Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Polemik 'Blogger Pesanan', Berharap Terbit Swakrama Nge-Blog

18 September 2015   10:35 Diperbarui: 19 September 2015   06:04 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan, ulasan Kompasianer Amy Zet yang bertajuk 5 Alasan “Brand” Mencari Blogger.

Juga, tulisan Kompasianer Ani Berta dengan judul Reportase ala Blogger.

Atau, baca juga tulisan lawas Mom Blogger and Editor Haya Aliya Zaki, yang judulnya #SundaySharing with Ani Berta, Meraih Pundi-Pundi dari Blog dan Media Sosial.

Tapi, ruang lingkup 4 tulisan terakhir cenderung berkutat pada bagaimana peran blogger dalam (kampanye) pemasaran produk, serta bagaimana seorang blogger melakukan reportase (dan menulis ulasan produk) yang baik.

Mengikuti polemik tentang blogger pesanan, saya berharap tidak berhenti pada pendapat yang (hanya) melegalkan “praktik pesan-memesan” saja. Musti ada yang mengingatkan, bahwa menjadi blogger pesanan bukan berarti bisa berbuat semaunya. Tetap ada tanggung-jawab dan pertaruhan kredibilitas. Saya percaya, kalau sekali saja blogger komersil menerima order tetapi dengan mengangkangi hati nurani, dan berseberangan dengan norma serta etika yang berlaku, niscaya blogger tak akan bisa “tidur nyenyak”. Meskipun uang bayaran untuk tulisan pesanan sudah nyemplung di rekening.

Saya berharap blogger punya semacam “kode etik”. Mungkin, namanya bukan “kode etik” supaya enggak banyak yang nyinyir dan menentang. Bolehlah, namanya “swakrama”, semacam aturan, etika, atau tata krama yang dibuat sendiri oleh sekumpulan blogger yang teruji dan cakap serta dianggap mampu mewakili (komunitas) blogger.

Kenapa perlu “swakrama”? Duh, rasanya enggak enak hati membaca status Facebook (Bang Haji) Kamsul Hasan, Ketua Dewan Kehormatan PWI DKI Jakarta, yang mengungkap cerita tentang adanya seorang jurnalis meliput ke sebuah undangan peresmian, lalu menerima amplop dari panitia. Ketika sang pimpinan media mengetahui ada jurnalisnya menerima amplop, kontan saja di-semprot, dan dianggap sudah melanggar Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), dan melanggar Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Adapun Pasal 6 itu berbunyi: Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsirannya? Begini:
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Tapi, apa jawab si wartawan penerima amplop itu kepada pimpinan medianya?

Ia malah mempersilakan sang pimpinan medianya, untuk memeriksa daftar hadir ke panitia. Alasannya, kehadiran si wartawan bukan atas nama profesinya sebagai wartawan, tapi ia mengisi daftar hadir sebagai blogger. “Sebagai blogger saya tidak harus tunduk pada Pasal 6 KEJ kan?” tanya si wartawan kepada pimpinan medianya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun