Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Inilah 12 Perempuan Inspiratif NOVA 2015

7 Desember 2015   01:19 Diperbarui: 9 Desember 2015   06:29 1384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(KIRI KE KANAN: Yuli Supriati, Nissa Wargadipura, dan Ratna Prawira. Ketiganya turut menerima anugerah PIN 2015. || Foto: Gapey Sandy)

(3). Heni Sri Sundani. Pemilik nama alias Heni Jaladara ini adalah pengelola AgroEdu Jampang Community , sebuah komunitas yang tak lain merupakan wisata pendidikan pertanian di wilayah Jampang, Bogor. Program komunitas ini antara lain menyelenggarakan pembinaan pendidikan gratis yang diberi label Anak Petani Cerdas, dan memiliki motto Membangun Generasi, Membangun Negeri. Kini, AgroEdu Jampang Community punya banyak program. Mulai dari program hidroponik, budidaya tanaman organik dan hortikultura, ikan hias, lele bioflok, peternakan kambing dan sapi perah, Wisata Saba Desa Kampung Sasak, homestay dan ikan danau kampung Lengkong Barang, jamur tiram, juga wisata Odong-odong Kahuripan.

“Gerakan Anak Petani Cerdas adalah gerakan yang mencerdaskan anak-anak petani. Bermula dari petak rumah kontrakan kami yang hanya berukuran 3x6 meter, dengan anak-anak binaan sebanyak 15 orang saja. Sempit-sempitan sekali. Alhamdulillah, saat ini sudah ada sekitar 800 anak petani. Sudah lebih dari 10.000 keluarga petani yang tersebar di seluruh kabupaten dan menjadi binaan kami. Ikhtiar dan cinta memiliki kekuatan yang begitu besar. Apa yang saya raih sekarang berawal dari ikhtiar, cinta dan kepahitan hidup, sehingga dapat terus memotivasi dan berbagi,” jelas Heni.

(Heni Sri Sundani penerima anugerah PIN 2015, berpose bersama sang suami tercinta. || Foto: Gapey Sandy)

(4). Sonta Leonarda Boru Situmorang asal Pulau Samosir, Medan. “Saya berada di sini karena mengembangkan dan melestarikan Ulos Batak Toba. Banyak sekali rintangan dan tantangan yang saya terima dari sekitar saya sendiri. Saya melestarikan Ulos ini dari nenek moyang saya, kepada saya, dan anak cucu saya kelak. Ini adalah Ulos Pusaka. Saya bersama kawan-kawan lain yang akan meneruskan produksi Ulos ini. Saya pernah buat Ulos khusus untuk Pasu Yohannes Paulus II. Itu satu kenangan paling membahagiakan bagi saya. Kegiatan yang saya perbuat ini banyak sekali rintangannya. Ada yang bilang beginilah, negitulah, tapi sekarang, mereka justru mau belajar membuat tenunan Ulos dengan saya. Banyak memang produksi Ulos yang lain, termasuk yang menggunakan mesin modern. Saya sangat bersyukur bisa berjumpa dengan pimpinan dan staf Tabloid NOVA, bersama seluruh perempuan inspiratif semua ini,” ujarnya dengan sedikit terbata-bata.

(Sonta Leonarda Boru Situmorang, penerima anugerah PIN 2015 berpose dengan Kain Ulos buatannya. || Foto: Gapey Sandy)

(5). Irma Suryati asal Kebumen, Jawa Tengah. “Usaha saya adalah aneka kerajinan keset yang alhamdulillah sudah bisa diekspor. Pada 2016, kami akan ekpansi pasar ekspor lagi ke Singapura. Karena saya memberdayakan teman-teman disabilitias yang selama ini merupakan kaum yang terpinggirkan, tersisih. Sebelum membuka usaha keset, saya selalu melamar pekerjaan kemana-mana tapi selalu ditolak terus. Bahkan sampai 15 kali lamaran kerja saya, selalu ditolak perusahaan. Karena itu, saya sudah menegaskan untuk tidak akan pernah melamar pekerjaan lagi, dan justru ingin menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Awalnya hanya beberapa orang disabilitas yang bergabung, kemudian kini sudah mencapai 3.000 orang. Saya pun kini juga sudah memperluas cakupan kerja hingga 17 kabupaten se-Jawa Tengah, dan memiliki 59.000 mitra kerja yang merupakan ibu-ibu rumah tangga,” urainya yang bangga telah dapat membuktikan bahwa penyandang cacat atau kaum difabel bukan beban negara, tapi justru bisa jadi asset bangsa dan negara.

Irma menambahkan, dirinya pernah menggelandang di Jakarta dengan menjual keset. “Sewaktu menjual dua karung keset dari Gombong, Jawa Tengah menuju Tanah Abang, Jakarta, saya sempat dihantam angin puting beliung. Saya tidur di emperan Pasar Tanah Abang menggunakan alas karung. Angin ribut yang terjadi pada pukul 07.30 wib rupanya menerbangkan selembar kertas koran yang kemudian berhenti tepat di pipi saya. Koran ini kemudian saya baca dan ternyata didalamnya ada informasi mengenai Lomba Wirausaha Muda Teladan tingkat Nasional yang diselenggarakan Kemenpora. Dengan perjuangan dan perjalanan panjang luar biasa, saya berhasil menyisihkan puluhan ribu peserta lain, dan berhasil menjadi juara pertama. Hadiah dari Kemenpora adalah wisata ke Eropa, dan saya pilih ke Australia dengan alasan untuk mencari pasar ekspor baru. Alhamdulillah, saya dapat buyer dari Australia dan kini terus pelanggan setia,” papar Ima yang juga pernah memperoleh penghargaan berlevel nasional dan internasional,” bangga Irma yang kini telah membuka swalayan sederhana dan diberi nama ‘DifabelMart’.

(Irma Suryati, penerima anugerah PIN 2015. || Foto: Gapey Sandy)

(6). Yuli Sugihartati asal Malang. “Kota Batu sudah menjadi destinasi wisata utama Jawa Timur. Tapi di sana ada juga Dusun Brau Batu, yang letaknya berada di atas ketinggian 1.000 mdpl dengan kondisi yang masih tertinggal. Di dusun ini ada potensi sekaligus menjadi mata pencaharian warga yakni dengan beternak sapi perah. Kalau dihitung antara populasi manusia dibandingkan sapi perahnya, justru lebih banyak sapi perahnya. Karena jumlah ternak sapinya tinggi, maka polusi lingkungan akan begitu parah. Umumnya, warga di sana tidak menyadari bahwa kotoran sapi sangat meracuni dan dapat mengganggu lingkungan sekitar. Inilah yang menjadi masalah. Apalagi, dusun ini terletak di sisi atas, sehingga aliran sungai yang tercemar limbah sapi, dapat mengalir ke lingkungan sekitar yang berada di bawah. Untuk itu, saya mengajak warga di sana untuk membuat reaktor biogas dari kotoran sapi. Bukan mudah untuk mengajak warga membuat biogas, karena sudah banyak cerita di lapangan tentang kegagalan biogas. Dari situ saya mulai membuat reaktor biogas percontohan dengan dana sendiri. Setelah sampai satu tahun pemakaian, rupanya biogas yang saya buat tetap menghasilkan produk dan kualitas biogas yang baik, sehingga banyak warga yang tertarik untuk membuatnya. Satu per satu, warga ikut membuat reaktor biogas yang membutuhkan biaya Rp 10 juta dengan cara mencicil secara ringan biaya pembuatannya,” urai Yuli.

(KIRI KE KANAN: Yuli Sugihartati penerima anugerah PIN 2015 bersama dengan Pemred NOVA, Iis R. Soelaeman. || Foto: Gapey Sandy)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun