Untuk itulah maka tulisan ini dibuat.

Eh, tunggu dulu … saya juga meminta maaf kepada mereka yang saya buatkan grafisnya ini. Karena, saya dengan sangat “terpaksa” sekali, mencomat-comot foto mereka dari album yang ada di facebook-nya. Semoga saya dimaafkan. Aamiin.

Udah yuk, kita preteli aja kalimat-kalimat bijak itu:

* * * * *

[caption caption="(Kalimat bijak yang mengingatkan bakti anak kepada sosok ibu. || Foto: Akun FB Johan Wahyudi)"][/caption]Pertama, saya temukan kalimat bijak di status facebook Johan Wahyudi. Selalu saja, status facebook Kompasianer yang satu ini penuh aroma keteladanan. Saya menemukan statusnya yang langsung mengingatkan saya akan sosok seorang ibu. Juga, sosok anak yang berbakti kepada ibu.

Kutipan statusnya? Silakan baca sendiri.    

Trenyuh ya hati ini demi membaca kalimat bijak Johan Wahyudi dalam foto tersebut. Apalagi, fotonya juga sangat mendukung. Ada wajah renta, sosok ibu yang sumringah memperoleh perhatian hangat dan kasih sayang sang buah hatinya.

Apa yang dicurahkan Johan Wahyudi, mengingatkan saya dengan kalimat bijak yang pernah disampaikan anthologist Terri Guillements.

Kata Terri: “Aku mencintai ibuku seperti air mencintai pohon dan sinar matahari --- ibu membantu saya tumbuh, makmur dan mencapai puncak yang tinggi”.

[caption caption="(Wasiat bijak turun temurun untuk selalu tanamkan kasih dan sayang kepada buah hati tercinta. || Foto: Akun FB Muhammad Armand)"]

[/caption]Kedua, kalimat bijak yang dituliskan Kompasianer Best Choice sekaligus Kompasianer of The Year 2015, Muhammad Armand. Dalam statusnya di facebook, Bang Dos --- begitu ia akrab disapa --- nampak mengunggah foto tengah menciumi sang buah hati tercinta. Pesan status itu berbunyi, sama dengan yang termuat di grafis foto bawah ini.

Rupanya, kalimat bijak itu merupakan nasehat dari ayahanda Bang Dos sendiri. Nah, nasehat yang sudah menjadi “wasiat” itu akhirnya diwujudkan kepada sang buah hari Bang Dos. Nasehat itu sangat menyentil jiwa, khususnya kita yang sudah menjadi orangtua. Makanya saya merasa, kalimat bertuah ini urgent sekali untuk saya share!

Selain menyimak dalam-dalam kalimat bijak yang dituliskan para Kompasianer di facebook, kadang saya juga mencari persamaannya dalam kalimat bijak senada lainnya. Caranya? Cukuplah menggunakan bantuan Google. Nah, untuk kalimat bijak Bang Dos, ada yang hampir mirip nasehatnya. Kena banget untuk mereka yang suka ilmu-ilmu khas ke-parenting-an.

Begini, kalimat yang pernah disampaikan Ray Merrit dalam bukunya Full of Grace: “Orang dewasa dapat membuat perang, namun anak-anaklah yang menciptakan sejarah kehidupannya”.

[caption caption="(Seia sekata, Kebaikan dan Cinta. || Foto: Akun FB Iskandar Zulkarnaen)"]

[/caption]Ketiga, kalimat bijak penuh gelora cinta dari Iskandar Zulkarnaen. Kalau dibaca sekilas, mirip permainan kata, yang sekadar dibolak-balik, tapi ya itu tadi, penuh arti. Sebenarnya, kalimat yang saya kutip dan saya tuliskan di foto itu masih ada sambungannya.

Selengkapnya, begini:

“Setiap cinta menghasilkan kebaikan. Setiap kebaikan menghasilkan cinta. Kalau kamu bisa mencintai orang lain, mengapa begitu sulit berbuat baik kepadanya?”

Tapi, ya ‘gitu deh … saya emang orang begitu. Suka mengutip yang sedikit, dan saya pikir lebih ‘joss gandoss’ mudah dicerna tanpa harus mengerutkan dahi.

Sekilas pula, membaca apa yang disampaikan Mas Isjet ini seperti ala-ala kalimat sang penyair, Kahlil Gibran. Atau, mungkin juga sang sufi, Maulana Jalaluddin Rumi. Heheheee … saya sendiri belum kebayang seandainya Mas Isjet bisa sampai se-level Gibran atau Rumi. Yang jelas, setiap kalimat yang penuh tuah kebaikan dan memekarkan bunga cinta, itulah yang paling menjadi kekuatan kata-kata mereka bertiga: Gibran, Rumi, dan Mas Isjet.

Tentang cinta misalnya, Rumi menulis: “Cinta adalah lautan tak bertepi. Langit hanyalah serpihan buih belaka”. Atau, kalimat lain: “Karena cinta segalanya menjadi ada. Dan hanya karena cinta pula, maka ketiadaan nampak sebagai keberadaan”.

[caption caption="(Hati-hati dengan sikap riya. || Foto: Akun FB Kang Arul)"]

[/caption]Keempat, status facebook yang diunggah Rulli Nasrullah, yang punya nama beken Kang Arul. Dosen dan penulis buku tentang Komunikasi ini memang suka angin-anginan orangnya. Kadang serius, kadang juga enggak serius cenderung tengil … hahahahaaaa, piss Kang Arul!

Status yang ditulisnya sedikit banyak mengingatkan kita semua untuk berhati-hati dalam menuangkan apa yang menjadi tanda syukur, utamanya melalui media sosial. Karena, ya seperti kutipan dalam foto grafis itu, “Bersyukur dan riya alias pamer itu bedanya tipis. Terkadang tidak disadari … Bisa seperti api yang perlahan memakan kayu”.

Daleeemmmm bener ya … nasehat dosen dan Kompasianer penggila jengkol baladonya sang istri, “Munaroh” ini.

Banyak tafsir atas apa yang dituliskan Kang Arul. Tapi yang jelas, saya mengambil pelajaran dari untaian kalimat bijaknya itu, bahwa kita (saya dan Anda) harus pandai bersyukur. Bukankah, kalimat arif bijaksana lainnya juga mengatakan: “Bukan kebahagiaan yang membuat kita bersyukur, tapi justru bersyukur itulah yang membuat kita bahagia”.

Heheheheeee … jengkooooolllll, mana jengkooooollll, Munaroohhhh … hahahahaaa

[caption caption="(Pentingnya sikap mental yang positif diingatkan oleh Tjiptadinata Effendi. || Foto: Akun FB Tjiptadinata Effendi)"]

[/caption]Kelima, kalimat bijak nan sarat pengalaman hidup dari Pak Tjiptadinata Effendi. Sederhana tulisannya: “Bukan ijazah yang mengubah nasib, melainkan sikap mental”.

Ketika foto grafis ini saya unggah ke facebook saya, banyak juga yang menyatakan ‘Like’. Mereka yang sepakat juga banyak. Meski ada juga yang beda pendapat. Seperti yang disampaikan Kompasianer Sutiono Gunadi yang mengatakan: “Benar, tapi tanpa ijasah sulit naik pangkat, itu kejadian real di Indonesia ...”.

Dengan humble Pak Tjipta menuliskan komentarn: “Saya merasa tersanjung, Pak. Yang saya lakukan hanyalah berbagi cuplikan kisah-kisah lama dari perjalanan hidup kami. Bagaimana kami berdua merangkak dari dasar lembah yang dalam, untuk dapat menggapai kehidupan layak”.

“Sikap mental”. Tentu dua kata yang tidak ringkas untuk diwujudkan dalam keseharian. Tapi percayalah, walaupun punya ijazah segudang, tapi kalau “sikap mental”-nya kurang patut, pasti ujung-ujungnya ya membuat cilaka buat diri, keluarga, dan orang lain juga. Singkat kata, merugikan orang lain!

Simak kalimat bijak yang pernah disampaikan motivator, Andrie Wongso: “Motivasi seperti makanan bergizi! Dengan lauk disiplin, dikunyah dengan kerja keras dan keuletan serta disantap tiap hari dengan porsi yang tepat, maka mental akan menjadi sehat dan berkualitas”. Ini menandakan bahwa mental juga memiliki korelasi dengan banyak hal. Ada motivasi, disiplin, kerja keras dan rutin. Tidak asal ujug-ujug asal sikap mentalnya baik, tapi kerja kesehariannya nol besar.

Atau, kalimat bijak lainnya dari W. Clement Stone (1902 – 2002) seorang pengusaha yang juga menulis buku The Success System That Never Fails. Katanya, “Sukses diraih oleh mereka yang terus menerus berusaha dengan sikap mental positif”. Cocok ya, dengan apa yang disampaikan Pak Tjitadinata Effendi.

[caption caption="(Pepih Nugraha sarankan agar setiap penulis menelurkan karya tulisnya sendiri, sekaligus menjadi diri sendiri dalam menulis. || Foto: Akun FB Pepih Nugraha)"]

[/caption]Keenam, inilah kalimat yang disampaikan Kang Pepih Nugraha dalam satu tulisan di fanpage ‘Nulis Bareng Pepih’. Selengkapnya, bisa baca di sini.

Tapi rasanya, bagus juga ya, kalau saya copy paste saja sebagian yang dituliskan “begawan tulis-menulis” ini. Sila dicermati:

Memang secara fitrah manusia dilahirkan berbeda. Demikian pula dengan gaya penulisan dan gaya bertutur seorang penulis, satu dengan yang lainnya tidak akan sama. Justru di sinilah keunikannya. Dan... saya adalah keunikan yang khas itu, yang tidak ada duanya!

Karena kesadaran itulah saya kemudian berpaling pada diri sendiri, kepada kemampuan yang saya miliki. Satu hal dari kesadaran yang mungkin datang terlambat itu adalah, saya tidak lagi mengalami kemacetan dalam menulis. Saya bisa menuliskan apa kata hati dan pikiran saya secara lancar tanpa harus dibebani dengan gaya keharusan menulis seperti orang lain.

Saya sadar, sebagus-bagusnya tulisan tetapi dihasilkan dengan cara melakukan peniruan, tidak lebih baik dari tulisan karya sendiri. Alasannya sederhana, yang menilai baik atau tidaknya sebuah tulisan adalah orang lain bukan diri sendiri.

Untuk itulah, baik atau tidak baiknya tulisan serahkan saja kepada sidang pembaca. Akan tetapi yang terpenting adalah, menulis itu untuk orang lain untuk, kepentingan orang lain, bukan untuk diri sendiri. Sebagus-bagusnya tulisan tetapi hanya bermanfaat buat diri sendiri, itu kurang bijak. Sebab, yang paling baik adalah tulisan itu bisa bermanfaat buat orang banyak.

Karena manfaat tersebut itulah maka cukup disampaikan lewat gaya sendiri saja. Mengapa pula harus meniru gaya orang lain, sebab hakikat menulis itu, baik menulis cerita pendek maupun tulisan opini, adalah untuk kepentingan orang lain bukan kepentingan diri sendiri.

Nah, kembali kepada tulisan hasil karya sendiri, satu hal harus selalu dicamkan; bahwa sebaik-baiknya tulisan adalah hasil karya tulis sendiri, bukan hasil peniruan terhadap tulisan orang lain.

Ya, menjadi diri sendiri dalam banyak hal adalah juga penting. Tak hanya dalam hal tulisan, gaya tulisan dan lainnya. Ingat pepatah dari Lao Tzu yang menegaskan: “When you are content to be simply yourself and don't compare or compete, everyone will respect you”. Atau, cuitan twitter si cantik Taylor Swift yang menulis: “Just be yourself, there is no one better”.

Menjadi diri sendiri dalam menulis adalah pelajaran berharga dari Kang Pepih Nugraha. Gracias, atuh Akang!

[caption caption="(Thamrin Sonata ingatkan pentingnya tanggung-jawab dalam menulis. || Foto: Akun FB Thamrin Sonata)"]

[/caption]Ketujuh, masih soal menulis, kalimat bijak berikutnya, saya dapat dari status facebook milik Kompasianer Thamrin Sonata. Kebetulan, fotonya ada yang pas pada saat juragan komunitas “Kutu Buku” di Kompasiana ini lagi asyik mengetik di lappy-nya.

Kutipannya: “Menulis, ya ada aturannya. Termasuk bertanggung-jawab pada buah “pemikiran”nya. ‘Ndak asal njeplak.

Sebenarnya, apa yang disampaikan empunya kumis gahar ini mudah saja dicerna maknanya. Penulis, harus bertanggung-jawab pada apa yang dituliskannya. Karena, tulisan akan berdampak. Baik dan buruknya, tergantung dari apa yang dituliskan. Untuk itu, seperti juga kata Kang Pepih: “Yang paling baik adalah tulisan itu bisa bermanfaat buat orang banyak”.

Bahaya, kalau tulisan itu berdampak buruk. Membawa berkah, kalau sebaliknya, tulisan itu bermanfaat. Karena apa? Ya, karena tulisan akan “abadi”, bergeser dari generasi ke generasi. Seperti pernah dituliskan Pramoedya Ananta Toer: “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari”.

[caption caption="(Kalimat bijak yang mengingatkan banyaknya sampah informasi tak mencerahkan di media sosial. || Foto: Akun FB Yusran Darmawan)"]

[/caption]Kedelapan, saya dan Anda, diingatkan lagi oleh Kompasianer Yusran Darmawan tentang banyaknya tulisan, khususnya di media sosial, yang negatif dan “jauh dari kata mencerahkan”. Kalimat bijak dari empunya situs timur-angin.com ini bertalian dengan apa yang disampaikan Kang Pepih Nugraha (menulis harus bermanfaat untuk orang banyak), dan Thamrin Sonata (menulis harus penuh tanggung-jawab).

Apa yang diungkapkan Yusran Darmawan memang keprihatinan kita bersama. Aneka kasus melalui media sosial sudah banyak terjadi. Bahkan, seperti dikutip bbc.com, Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti sempat mengatakan, ada 180.000 akun media sosial, yang diduga menyebar kebencian yang tengah diselidiki.

Untuk itu semua, sejumlah undang-undang yang bisa dipakai untuk menjerat penyebar kebencian, yaitu:

Satu, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman enam tahun penjara.

Dua, Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Tiga, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

* * * * *

Begitulah, sejumlah kalimat bijak yang saya kutip dari para Kompasianer. Saya share menggunakan foto grafis dengan bantuan Photoshop.

Sepakat atau tidak sepakat, semoga kalimat bijak mereka, bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun