Teka-teki siapa saja Perempuan Inspiratif NOVA (PIN) 2015 akhirnya terjawab. Bertempat di Restoran Oasis, Cikini, Jakarta, Sabtu 5 Desember kemarin, sebanyak 12 perempuan terpilih dari enam kategori resmi diumumkan. Masing-masing mereka berhak menerima piala, uang tunai Rp 3 juta berikut produk sponsor. Adapun enam kategori tersebut adalah Perempuan dan Seni Sosial Budaya, Pendidikan Ilmu Pengetahuan, Wirausaha, Kesehatan, Teknologi, serta Perempuan dan Lingkungan. Setiap kategori terdapat dua penerima anugerah PIN 2015.
Penyerahan hadiah disampaikan langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise yang diwakili Dewi Yuni Muliati selaku Asisten Deputi Gender Dalam Kesehatan bidang Pengarusutamaan Gender bidang Politik Sosial dan Hukum, Martha Tilaar selaku Founder and Chairwoman Martha Tilaar Group, dan Iis Riesnawati Soelaeman sebagai Editor In Chief Tabloid NOVA.
Dalam sambutannya, Dewi Yuni Muliati mengatakan, Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memberikan apresiasi dan menyambut baik penyelenggaraan pemilihan dan penganugerahan Perempuan Inspiratif NOVA yang sudah berlangsung selama delapan kali ini, dan terus menjadi agenda tahunan.
“Penyelenggaraan PIN ini juga membuktikan bahwa kaum perempuan aktif dalam memajukan bangsa Indonesia melalui pemikiran yang cemerlang dan karya-karya nyatanya. Sebagaimana diketahui dalam lima tahun ke depan, seluruh kebijakan yang disusun oleh masing-masing kementerian baik di pusat dan di daerah akan tetap menyelaraskan apa yang menjadi visi dan misi dari Bapak Presiden. Untuk itu Pemerintah akan memprioritaskan dalam perumusan kebijakan dan program yang mendukung dalam mendorong kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan dan tumbuh kembang anak. Selain itu, isu penting lainnya adalah bagaimana memperbaiki kualitas hidup perempuan memberikan perlindungan kepada perempuan, anak dan kelompok lainnya dari berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi dan berbagai perlakuan diskriminatif lainnya,” ujarnya.
Dari Total 2.000, Terpilih 12 Perempuan Inspiratif
Sementara itu, di sela pembukaan penganugerahan PIN 2015 di Restoran Palalada, Grand Indonesia, Jakarta, pada Sabtu 5 Desember 2015, Pemimpin Redaksi Tabloid NOVA, Iis Riesnawati Soelaeman kepada penulis mengatakan, ke-12 sosok PIN 2015 ini terpilih dari sekitar 2.000 perempuan yang terseleksi.
“Awalnya, ada sekitar 2.000 perempuan yang masuk tahap penyeleksian. Kita mengawali dengan melakukan seleksi naskah per kategori. Lalu jumlahnya kita ‘peras’ lagi hingga jumlahnya menjadi 100. Kemudian kita ‘peras’ lagi sampai menjadi 30 perempuan. Nah, pada saat jumlahnya sudah mencapai 30 perempuan inilah kemudian kita sudah harus mengundang juri dari luar NOVA. Yakni, juri dari NOVA yang memiliki dua suara, yakni suara redaksi dan tim bisnis. Kemudian juri dari Martha Tilaar Group yang dalam hal ini adalah Wulan Tilaar. Juga ada juri yang merupakan alumni PIN 2013 kategori Teknologi yakni Mira Julia, dan alumni PIN 2014 kategori Wirausaha yaitu Tenny Hasyanti,” jelas Iis.
Menurut Iis, yang selalu menjadi ciri khas NOVA adalah senantiasa berusaha untuk memilih PIN yang belum terekspose media. “Tapi karya mereka sudah kelihatan. Mungkin belum besar sekali, tapi untuk cikal bakal menjadi besarnya ada. Karena itu harus kita support. Kalau pengalaman dari PIN-PIN sebelumnya, kalau habis menang di NOVA, berdasarkan testimoni para peraih PIN, akan merasakan manfaat yang begitu banyak secara tiba-tiba. Misalnya, Komunitas Greena di Bogor yang meraih PIN 2013 kategori Lingkungan. Setelah meraih PIN 2013, satu bulan kemudian komunitas ini didatangi oleh Pemda setempat sekaligus diberikan bantuan lahan, mesin pendaur-ulang sampah dan sebagainya. Ini jelas menjadi kemudahan bagi mereka,” tutur Iis.
Tingkat kesulitan menentukan 12 peraih PIN 2015, lanjut Iis, adalah karena rata-rata semua perempuan yang diseleksi adalah memiliki kualifikasi yang bagus. “Rata-rata, semua memiliki spirit yang memang kami cari yaitu konsisten. Artinya, calon PIN ini boleh ketemu masalah, kendala, hambatan dan gangguan atau apapun, tapi yang bersangkutan tidak menunjukkan bahwa dirinya menyerah. Terus saja dia berjuang. Dengan melihat rata-rata perempuan yang diseleksi memiliki kapabilitas seperti itu, sampai-sampai saya berpendapat bahwa para perempuan inspiratif ini memiliki tambahan nama ‘Solusi’ sebagai nama tengah mereka. Jadi apapun masalahnya, solusi itu selalu dapat mereka temukan,” jelas Iis yang mengaku beberapa kali terharu membaca dan menyimak pengalaman hidup yang dialami para perempuan inspiratif.
Iis menyatakan kesalutannya kepada para PIN. “Mereka selalu tekun dalam bekerja. Konsisten dalam memperjuangkan apa yang diyakininya benar. Mereka tidak memikirkan profit, tapi hanya melakukan segalanya demi memberi manfaat kepada orang lain. Barangkali, yang dirasakan oleh para perempuan ini adalah kebahagiaan yang diperoleh dengan memberikan kebahagiaan juga untuk orang lain. Inilah yang dimaksud sesuai dengan tema PIN 2015 kali ini yang mengangkat tema Berkarya dengan Cinta,” jelas Iis.
Ke depan, lanjut Iis, pihaknya ingin menambah kategori baru lantaran enam kategori yang ada dirasa sangat terbatas. “Misalnya, PIN kategori Seni Sosial Budaya. Apa benar ketiga kategori ini bisa disatukan? Bukankah sebenarnya, kegiatan antar ketiganya itu berbeda. Nah, yang seperti Seni Sosial Budaya ini, barangkali bisa dipecah kategorinya. Contoh lain adalah kategori Teknologi. Sejauh ini, yang kami maksudkan Teknologi adalah lebih kepada science. Tapi ternyata, saat ini mengemuka Teknologi yang terkait dengan Teknologi Informasi. Bukankah hal ini sedang menjadi kekinian? Apakah kategori Teknologi dengan dua dasar pemikiran ini bisa kelak bisa dipisah atau tidak, itu juga sedang kami pikirkan,” urainya sembari juga memberi apresiasi terhadap siapa saja yang telah menjadi recommender atau pemberi rekomendasi atas calon perempuan inspiratif. “Ya, salah satunya seperti Mas Fadli ini, yang sudah berhasil merekomendasikan dua sosok penerima anugerah PIN 2015 sekaligus, yaitu Yunita Riris Widawaty (kategori Teknologi), dan Yuli Supriati (kategori Kesehatan).
Usai makan siang di Restoran Palalada, Grand Indonesia, Jakarta, ke-12 penerima anugerah PIN 2015 kemudian diberi waktu selama 20 menit untuk shopping di butik Martha Tilaar.
Inilah 12 Perempuan Inspiratif NOVA 2015
Berikut ini, perkenalan singkat yang disampaikan oleh ke-12 penerima anugerah PIN 2015:
(1). Sri Mulyani (ketagori Lingkungan), staf pengajar Matematika di SMAN 1 di Ungaran, ibukota Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. “Saya menggeluti tentang penanganan sampah. Saya mengelola Bank Sampah Mulya Sejahtera. Dari Kemenneg LH dan BLHD setempat saya selalu ditunjuk sebagai narasumber. Ada juga yang menulis tentang saya di internet dengan judul Cinta Sang Guru pada Sampah. Saya juga menggerakkan Kelompok Tani Mulya Sejahtera. Nama Mulya Sejahtera berasal dari penggalan nama saya sendiri, karena waktu itu bingung mau pilih pakai nama apa,’ ujarnya.
Sri menambahkan, dirinya mengajak kaum ibu untuk memanfaatkan tanah pekarangan. “Kami juga pernah meraih juara lomba menanam tanaman organik di tanah pekarangan sendiri untuk tingkat Provinsi. Kami juga mengelola Kantong ‘SMS’ atau Sayur Mayur Sehat. Ini adalah kantong hasil panen tanaman organik yang ditanam di pekarangan rumah. Para ibu-ibu dapat menaruh hasil panen tersebut di kantong yang telah tersedia, kemudian menaruh sejumlah uang untuk dijadikan biaya pendidikan. Uang ‘tabungan’ ini hanya akan diambil pada setiap 5 Juli untuk biaya pendidikan. Adapun hasil keuangan dari bank sampahnya ditujukan untuk biaya Lebaran, anak yatim piatu dan pendidikan. Di tempat saya, pada satu RW terdapat 163 nasabah dengan dana yang terkumpul Rp 15 juta per tahun. Saya juga berharap, agar setiap RW dimana saja berada, punya satu bank sampah karena hasilnya akan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan secara terencana. Tidak perlu malu karena memang dari sampah dapat membuat sejahtera. Sampah itu saya pelesetkan artinya sebagai “Semoga Allah Melimpahkan Hamba-hambaNya,” tutur Sri Mulyani, perempuan berhijab yang selalu tampil ramah dan penuh senyum ini.
(2). Ratna Prawira pegiat perempuan di Yogyakarta yang berasal dari Ambon, Maluku. “Saya adalah korban kerusuhan sosial yang terjadi di Ambon pada 1999. Saya jatuh bangun di Yogyakarta selama kurang lebih 12 tahun. Sampai pada suatu titik, saya benci sekali dengan yang namanya takdir! Tapi ya sudahlah, semua sudah berlalu. Kini, saya mengajak para wanita tani di sana untuk mandiri dengan menjadi pengusaha melalui pohon pisang. Kami mengolah pohon pisang dari daun sampai bonggol, kami manfaatkan semuanya. Berturut-turut saya pernah memperoleh penghargaan. Pada 2012, saya memperoleh penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara dari Presiden SBY. Lalu pada 2013, untuk produk kerupuk kulit pisang saya memperoleh penghargaan Product Innovative Award. Pada 2015 ini, saya memperoleh penganugerahan PIN 2015. Saya membantu para perempuan yang hidupnya dibawah garis kemiskinan dan sekarang mereka bisa menjadi pengusaha kecil mandiri, hanya dengan modal uang Rp 25 ribu dan satu pohon pisang. Karya-karya kami sudah membuktikan bahwa wanita-wanita tani yang ada di pedesaan adalah wanita kuat yang bisa berlarut untuk meraih mimpi,” kisah Ratna sembari sesekali terhenti bicara lantaran hendak menangis.
(3). Heni Sri Sundani. Pemilik nama alias Heni Jaladara ini adalah pengelola AgroEdu Jampang Community , sebuah komunitas yang tak lain merupakan wisata pendidikan pertanian di wilayah Jampang, Bogor. Program komunitas ini antara lain menyelenggarakan pembinaan pendidikan gratis yang diberi label Anak Petani Cerdas, dan memiliki motto Membangun Generasi, Membangun Negeri. Kini, AgroEdu Jampang Community punya banyak program. Mulai dari program hidroponik, budidaya tanaman organik dan hortikultura, ikan hias, lele bioflok, peternakan kambing dan sapi perah, Wisata Saba Desa Kampung Sasak, homestay dan ikan danau kampung Lengkong Barang, jamur tiram, juga wisata Odong-odong Kahuripan.
“Gerakan Anak Petani Cerdas adalah gerakan yang mencerdaskan anak-anak petani. Bermula dari petak rumah kontrakan kami yang hanya berukuran 3x6 meter, dengan anak-anak binaan sebanyak 15 orang saja. Sempit-sempitan sekali. Alhamdulillah, saat ini sudah ada sekitar 800 anak petani. Sudah lebih dari 10.000 keluarga petani yang tersebar di seluruh kabupaten dan menjadi binaan kami. Ikhtiar dan cinta memiliki kekuatan yang begitu besar. Apa yang saya raih sekarang berawal dari ikhtiar, cinta dan kepahitan hidup, sehingga dapat terus memotivasi dan berbagi,” jelas Heni.
(4). Sonta Leonarda Boru Situmorang asal Pulau Samosir, Medan. “Saya berada di sini karena mengembangkan dan melestarikan Ulos Batak Toba. Banyak sekali rintangan dan tantangan yang saya terima dari sekitar saya sendiri. Saya melestarikan Ulos ini dari nenek moyang saya, kepada saya, dan anak cucu saya kelak. Ini adalah Ulos Pusaka. Saya bersama kawan-kawan lain yang akan meneruskan produksi Ulos ini. Saya pernah buat Ulos khusus untuk Pasu Yohannes Paulus II. Itu satu kenangan paling membahagiakan bagi saya. Kegiatan yang saya perbuat ini banyak sekali rintangannya. Ada yang bilang beginilah, negitulah, tapi sekarang, mereka justru mau belajar membuat tenunan Ulos dengan saya. Banyak memang produksi Ulos yang lain, termasuk yang menggunakan mesin modern. Saya sangat bersyukur bisa berjumpa dengan pimpinan dan staf Tabloid NOVA, bersama seluruh perempuan inspiratif semua ini,” ujarnya dengan sedikit terbata-bata.
(5). Irma Suryati asal Kebumen, Jawa Tengah. “Usaha saya adalah aneka kerajinan keset yang alhamdulillah sudah bisa diekspor. Pada 2016, kami akan ekpansi pasar ekspor lagi ke Singapura. Karena saya memberdayakan teman-teman disabilitias yang selama ini merupakan kaum yang terpinggirkan, tersisih. Sebelum membuka usaha keset, saya selalu melamar pekerjaan kemana-mana tapi selalu ditolak terus. Bahkan sampai 15 kali lamaran kerja saya, selalu ditolak perusahaan. Karena itu, saya sudah menegaskan untuk tidak akan pernah melamar pekerjaan lagi, dan justru ingin menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Awalnya hanya beberapa orang disabilitas yang bergabung, kemudian kini sudah mencapai 3.000 orang. Saya pun kini juga sudah memperluas cakupan kerja hingga 17 kabupaten se-Jawa Tengah, dan memiliki 59.000 mitra kerja yang merupakan ibu-ibu rumah tangga,” urainya yang bangga telah dapat membuktikan bahwa penyandang cacat atau kaum difabel bukan beban negara, tapi justru bisa jadi asset bangsa dan negara.
Irma menambahkan, dirinya pernah menggelandang di Jakarta dengan menjual keset. “Sewaktu menjual dua karung keset dari Gombong, Jawa Tengah menuju Tanah Abang, Jakarta, saya sempat dihantam angin puting beliung. Saya tidur di emperan Pasar Tanah Abang menggunakan alas karung. Angin ribut yang terjadi pada pukul 07.30 wib rupanya menerbangkan selembar kertas koran yang kemudian berhenti tepat di pipi saya. Koran ini kemudian saya baca dan ternyata didalamnya ada informasi mengenai Lomba Wirausaha Muda Teladan tingkat Nasional yang diselenggarakan Kemenpora. Dengan perjuangan dan perjalanan panjang luar biasa, saya berhasil menyisihkan puluhan ribu peserta lain, dan berhasil menjadi juara pertama. Hadiah dari Kemenpora adalah wisata ke Eropa, dan saya pilih ke Australia dengan alasan untuk mencari pasar ekspor baru. Alhamdulillah, saya dapat buyer dari Australia dan kini terus pelanggan setia,” papar Ima yang juga pernah memperoleh penghargaan berlevel nasional dan internasional,” bangga Irma yang kini telah membuka swalayan sederhana dan diberi nama ‘DifabelMart’.
(6). Yuli Sugihartati asal Malang. “Kota Batu sudah menjadi destinasi wisata utama Jawa Timur. Tapi di sana ada juga Dusun Brau Batu, yang letaknya berada di atas ketinggian 1.000 mdpl dengan kondisi yang masih tertinggal. Di dusun ini ada potensi sekaligus menjadi mata pencaharian warga yakni dengan beternak sapi perah. Kalau dihitung antara populasi manusia dibandingkan sapi perahnya, justru lebih banyak sapi perahnya. Karena jumlah ternak sapinya tinggi, maka polusi lingkungan akan begitu parah. Umumnya, warga di sana tidak menyadari bahwa kotoran sapi sangat meracuni dan dapat mengganggu lingkungan sekitar. Inilah yang menjadi masalah. Apalagi, dusun ini terletak di sisi atas, sehingga aliran sungai yang tercemar limbah sapi, dapat mengalir ke lingkungan sekitar yang berada di bawah. Untuk itu, saya mengajak warga di sana untuk membuat reaktor biogas dari kotoran sapi. Bukan mudah untuk mengajak warga membuat biogas, karena sudah banyak cerita di lapangan tentang kegagalan biogas. Dari situ saya mulai membuat reaktor biogas percontohan dengan dana sendiri. Setelah sampai satu tahun pemakaian, rupanya biogas yang saya buat tetap menghasilkan produk dan kualitas biogas yang baik, sehingga banyak warga yang tertarik untuk membuatnya. Satu per satu, warga ikut membuat reaktor biogas yang membutuhkan biaya Rp 10 juta dengan cara mencicil secara ringan biaya pembuatannya,” urai Yuli.
(7). Eko Setyo Asih asal Karanganyar, Jawa Tengah. “Lahan pendidikan yang saya tekuni di sini adalah untuk anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini anak-anak autis. Sejak SMP saya sudah berkecimpung di dunia Panti Jompo, lalu ke Panti Yatim Piatu. Kini, saya prihatin sekali, banyak anak-anak autis yang disembunyikan orangtuanya karena malu. Bahkan, ada juga anak-anak autis yang tidak dilayani atau ditelantarkan keluarganya, karena untuk terapi anak-anak autis saja saat ini sudah membutuhkan biaya Rp 100 ribu per jam. Lha, kalau orangtuanya tidak mampu secara ekonomi, maka tidak pernah diterapi. Dari pencaharian data ke sejumlah kelurahan dan atas izin orangtuanya, saya mulai melakukan terapi secara gratis kepada para orangtua, untuk kemudian diterapkan kepada anak-anak mereka yang autis,” tutur Eko.
“Kini, jumlah anak difabel yang dibina Eko semakin bertambah, menjadi 70 anak, termasuk dari luar Pulau Jawa. Ke-70 anak-anak berkebutuhan khusus ini kemudian diajarkan untuk membuat berbagai kerajinan, hasil kerjasama dengan teman-teman saya. Nah, setiap Jumat, anak-anak autis ini saya ajak untuk berkeliling menjajakan hasil karya mereka. Saya bisa menyebutkan banyak anak-anak autis yang tidak terlayani sama sekali. Setiap Minggu saya naik motor ke Magelang. Dan dalam satu bulan, saya sudah memperoleh data bahwa, di sana ada 25 anak autis. Semua kegetiran yang saya hadapi, termasuk kelumpuhan anak saya, membuat tekad saya untuk hidup lebih bermanfaat lagi!” tegas Eko.
(8). Nissa Wargadipura. “Sebenarnya, pekerjaan saya bukan untuk mencari prestasi. Tapi pekerjaan saya adalah bekerja, bekerja dan bekerja! Saya sebenarnya adalah aktivis. Saya besar di Serikat Petani Pasundan, sebuah organisasi yang sedang memperjuangkan lahan-lahan agraria. Negara kita adalah negara agraria tapi sekarang sudah hilang sama sekali agraria itu. Sejak 1996 lalu, saya mendampingi buruh-buruh tani termasuk menyelenggarakan sekolah untuk anak-anak buruh petani yang sedang berkonflik. Pada 2008, saya meninggalkan Serikat Petani Pasundan. Waktu itu juga, saya melihat ada kesalahan pengurusan total petani dan pengelolaan lahan se-Indonesia, dan harus diperbaiki. Apalagi, ada banyak petani yang menjual lahannya,” tutur Nissa yang meraih PIN 2015 kategori Lingkungan.
Nissa melanjutkan, dirinya kemudian berinisiatif membuat satu komunitas yang bertujuan mencari jalan keluar agar lahan-lahan agrarian tidak dijual. “Ternyata memang, penjualan lahan tani sangat gampang sekali. Kenapa? Karena, benih saya kita ini tergantung dari pihak luar, pupuk juga demikian, termasuk menggantungkan diri pada buruh kerja, dan hampir semua basis pertanian kita adalah monokultur bukan keanekaragaman hayati. Setelah revolusi hijau banyak sekali penyakit aneh yang diderita kalangan petani seperti autis, diabetes, obesitas, downsyndrome dan sebagainya. Saya jadi berpikir, kenapa para petani justru menderita penyakit yang aneh-aneh seperti itu? Dari situ, saya membangun komunitas yang saya beri nama Pesantren Ekologi, untuk memberikan pencerahan, membangun pendidikan kepada santri-santri yang peduli ekologi. Kami bertani dengan sistem polikultur, semua jenis tanaman ada dan tumbuh secara alami. Kami juga memperbaiki habitat hewan, makanya ada rumah ular, burung hantu dan lainnya, karena hal ini berkaitan secara siklus ekologi yang salingbergantung dan diantaranya dengan manusia. Bila tidak ingin kena penyakit dan sehat, mari kita kembali kepada sistem pertanian yang benar dengan berbasis ekologi,” urainya penuh semangat layaknya orasi.
(9). Maizidah Salas asal Wonosobo, Jawa Tengah. “Saya tidak lulus SMA. Karena sempat diperkosa oleh kakak kelas saya, dan kemudian dinikahkan. Karena berawal dari pemerkosaan, maka hidup berumah-tangga saya selalu penuh dengan derita dan penyiksaan. Bahkan pada usia kehamilan enam bulan saya sempat diinjak perutnya oleh suami saya. Setelah punya anak, suami saya tidak bertanggung-jawab dan pergi entah kemana. Karena keadaan yang menyakitkan inilah saya kemudian bekerja atau merantau sebagai buruh migran di Taiwan. Menjadi pekerja migran itu tidak mudah, semuanya dilakukan secara terpaksa, karena di Indonesia tidak ada lapangan kerja dengan hanya mengantongi ijazah SMP. Dari semua masalah yang saya alami, kini saya sadar diri, untuk mulai peduli pada diri sendiri dan orang banyak. Saya balas dendam dengan masa lalu saya, balas dendam dengan kebodohan diri saya sendiri. Saya kemudian menyelesaikan pendidikan Kejar Paket C, untuk kemudian pada tahun lalu berhasil wisuda sarjana di Universitas Bung Karno, Jakarta. Tahun depan, insya Alloh saya akan menyelesaikan studi S2 program beasiswa ke Jerman,” tutur Maizidah yang masih dalam kondisi pemulihan akibat mengalami kecelakaan.
Aktif membela perjuangan buruh migran di Serikat Buruh Migran se-Indonesia, Maizidah kemudian membangun Kampung Buruh Migran Wonosobo. Kampung ini memiliki konsep, dari buruh migran untuk buruh migran. “Kami melakukan pengorganisasian mantan buruh migran yang jumlahnya mencapai sekitar 3.000 orang. Kami melakukan pendampingan sebanyak 31 kelompok buruh migran. Kelompok ini mengelola berbagai usaha, seperti menjalankan program tabungan simpan pinjam, mengelola usaha sembako, kursus menjahit, ternak kambing, pisang Cavendish, mendirikan PAUD untuk anak-anak TKI gratis, dan menyelenggarakan free internet untuk pendidikan,” jelasnya sembari menyebutkan bahwa Kampung Buruh Migran Wonosobo sudah menjadi tujuan wisata pendidikan dan penelitian studi akhir tidak saja oleh mahasiswa dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Tahun lalu, ada mahasiswa dari 11 negara. Tahun ini bertambah jadi 20 negara yang datang ke kampung kami ini,” jelas Maizidah dengan nada penuh semangat.
(10). Shanti Rosa Persada (kategori Kesehatan). “Saya founder dari Lovepink. Ini adalah gerakan sosial untuk men-support orang agar terus mempertahankan hidup meski terdiagnosa kanker payudara. Saya sendiri divonis menderita kanker payudara pada 2010. Terapi berlangsung pada 2011. Bulan pertama, yang saya jalani sangat berat sekali. Bulan kedua saya diperkenalkan dengan Madelina Mutia yang juga terdiagnosa kanker payudara dan mengalami kondisi drop. Nah, saya yang juga terdiagnosa dan berhasil tegar berusaha untuk memompa semangat Mutia. Ini menjadi penyemangat dan motivasi buat saya untuk terus men-support mereka yang terdiagnosa kanker payudara,” urainya kepada penulis di meja bundar VVIP pada malam penganugerahan PIN 2015.
Pada 2013, akhirnya Shanti dan Mutia sepakat menamakan gerakan ini dengan Lovepink. “Artinya, Pink melambangkan Pita Pink yang merupakan ikon kepedulian kanker payudara. Sedangkan Love, karena kita bekerja dengan cinta. Pada 2013 itu juga, sudah ada 50 orang yang kita support. Kami pun mulai melakukan gathering, misalnya kalau rambut penderita kanker payudara ini mengalami botak, maka sebagai perempuan harus tetap tampil cantik dengan kondisi kebotakan. Kini, anggota Lovepink sudah 425 orang, yang sebagian besar ada di Jakarta,” urainya seraya menyebutkan bahwa Lovepink sudah meluncurkan layanan aplikasi berbasis android dengan nama Breasties tentang segala hal mengenai Kanker Payudara.
Shanti menjelaskan, pilar Lovepink ada dua. “Pertama, melakukan pendampingan untuk pasien kanker payudara. Kedua, melakukan kampanye deteksi dini Kanker Payudara yang tidak bisa dipreventif seperti misalnya Kanker Serviks. Untuk Kanker Payudara tidak ada serumnya, juga tidak ada vaksinnya. Untuk itu kita mensosialisasikan gerakan bernama ‘Sadari’ atau Periksa Payudara Diri Sendiri. ‘Sadari’ bisa dilakukan semua orang dari hari pertama sampai sepuluh setelah menstruasi,” jelas Shanti sudah menjalani terapi Kanker Payudara selama 1,5 tahun, dan kini harus menjalani kemoterapi lagi karena terdiagnosa Kanker Getah Bening yang menyebar ke paru-paru.
(11). Yunita Riris Widawaty. Selengkapnya tentang Riris, seorang gamer yang juga game developer ini, silakan baca tulisan saya sebelumnya: Pesona Riris, Perempuan Inspiratif NOVA 2015.
(12). Yuli Supriati. Kiprah dan perjuangan Yuli, Sekretaris Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Provinsi Banten ini, monggo di-klik tulisan saya sebelumnya: Kisah Yuli Supriati Perjuangkan Hak Layanan Kesehatan Masyarakat.
Agenda hari kedua penganugerahan PIN 2015 atau pada Minggu, 6 Desember 2015, diisi dengan talkshow yang menampilkan Psikolog UI, Rieny Hassan. Dilanjutkan dengan kunjungan sosial untuk berbagi ke salah satu Panti Werdha di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat.
Makan siang bersama kemudian menandai berakhirnya acara pemilihan dan penganugerahan PIN 2015. Seluruh perempuan inspiratif ini kemudian kembali ke tempat asal masing-masing, dengan semangat terbarukan untuk terus menginspirasi bangsa dan negara. Semangat yang terus menyala-nyala tanpa pernah padam!
Selamat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H