Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Polemik 'Blogger Pesanan', Berharap Terbit Swakrama Nge-Blog

18 September 2015   10:35 Diperbarui: 19 September 2015   06:04 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peran blogger dalam dunia pemasaran makin cetar. Para penulis blog tak lagi dipandang remeh. Kehadiran dan kontribusinya terus diperhitungkan bahkan menjadi bagian penting dari kampanye marketing. Positioning blogger sudah sejajar dengan insan penulis, awak jurnalis di media mainstream.

Hampir setiap saat ada saja kesibukan blogger terlibat kampanye pemasaran itu. Mulai dari reportase restoran siap saji yang baru buka, sampai kuliner hotel berbintang. Dari mulai liputan soal jalan tol, test drive, sampai peluncuran MPV tipe gres. Undangan yang dialamatkan kepada blogger kian berserak. Tidak saja untuk mengulas produk oli, insurance, teh, kopi, abon, hingga consumer goods.

Ketika tulisan ini dibuat, pagi-pagi sekali seorang teman blogger sudah bersiap hadir ke acara review kebab. Makanan khas Timur Tengah dengan komposisi daging panggang, sayuran dan saus mayonaise dalam gulungan tortilla. Padahal malam harinya, ia sudah bergadang menyelesaikan tulisan jelang deadline lomba blog tentang Polisi Lalu Lintas.

Kalau dipikir-pikir, bagaimana ya mengubah kanal memory di otak dengan cepat, karena baru saja kelar menulis soal Polantas, sudah bersiap menurunkan reportasenya lagi tentang kebab. Hahahaaaa … blogger emang (paling) serba bisa deh!

Pertanyaannya sekarang, apakah riak aktivitas seperti itu yang membuat blogger tak ayal menyandang embel-embel blogger pesanan, atau blogger bayaran?

Saya tak hendak menuding, tapi rasanya mendengar istilah “blogger pesanan” atau “blogger bayaran”, konotasinya bisa positif juga negatif. Positif, kalau kemampuan blogger menuangkan ide dan gagasan tulisannya berhasil menggaet empunya modal untuk melibatkan blogger dalam strategi kampanye pemasaran. Tapi mendadak negatif, kalau kapabilitas dan idealisme blogger “terbeli oleh materi”, lalu menuliskan sesuatu yang bertabrakan dengan norma juga hati nurani.

Isu tentang blogger pesanan, blogger bayaran, atau blogger komersil--- yang memiliki dualisme sudut pandang: plus dan minus---, sebenarnya bukan cerita baru. Hanya memang, gemuruhnya muncul lagi, justru karena perkembangan pesat dunia blogger itu sendiri. Ya, tak mengapalah, hitung-hitung jadi polemik mencerdaskan.

Seingat saya, ciap-ciap mengenai blogger dan “belangnya”, mulai ramai lagi sejak dihembuskan Kompasianer Muthiah AlHasany. Tulisannya yang berjudul Ternyata Ada Beberapa Tipe Kompasianer, membelalakkan mata tentang adanya member Kompasiana (blogger), yang diantaranya ia juluki sebagai Penggemar Acara Nangkring dan Bounty Hunter.

Untuk tipe Penggemar Acara Nangkring, sesuai sebutannya, mereka sangat rajin mendatangi acara Nangkring yang diselenggarakan Kompasiana. Cuma sayangnya, kalau diperiksa akunnya, yang bersangkutan malah tidak pernah atau jarang menulis tentang acara tersebut. “Ia hanya senang kongkow-kongkow, makan gratisan atau mengoleksi goodie bag,” tulis Muthiah tanpa mengungkap siapa yang dimaksud.

Sedangkan tipe Bounty Hunter, tuding Muthiah, adalah tipe Kompasianer (blogger) yang sangat gemar berburu hadiah. “Ia hanya menulis artikel untuk lomba blog berhadiah. Di luar itu, ia tidak mau menulis. Bahkan ada yang menjadikan blog berhadiah sebagai mata pencaharian. Boleh dibilang Kompasianer seperti ini agak matre atau menulis hanya karena membutuhkan sesuatu,” cetusnya dengan tidak menyebut satu nama pun.

Belakangan, istilah Bounty Hunter menjadi sebutan bercandaan. Terutama, ketika sesama blogger bertemu pada satu event yang menyediakan banyak hadiah. “Eh, ketemu lagi. Bounty Hunter nih yeee,” begitu olok-olok yang sering saya dengar. Heheheee … ujungnya, saya malah jadi suka bercandaan nyebut Bounty Hunter, utamanya ke Oom Rushan Novaly, yang enggak pernah absen memenuhi undangan sebagai blogger dengan iming-iming hadiah juta-jutaan. Wkwkwkwkkk … maaf ya Oom.

Eh, by the way, kata Oom Rushan, hadiah-hadiah yang diperoleh dari lomba blog adalah semata bonus. Justru (proses) menulisnya itu yang merupakan pembelajaran tak pernah henti. Ciiieeee … pepatah yang ngeles, hahahaaaaa.

Akhirnya, candaan blogger Bounty Hunter pun merambah ke wall-wall kita di Facebook. Sampai pada suatu ketika, Kompasianer Kang Arul menurunkan tulisan berjudul Blogger Pesanan, Andakah Salah Satunya? Inti ulasannya, membuat pijakan rasional demi melegalkan kerja blogger pesanan atau blogger komersil. Pijakannya adalah, pengguna media sosial dapat berfungsi sekaligus sebagai konsumen yang mampu mempromosikan sebuah produk. Hal ini diistilahkan sebagai consumer-generated media (CGM). Begitu, ia mengutip Tuten (2008).

Praktik CGM, ada 5 kategori:

Satu, Consumer-generated multimedia (CGM2), yakni tipe konsumen (blogger) yang mengunggah pengalaman dan pendapat mereka tentang sebuah produk atau jasa dalam berbagai bentuk media.

Dua, Consumer-solicited media (CSM) merupakan tipe konsumen (blogger) yang diundang untuk berkontribusi terhadap sebuah konten terkait produk atau jasa.

Tiga, Incentivized consumer-generated media (iCGM). Tipe ini menunjukkan konsumen  (blogger) di media sosial yang diberikan insentif, dibayar atau diberikan produk dari perusahaan. Tapi, pemberian kompensasi ini dalam bentuk hadiah. Misalnya, konsumen di media sosial membuat tulisan tentang produk tertentu dalam rangka lomba penulisan yang dilaksanakan oleh perusahaan tertentu.

Empat, Consumer-fortified media (CFM) merupakan tipe konsumen (blogger) yang menyebarkan atau mendiskusikan sebuah konten.

Lima, Compesated consumer-generated media (cCGM). Tipe terakhir ini menjelaskan bagaimana konsumen (blogger) dibayar untuk tulisan atau publikasi mereka di media sosial oleh perusahaan.

Dari itu semua, kesimpulannya, kata Kang Arul, (sepertinya) sah-sah saja jika blogger masuk dalam kategori ‘blogger pesanan’. Karena, baik secara teori maupun praktis, ada simbiosis mutualisme antara blogger dan institusi dalam rangka pemasaran sebuah produk atau jasa. Ini juga membuktikan bahwa ada kekuatan blogger yang bisa termanfaatkan dalam rangka viral marketing.

Sampai disini, hampir semua pembaca sepakat dengan opini Kang Arul, termasuk menikmati tulisan berbobotnya yang (biasa) mengutip pakar luar negeri.

Jangan Sampai Anti Sosial di Media Sosial

Meskipun sepakat dengan opini Kang Arul yang melegalkan blogger pesanan, tak urung saya sempat khawatir juga. Khawatir kalau blogger lepas kendali sehingga bukannya menghasilkan karya-karya tulisan (dan reportase) idealis, kaya manfaat dan membawa perubahan lebih baik bagi masyarakat, tapi sebaliknya, hanya melulu melahirkan tulisan sesuai pesanan pemilik modal.

Bukan bermaksud melarang. Tapi saya percaya, siapapun pasti bakal miris, bila ada blogger yang misalnya, membiarkan (dan tak menyuarakan dalam tulisannya) soal tumpukan sampah di saluran air depan kantor walikotanya sendiri. Padahal, kantor walikota itu setiap hari ia lewati.

Bukannya menulis dan mengkritisi tumpukan sampah yang berpotensi mendatangkan banjir, tapi ia justru seolah berlaku anti-sosial di media sosial, dengan hanya menulis di blognya reportase maupun tulisan yang umumnya bersifat komersil, sesuai pesanan, atau mendatangkan materi. Tumpulnya daya kritis blogger dan sifat anti-sosial ini yang saya harap tidak akan sampai kejadian, sampai kapan juga.

Lebih dari itu, bila blogger pesanan makin menjamur tanpa kendali, saya khawatir, kredibilitas blogger akan sampai pada titik anti-klimaks, dimana masyarakat tidak akan percaya lagi pada segala hal yang ditulis blogger. Mengapa? Ya itu tadi, blogger gampang “dibelok-belokkan” alur dan tujuan tulisannya. Maklum, blogger pesanan yang terima (uang) bayaran, akan tak berdaya bila tulisannya diharuskan memenuhi kriteria penulisan yang ditetapkan. Atau, hanya untuk menyenangkan hati sang pemesan (pemodal).

Kegamangan hati saya ini, sempat saya share dalam perjumpaan dengan seorang blogger senior yang bukan lagi Bounty Hunter, tapi malah sudah Dolar Hunter.

Ya, awal September kemarin, dalam satu lawatan ke Yogyakarta, saya sempat bertemu blogger Murad Maulana. Saya menemuinya di salah satu gerai Gudeg Yu Djum di Jalan AM Sangaji. Heheheheeee … saya menyebut Gudeg Yu Djum, bukan berarti saya blogger yang dipesan ‘Yu Djum’ loch yaaaa.

Bang Murad baru saja meluncurkan bukunya yang berjudul Motivasi Go Blog, Semangat Menulis Blogger Pemburu Dolar. Kita berdua bicara banyak hal. Termasuk urusan nge-blog, dan apa yang ada didalam bukunya. Antara lain, seperti yang dimuat dalam bukunya, tentang dua jenis blogger berdasarkan tujuan, yaitu:

Pertama, blogger idealis yang mempunyai tujuan murni hanya sekadar menulis, misalnya sebagai catatan harian online (online diary). Dalam artian tulisannya mengalir saja sesuai keinginan dan apa yang dirasakannya. Jenis blogger ini selalu terus termotivasi untuk menulis karena tujuannya sebagai latihan memulis, atau bisa juga untuk berbagi informasi dan pengetahuan kepada publik.

Kedua, blogger bisnis yang menulis dengan tujuan ingin mendapatkan penghasilan dari aktivtas nge-blognya. Jadi, ada motif ekonomi dalam proses nge-blognya. Dahulu, blogger pencari uang ini disebut sebagai blogger matre. (“Matre”, istilah yang juga digunakan Muthiah Alhasany).

Dalam perbincangan, saya sempat bertanya kepadanya: “Kalau ada blogger pesanan dibayar ratusan ribu untuk menulis atau mengulas produk, katakanlah mobil keluaran tipe baru, yang dipamerkan dalam pameran mobil, boleh atau tidak?”

Dengan penuh percaya diri, Bang Murad menjawab, hal itu boleh, dan sah-sah saja dilakukan oleh blogger.

Pertanyaan berikutnya, membuat Bang Murad menjawab dengan gamang. Kepadanya saya tanyakan: “Kalau, ada blogger pesanan yang akan dibayar jutaan rupiah oleh pihak-pihak yang kemarin sempat bertemu pengusaha sekaligus calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump, lalu tulisan blogger itu dipesan agar intinya, diramu sedemikian rupa, bahwa pertemuan mereka dengan Donald Trump sebagai sesuatu yang lumrah, wajar dan tidak menyalahi aturan, bagaimana?”

Bang Murad menjawab, kalau message itu yang harus dimasukkan dalam tulisan, sebagai blogger ia akan menolak bayaran uang jutaan rupiah. Alasannya? Ia berkata, “Saya enggak mau mengingkari hati nurani”.

Makjleb! saya menyimak jawaban Bang Murad.

Blogger Spesialis Launching

Selang 2 hari sesudah tulisan Kang Arul menjadi Headline, muncul tulisan Kang Benny Rhamdani dengan judul, Terjebak Jadi Blogger Spesialis Launching. Dalam tulisannya, Kang Benny yang mantan jurnalis ini paham, bahwa dulu, kalau sampai mendapat sindiran jurnalis spesialis launching justru akan sangat menyesakkan dada.

“Belasan tahun silam ketika saya menjadi jurnalis, ada semacam sindiran kepada rekan-rekan yang selalu hadir di setiap acara launching. Pasalnya, beberapa di antara mereka hanya melulu menulis berita peluncuran. Sama sekali tidak pernah melihat mereka menulis berita peristiwa yang benar-benar hot ataupun pelaporan mendalam. Padahal mereka seorang jurnalis, bukan petugas humas atau markom. Bagi seorang jurnalis sejati, meliput acara launching mungkin merupakan pekerjaan paling mudah. Apalagi pihak penyelenggara kerap menyediakan press release yang siap pakai,” tulisnya.

Biarpun begitu, Kang Benny menyatakan tak bermaksud menyalahkan blogger yang reportase, liputan, dan tulisannya melulu soal launching. “Saya tidak ingin menyalahkan blogger yang kemudian menjadi spesialis launching. Karena saat ini, banyak sekali perusahaan yang menyadari kekuatan blogger di era kejayaan Internet ini. Sehingga blogger tersebut merasa cukup puas menjadi blogger spesialis launching. Tapi jangan merasa tersinggung, jika ada yang meragukan kemampuan menulis dan kreativitasnya, jika hanya menuliskan launching produk, apalagi semata menyalin dari press release,” tuturnya.

Kang Benny berpesan, Ketika di beberapa negara blogger kerap disebut Citizen Journalist, maka ada baiknya pula ilmu jurnalistik dipelajari dan dipraktikkan dengan sungguh-sungguh.

Boleh jadi, pesan Kang Benny selaras dengan apa yang saya utarakan sebelumnya, yaitu jangan sampai ada blogger yang enggan mengkritisi tumpukan sampah di saluran air depan kantor walikotanya sendiri, dan lebih menulis soal ulasan produk (dan yang bersifat komersil) di blognya. Atau, dengan kata lain, jangan sampai blogger kehilangan sense of social responsibility-nya, justru di dunia yang digelutinya, yaitu social media.

Berharap Ada Swakrama Blogger

Sebenarnya, tulisan yang masih satu nafas tema tentang Blogger Pesanan masih terus bersahutan. Seperti misalnya, tulisan Kompasianer Yoga P$ yang berjudul Wahai Blogger Bayaran, Tolong Perhatikan 3 Hal Ini.

Dan, ulasan Kompasianer Amy Zet yang bertajuk 5 Alasan “Brand” Mencari Blogger.

Juga, tulisan Kompasianer Ani Berta dengan judul Reportase ala Blogger.

Atau, baca juga tulisan lawas Mom Blogger and Editor Haya Aliya Zaki, yang judulnya #SundaySharing with Ani Berta, Meraih Pundi-Pundi dari Blog dan Media Sosial.

Tapi, ruang lingkup 4 tulisan terakhir cenderung berkutat pada bagaimana peran blogger dalam (kampanye) pemasaran produk, serta bagaimana seorang blogger melakukan reportase (dan menulis ulasan produk) yang baik.

Mengikuti polemik tentang blogger pesanan, saya berharap tidak berhenti pada pendapat yang (hanya) melegalkan “praktik pesan-memesan” saja. Musti ada yang mengingatkan, bahwa menjadi blogger pesanan bukan berarti bisa berbuat semaunya. Tetap ada tanggung-jawab dan pertaruhan kredibilitas. Saya percaya, kalau sekali saja blogger komersil menerima order tetapi dengan mengangkangi hati nurani, dan berseberangan dengan norma serta etika yang berlaku, niscaya blogger tak akan bisa “tidur nyenyak”. Meskipun uang bayaran untuk tulisan pesanan sudah nyemplung di rekening.

Saya berharap blogger punya semacam “kode etik”. Mungkin, namanya bukan “kode etik” supaya enggak banyak yang nyinyir dan menentang. Bolehlah, namanya “swakrama”, semacam aturan, etika, atau tata krama yang dibuat sendiri oleh sekumpulan blogger yang teruji dan cakap serta dianggap mampu mewakili (komunitas) blogger.

Kenapa perlu “swakrama”? Duh, rasanya enggak enak hati membaca status Facebook (Bang Haji) Kamsul Hasan, Ketua Dewan Kehormatan PWI DKI Jakarta, yang mengungkap cerita tentang adanya seorang jurnalis meliput ke sebuah undangan peresmian, lalu menerima amplop dari panitia. Ketika sang pimpinan media mengetahui ada jurnalisnya menerima amplop, kontan saja di-semprot, dan dianggap sudah melanggar Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), dan melanggar Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Adapun Pasal 6 itu berbunyi: Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsirannya? Begini:
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Tapi, apa jawab si wartawan penerima amplop itu kepada pimpinan medianya?

Ia malah mempersilakan sang pimpinan medianya, untuk memeriksa daftar hadir ke panitia. Alasannya, kehadiran si wartawan bukan atas nama profesinya sebagai wartawan, tapi ia mengisi daftar hadir sebagai blogger. “Sebagai blogger saya tidak harus tunduk pada Pasal 6 KEJ kan?” tanya si wartawan kepada pimpinan medianya.

Waahhh, kalau ketahuan menjadi wartawan amplop saja seorang insan pers bisa (merasa) kehilangan muka dan kehormatan, apa tidak sebaiknya, hati kecil blogger pun juga begitu?

Bujuk buneeeng, udah panjang amat yak aku nulisnya.

Udah dulu ah … !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun