Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Inilah 12 Perempuan Inspiratif NOVA 2015

7 Desember 2015   01:19 Diperbarui: 9 Desember 2015   06:29 1384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(7). Eko Setyo Asih asal Karanganyar, Jawa Tengah. “Lahan pendidikan yang saya tekuni di sini adalah untuk anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini anak-anak autis. Sejak SMP saya sudah berkecimpung di dunia Panti Jompo, lalu ke Panti Yatim Piatu. Kini, saya prihatin sekali, banyak anak-anak autis yang disembunyikan orangtuanya karena malu. Bahkan, ada juga anak-anak autis yang tidak dilayani atau ditelantarkan keluarganya, karena untuk terapi anak-anak autis saja saat ini sudah membutuhkan biaya Rp 100 ribu per jam. Lha, kalau orangtuanya tidak mampu secara ekonomi, maka tidak pernah diterapi. Dari pencaharian data ke sejumlah kelurahan dan atas izin orangtuanya, saya mulai melakukan terapi secara gratis kepada para orangtua, untuk kemudian diterapkan kepada anak-anak mereka yang autis,” tutur Eko.

“Kini, jumlah anak difabel yang dibina Eko semakin bertambah, menjadi 70 anak, termasuk dari luar Pulau Jawa. Ke-70 anak-anak berkebutuhan khusus ini kemudian diajarkan untuk membuat berbagai kerajinan, hasil kerjasama dengan teman-teman saya. Nah, setiap Jumat, anak-anak autis ini saya ajak untuk berkeliling menjajakan hasil karya mereka. Saya bisa menyebutkan banyak anak-anak autis yang tidak terlayani sama sekali. Setiap Minggu saya naik motor ke Magelang. Dan dalam satu bulan, saya sudah memperoleh data bahwa, di sana ada 25 anak autis. Semua kegetiran yang saya hadapi, termasuk kelumpuhan anak saya, membuat tekad saya untuk hidup lebih bermanfaat lagi!” tegas Eko.

(Eko Setyo Asih, penerima anugerah PIN 2015 yang peduli dengan anak berkebutuhan khusus dalam hal ini autis.. || Foto: Khairina Nasution)

(8). Nissa Wargadipura. “Sebenarnya, pekerjaan saya bukan untuk mencari prestasi. Tapi pekerjaan saya adalah bekerja, bekerja dan bekerja! Saya sebenarnya adalah aktivis. Saya besar di Serikat Petani Pasundan, sebuah organisasi yang sedang memperjuangkan lahan-lahan agraria. Negara kita adalah negara agraria tapi sekarang sudah hilang sama sekali agraria itu. Sejak 1996 lalu, saya mendampingi buruh-buruh tani termasuk menyelenggarakan sekolah untuk anak-anak buruh petani yang sedang berkonflik. Pada 2008, saya meninggalkan Serikat Petani Pasundan. Waktu itu juga, saya melihat ada kesalahan pengurusan total petani dan pengelolaan lahan se-Indonesia, dan harus diperbaiki. Apalagi, ada banyak petani yang menjual lahannya,” tutur Nissa yang meraih PIN 2015 kategori Lingkungan.

Nissa melanjutkan, dirinya kemudian berinisiatif membuat satu komunitas yang bertujuan mencari jalan keluar agar lahan-lahan agrarian tidak dijual. “Ternyata memang, penjualan lahan tani sangat gampang sekali. Kenapa? Karena, benih saya kita ini tergantung dari pihak luar, pupuk juga demikian, termasuk menggantungkan diri pada buruh kerja, dan hampir semua basis pertanian kita adalah monokultur bukan keanekaragaman hayati. Setelah revolusi hijau banyak sekali penyakit aneh yang diderita kalangan petani seperti autis, diabetes, obesitas, downsyndrome dan sebagainya. Saya jadi berpikir, kenapa para petani justru menderita penyakit yang aneh-aneh seperti itu? Dari situ, saya membangun komunitas yang saya beri nama Pesantren Ekologi, untuk memberikan pencerahan, membangun pendidikan kepada santri-santri yang peduli ekologi. Kami bertani dengan sistem polikultur, semua jenis tanaman ada dan tumbuh secara alami. Kami juga memperbaiki habitat hewan, makanya ada rumah ular, burung hantu dan lainnya, karena hal ini berkaitan secara siklus ekologi yang salingbergantung dan diantaranya dengan manusia. Bila tidak ingin kena penyakit dan sehat, mari kita kembali kepada sistem pertanian yang benar dengan berbasis ekologi,” urainya penuh semangat layaknya orasi.

(KANAN: Maizidah Salas, penerima anugerah PIN 2015 ketika berbelanja di butik Martha Tilaar. || Foto: Gapey Sandy)

(9). Maizidah Salas asal Wonosobo, Jawa Tengah. “Saya tidak lulus SMA. Karena sempat diperkosa oleh kakak kelas saya, dan kemudian dinikahkan. Karena berawal dari pemerkosaan, maka hidup berumah-tangga saya selalu penuh dengan derita dan penyiksaan. Bahkan pada usia kehamilan enam bulan saya sempat diinjak perutnya oleh suami saya. Setelah punya anak, suami saya tidak bertanggung-jawab dan pergi entah kemana. Karena keadaan yang menyakitkan inilah saya kemudian bekerja atau merantau sebagai buruh migran di Taiwan. Menjadi pekerja migran itu tidak mudah, semuanya dilakukan secara terpaksa, karena di Indonesia tidak ada lapangan kerja dengan hanya mengantongi ijazah SMP. Dari semua masalah yang saya alami, kini saya sadar diri, untuk mulai peduli pada diri sendiri dan orang banyak. Saya balas dendam dengan masa lalu saya, balas dendam dengan kebodohan diri saya sendiri. Saya kemudian menyelesaikan pendidikan Kejar Paket C, untuk kemudian pada tahun lalu berhasil wisuda sarjana di Universitas Bung Karno, Jakarta. Tahun depan, insya Alloh saya akan menyelesaikan studi S2 program beasiswa ke Jerman,” tutur Maizidah yang masih dalam kondisi pemulihan akibat mengalami kecelakaan.

Aktif membela perjuangan buruh migran di Serikat Buruh Migran se-Indonesia, Maizidah kemudian membangun Kampung Buruh Migran Wonosobo. Kampung ini memiliki konsep, dari buruh migran untuk buruh migran. “Kami melakukan pengorganisasian mantan buruh migran yang jumlahnya mencapai sekitar 3.000 orang. Kami melakukan pendampingan sebanyak 31 kelompok buruh migran. Kelompok ini mengelola berbagai usaha, seperti menjalankan program tabungan simpan pinjam, mengelola usaha sembako, kursus menjahit, ternak kambing, pisang Cavendish, mendirikan PAUD untuk anak-anak TKI gratis, dan menyelenggarakan free internet untuk pendidikan,” jelasnya sembari menyebutkan bahwa Kampung Buruh Migran Wonosobo sudah menjadi tujuan wisata pendidikan dan penelitian studi akhir tidak saja oleh mahasiswa dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Tahun lalu, ada mahasiswa dari 11 negara. Tahun ini bertambah jadi 20 negara yang datang ke kampung kami ini,” jelas Maizidah dengan nada penuh semangat.

(Shanti Rosa Persada, penerima anugerah PIN 2015 kategori Kesehatan. || Foto: Gapey Sandy)

(10). Shanti Rosa Persada (kategori Kesehatan). “Saya founder dari Lovepink. Ini adalah gerakan sosial untuk men-support orang agar terus mempertahankan hidup meski terdiagnosa kanker payudara. Saya sendiri divonis menderita kanker payudara pada 2010. Terapi berlangsung pada 2011. Bulan pertama, yang saya jalani sangat berat sekali. Bulan kedua saya diperkenalkan dengan Madelina Mutia yang juga terdiagnosa kanker payudara dan mengalami kondisi drop. Nah, saya yang juga terdiagnosa dan berhasil tegar berusaha untuk memompa semangat Mutia. Ini menjadi penyemangat dan motivasi buat saya untuk terus men-support mereka yang terdiagnosa kanker payudara,” urainya kepada penulis di meja bundar VVIP pada malam penganugerahan PIN 2015.

Pada 2013, akhirnya Shanti dan Mutia sepakat menamakan gerakan ini dengan Lovepink. “Artinya, Pink melambangkan Pita Pink yang merupakan ikon kepedulian kanker payudara. Sedangkan Love, karena kita bekerja dengan cinta. Pada 2013 itu juga, sudah ada 50 orang yang kita support. Kami pun mulai melakukan gathering, misalnya kalau rambut penderita kanker payudara ini mengalami botak, maka sebagai perempuan harus tetap tampil cantik dengan kondisi kebotakan. Kini, anggota Lovepink sudah 425 orang, yang sebagian besar ada di Jakarta,” urainya seraya menyebutkan bahwa Lovepink sudah meluncurkan layanan aplikasi berbasis android dengan nama Breasties tentang segala hal mengenai Kanker Payudara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun