Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nggowes ke Malioboro Sambil Reportase ala Warga

12 September 2015   17:23 Diperbarui: 12 September 2015   17:25 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski ada fasilitas kolam renang dan gym di hotel tempat saya menginap, tapi saya pilih nyepeda. Menggowes sepeda di pagi hari, untuk keliling sepenggalan jalan di Kota Yogyakarta. Sejumlah sepeda terparkir di teras luar lobby hotel, bebas dipilih. Saya pun memilih si ‘Hitam’ Specialized yang hardtail–nya terkesan gagah. Lengkap dengan shifter, pengatur tinggi rendah putaran gear di kiri dan kanan setang.

Sigap, staf Concierge membopong sepeda dan melangkah menuruni sejumlah anak tangga hingga ke loby. “Sugeng enjang, monggo Pak, sepedanya,” ujarnya.

“Sugeng enjang …”

“Monggo …”

Kalimat-kalimat berbahasa Jawa memang dipergunakan sehari-hari di Hotel Tentrem ini. Terletak di Jalan AM Sangaji No.72 A, sekitar 3 kilometer dari Stasiun Tugu Yogyakarta, hotel ini adalah milik grup usaha Sido Muncul. Tak heran, begitu pertama kali memasuki lobby hotel, aroma rempah-rempah nan segar sudah menyergak hidung. Ada juga 2 bajaj biru berbahan bakar gas, yang di kaca depannya tertera tanda tangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Dua bajaj biru yang pernah ditumpangi Jokowi dan JK ketika mendaftarkan diri sebagai Capres dan Cawapres ke KPU pada 1 Juni 2014 ini berada di lobby Hotel Tentrem, Yogyakarta. (Foto: Gapey Sandy)

Joko Widodo, dalam tulisan tangannya---di kaca depan bajaj---yang ditulis pada 24 Agustus 2014 itu menulis doa singkat: “Tuhan, berkahilah Indonesia”. Demikian juga dengan tulisan tangan yang dicoretkan oleh JK. Asal tahu saja, kedua bajaj ini pernah digunakan oleh Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla ketika mendaftar sebagai Capres dan Cawapres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 1 Juni 2014. Lihat videonya disini.

Di sudut lobby hotel lainnya, ada satu panggung berukuran tak seberapa luas tempat menaruh seperangkat alat musik klenengan.

Yang menarik, di kamar hotel, para tamu senantiasa disuguhkan sejumlah produk unggulan Sido Muncul, mulai dari Kopi Jahe, Kopi Susu Jahe RG alias Rendah Gula, Jamu Tolak Angin, minuman Kunyit Asam, dan beberapa lainnya. Sayangnya, saya cari jamu pelangsing perut kok enggak ada ya? Hahahahaaaahuss!

Di meja kamar, ada kalender meja dengan foto-foto yang dimuat adalah sejumlah sisi kemegahan dan kemewahan hotel bintang lima ini. Ada satu halaman yang berisikan khusus mengenai kata ‘Tentrem’. Tertulis disitu: “Dalam kebudayaan Jawa, kata ‘Tentrem’ memiliki makna filosofis yang sangat dalam, menyiratkan suasana hati yang aman, damai dan sejahtera”.

Ada pula pesan penuh hakekat dari founder Sido Muncul, Ibu Rakhmat Sulistio: “Mintalah kepada Tuhan, cinta dan kasih. Karena cinta dan belas kasih menumbuhkan kedamaian. Dan kedamaian adalah kekayaan sejati”.

Di kaca depan bajaj biru. Tulisan tangan Jokowi yang berbunyi: Tuhan, Berkahilah Indonesia. (Foto: Gapey Sandy)

Yo wes, mari lanjut dengan nggowes-nya.

Selain berolahraga, tujuan saya nggowes adalah menuju Jalan Malioboro yang terkenal dengan para pedagang kaki lima penjaja aneka kerajinan khas Yogyakarta. Bukan .., bukan maksud saya untuk mborong atau belanja besar-besaran. Tapi, sekadar mencari kaos dengan desain gambar Vespa. Apalagi kalau sempat saya baca dari berita-berita online, Vespaholic di Yogyakarta sangat heboh juga. Pokoknya, salam scooterist. Scooterist Bersatu Dalam Damai!

Mulai nggowes dan keluar dari lobby hotel, hembusan semilir suasana pagi Yogyakarta yang ramah mulai saya rasakan. Lalu-lintas Kota Gudeg ini mulai menggeliat. Maklum, ini hari kerja, Selasa, 8 September 2015.

Pada perempatan pertama setelah Jalan AM Sangaji, saya berbelok ke kiri, menyusuri Jalan Jalan Prof DR Sardjito. Jalan agak menurun, saya menikmati naik sepeda dengan sedikit menggowes. Sekitar 500 meter kemudian, terdapat jembatan besi yang lumayan panjang. Jembatan ini melintasi Kali Code yang curam dan dalam. Inilah salah satu kali atau sungai besar yang membelah Kota Yogyakarta.

Nama Kali Code semakin terkenal di jagat media, lantaran menjadi salah satu jalur aliran lahar dingin yang dimuntahkan Gunung Merapi. Cerita mengenai Kali Code bisa dibaca disini.

Sepeda diparkir di tumpukan batu bata di dekat jembatan di Jalan DR Sardjito yang melintasi Kali Code. (Foto: Gapey Sandy)

Jembatan di Jalan DR Sardjito yang melintasi Kali Code. (Foto: Gapey Sandy)

Saya menyandarkan sepeda di dekat tumpukan batu bata yang tersusun rapi di dekat mulut jembatan. Dari atas jembatan, di Kampung Jetisharjo ini, saya mengulurkan pandangan mata jauh ke bawah, ke permukaan air Kali Code. Sepanjang bantaran Kali Code, ternyata padat juga dengan rumah-rumah. Meski terdapat tembok pembatas sungai, tapi di balik itu rumah-rumah warga berjajar.

Air Kali Code nampak masih mengalir, meskipun debitnya amat sangat berkurang, bahkan di sisi paling kiri dan kanan sudah nyaris kering. Akibatnya, dasar sungai nampak terlihat, sehingga air sepertinya berwarna kehitaman. Padahal, saya yakin itulah warna bebatuan dan pasir di dasar Kali Code.

Eh, ada yang menarik di sisi kanan Kali Code. Saya melihat tumpukan karung pasir berwarna putih yang dibuat berbentuk empat persegi panjang. Apa itu? Wowww … ternyata, itulah kolam ikan yang dibuat oleh warga. Kolam ikan ini dibuat dari tumpukan karung pasir, dan air yang tergenang di tengahnya diisi beraneka jens ikan air tawar. Rupanya, warga memanfaatkan air Kali Code yang menyusut debitnya dengan membuat kolam-kolam ikan dengan tumpukan pasir karung. Kegiatan ini tidak saja terlihat di sisi kanan jembatan Kali Code, tapi juga di sisi sebelah kiri jembatan.

Kawasan pemukiman yang berada di bawah jembatan dan di bantaran Kali Code. (Foto: Gapey Sandy)

Tumpukan karung pasir berwarna putih di bawah pohon adalah kolam ikan yang sengaja dibuat warga di Kali Code. (Foto: Gapey Sandy)

Masih di sisi kiri jembatan, persis di sebelah bawah tempat saya memarkir sepeda. Terdapat tulisan yang digantung di atas kayu panjang: ‘Kampung Ramah Anak’, Jetisharjo RW 01. Sayangnya, kalau mau reportase ke “kampung” itu, saya harus terlebih dulu menuruni banyak anak tangga yang curam, menuju bantaran Kali Code. Bimbang, karena itu artinya, saya harus meninggalkan sepeda di atas jembatan ... haddeeuuuhhhhh. Terpaksalah, saya urungkan hasrat melakukan reportase ke bawah, ke ‘Kampung Ramah Anak’ ini.

Masih dari atas jembatan Kali Code, saya juga teringat tulisan Kompasianer Ratih Purnamasari. Tulisan mahasiswi S2 UGM yang tinggal menanti prosesi wisuda pada Desember mendatang itu berjudul, Cara Sendangsono Lestarikan Air. Isinya, antara lain menukil kisah tentang bagaimana mendiang Romo Mangunwijaya menggerakkan komunitas pendidikan yang diantaranya juga berupaya merawat kelestarian Kali Code.

Dari jembatan Kali Code di Jalan Prof DR Sardjito, sepeda saya gowes lagi, menuju balik ke Jalan AM Sangaji. Lalu berbelok ke kiri, untuk langsung menuju ke arah Tugu Jogja yang ada di tengah-tengah perempatan antara Jalan AM Sangaji (arah dari Hotel Tentrem), Jalan Jenderal Sudirman (sisi kiri), Jalan Diponegoro (sisi kanan), dan Jalan Margo Utomo atau Jalan Pangeran Mangkubumi (yang lurus arah ke Malioboro).

Kolam-kolam ikan milik warga di Kali Code. (Foto: Harian Jogja)

Simbol dan Filosofi Tugu Jogja

Karena lalu-lintas tidak terlalu padat, saya asyik saja menggowes sepeda melintasi perempatan Tugu Jogja yang area simpangannya lumayan luas. Tidak ada pengemudi mobil atau motor yang selanang-selonong, apalagi sampai mencet-mencet klakson gara-gara mungkin terganggu dengan laju sepeda yang sengaja saya gowes santai.

Selepas Tugu Jogja, berarti saya sudah memasuki Jalan Margo Utomo atau dulunya adalah Jalan Pangeran Mangkubumi, dan dari sini sudah mulai nampak kawasan Malioboro. Pengembalian nama Jalan Margo Utomo yang menggantikan nama Jalan Pangeran Mangkubumi dilaksanakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, pada 20 Desember 2013 lalu. Selain itu, dua nama jalan lainnya juga dikembalikan, yaitu Jalan Ahmad Yani yang menjadi Jalan Margo Mulyo, lalu Jalan Trikora menjadi Jalan Pangurakan.  

Pengembalian nama jalan, kata Sri Sultan, bukan berarti tidak menghargai nama Jalan Trikora, Ahmad Yani dan Pangeran Mangkubumi. Tetapi pengembalian ini lebih mengacu kepada sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta, yang tidak terlepas dari hablumminannas (hubungan antar sesama manusia) dan hablumminallahi (hubungan dengan Tuhan). Sedangkan Pal Putih Tugu dan Beteng Krapyak merupakan bentuk simbolisasi hablumminallah dan hablumminannas itu.

Si Hitam bergaya dengan latarbelakang Tugu Jogja. (Foto: Gapey Sandy)

Pal Putih Tugu Jogja menyimbolkan vertikal ketuhanan, keimanan dan ketakwaan. (Foto: Gapey Sandy)

Arsitektur dan filosofi keberadaan Keraton dari Regol Kemagangan ke Selatan hingga Siti Hinggi di Alun-Alun Kidul (Selatan), semua bangunan yang ada tidak memakai cat berwarna, tapi hanya menggunakan politur. Ini menjadi simbol sebelum manusia lahir. Barulah setelah sampai di Magangan, akan terlihat warna-warni cat yang menjadi simbol bahwa disitu ada kelahiran manusia. “Menjadi kewajiban bagi seorang Sultan untuk menghantarkan manusia sampai ke Pal Putih Tugu, yang merupakan  simbolisasi vertikal ketuhanan, keimanan dan ketakwaan,” ujarnya seperti dikutip jogjakota.go.id.

Ditambahkan pula Sultan berkewajiban  untuk  menghantarkan siapapun juga di dalam mencapai keimanan  dan ketakwaan, melewati tantangan-tantangan duniawi dalam proses pendewasaan. Melewati area publik Alun Alun Utara seseorang akan lolos dalam keseimbangan yang ditandai dengan mengerti akan artinya “baik – buruk”, “siang – malam” dan sebagainya. Akan tetapi manusia itu belum memiliki keseimbangan dalam aspek nafsu dan nuraninya.

Maka, selanjutnya dia melewati Jalan Pangurakan yang dulu adalah Jalan Trikora. Jalan Pangurakan ini simbol kegelisahan remaja dalam mencapai keimanan dan ketakwaan, antara keseimbangan  nafsu dan spiritual nurani.

Sepeda hitam saya bergaya di Jalan Pangeran Mangkubumi yang kini sudah dikembalikan namanya menjadi Jalan Margo Utomo. (Foto: Gapey Sandy)

Dengan terus berjalan  ke utara keseimbangan itu  akan melalui jalan Margo Mulyo. Di Jalan   Margo Mulyo akan  terbangun keseimbangan lahir dan batin, karena seseorang akan mencapai kedewasaan. Bagi mereka yang  mendahulukan nafsu manusiawi, tak pernah akan  sampai ke Margo Utomo, apalagi sampai Pal Tugu. Dia akan berhenti di Pasar Beringharjo yang merupakan simbolisasi kepentingan-kepentingan duniawi.

Kalau manusia lolos dari  keseimbangan, dia akan melewati Margo Utomo. Melewati Margo Utomo berarti manusia akan mengerti apa arti hakekat hidup dan kehidupan untuk sesama manusia karena ciptaanNya. Sehingga manusia itu memiliki dua kewajiban yakni  Hamemayuhayuning Bawono dan hal yang paling utamanya adalah hanya untuk mengagungkan nama Tuhan. Seperti apa dia bicara hakekat didalam kehidupan, disitulah dia akan teruji melalui Margo Utomo. Keimanan dan ketakwaan yang sebenarnya disimbolkan tercapai di Pal Putih Tugu. Begitulah, simbol dan filosofi yang ada dari sisi Selatan Keraton sampai ke Pal Putih Tugu.

Oh ya, di Jalan Margo Utomo No. 40-46 ada kantor Harian Kedaulatan Rakyat. Koran yang didirikan oleh HM Samawi dan M Wonohito sejak 27 September 1945 ini, terlihat sedang sibuk mempersiapkan ulang tahunnya yang ke-70. Bergaya, si Hitam Specialized saya foto di muka kantor Koran yang punya semboyan ‘Suara Hati Nurani Rakyat’ ini. Ceklik!

Bergaya di depan Kantor Harian Kedaulatan Rakyat yang pada 20 September 2015 ini berulang tahun ke-70. (Foto: Gapey Sandy)

Cinta Bahasa Indonesia dari Sudut Malioboro

Dari Jalan Margo Utomo menuju ke Jalan Malioboro, di sisi kanan, saya harus melewati pintu area parkir dan akses jalan menuju Stasiun Tugu Yogyakarta. Salah seorang anggota rombongan dari turis domestik yang berseragam kaos merah dan tengah berfoto, sempat saya mintai tolong untuk mengambil foto dengan bergaya di atas sepeda dan berlatarbelakang replika lokomotif. Ceklik!

Usai berfoto, saya langsung menyeberangi rel kereta api. Bagi kendaraan yang tidak bermotor, seperti sepeda dan becak, diperbolehkan melintasi rel kereta api ini, untuk dapat langsung menuju ke Jalan Malioboro. Bagi pengendara sepeda motor yang mematuhi aturan, mereka akan turun dari sepeda motornya, dan melintasi rel kereta api ini dengan menuntun sepeda motornya. Sedangkan bagi mobil dan motor, harus belok ke kiri melewati Jalan Kleringan, lalu berputar di Jalan Abu Bakar Ali dan barulah masuk ke Jalan Malioboro.

Di Malioboro, ada jalur khusus untuk sepeda, becak dan delman. Sambil menggowes perlahan, saya susuri Kawasan Malioboro yang belum terlalu padat pagi itu. Mata saya mulai fokus untuk mencari-cari kaos dengan desain serba Vespa. Sayangnya, belum semua angkringan kaos belum mulai buka. Sedangkan satu-dua angkringan kaos, ketika saya tanya kaos dengan segala gambar dan ikon Vespa justru tak tersedia.

Narsis di pintu masuk parkir Stasiun Tugu Jogja. (Foto: Gapey Sandy)

Berfoto dengan sepeda hitam di Stasiun Tugu Jogja. (Foto: Gapey Sandy)

Tak terasa, sepeda saya gowes sampai separuh Jalan Malioboro. Dari sisi kanan jalur kendaraan tak bermotor, saya menyeberang jalan menuju ke Pusat Penerangan Pariwisata Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di sini, si Hitam Specialized sengaja saya parkir di pintu gerbang dengan ukiran kayu bercorak tradisonal dan berbentuk agak melengkung. Ceklik, si Hitam bergaya!

Di halaman Pusat Penerangan Pariwisata ini, saya melihat ada billboard berukuran cukup besar dengan warna yang sudah mulai kusam. Tapi, tulisannya masih terbaca meski sejumlah hurufnya sudah agak tersetip alias terhapus. Bunyinya: “Jadikanlah BAHASA INDONESIA sebagai alat komunikasi utama di tanah air kita”. Saya tertarik untuk memarkirkan sepeda pada arah billboard tersebut dan segera saya memotretnya.

Mengapa?

Bulan Agustus kemarin, ramai diberitakan bahwa Pemerintah sudah menghapus persyaratan wajib berbahasa Indonesia bagi para Tenaga Kerja Asing (TKA). Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA yang menggantikan Permenakertrans Nomor 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Peraturan baru ini menjadikan TKA kini dapat bekerja di Indonesia tanpa harus punya kemampuan berbahasa Indonesia.

Gayanya ketika memasuki Jalan Malioboro. (Foto: Gapey Sandy)

Berfoto dengan latarbelakang papan reklame yang mengingatkan pentingnya berbahasa Indonesia di Jalan Malioboro. (Foto: Gapey Sandy)

Sungguh ironis. Kisah panjang perjalanan sejarah bangsa demi menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan kesatuan, ternyata kini mulai tidak lagi ‘diminati’. Tidak sedikit mereka yang menyesalkan Permenaker tadi, termasuk sejumlah anggota dewan dan penyair bergenre Sastra Hijau, Naning Pranoto.

“Tidak pahamkah Pemerintah, akan efek negatif dari Permenaker tersebut? Bahasa Indonesia ini kita perjuangkan sebagai bahasa persatuan dan kesatuan dengan darah dan nyawa para pejuang. Bangsa India, pernah berperang antar sesama suku diantara mereka, juga karena alasan bahasa persatuannya. Apakah kita akan tercerai-berai dan berperang antar sesama suku karena masalah bahasa seperti di India?” tanya Naning Pranoto, penulis novel dan penyair hijau yang akrab disapa Mbok Noto ini dengan kesal.

Jadi, itulah alasan mengapa saya sengaja memotret si Hitam Specialized dengan latarbelakang papan reklame yang mengingatkan pentingnya ‘Berbahasa Indonesia’. Dari salah satu sudut di Jalan Malioboro, kecintaan akan Bahasa Indonesia, kesadaran untuk berbahasa Indonesia masih sedemikian tinggi. Jadi, rasanya sangat ironis, kalau Pemerintah justru membuka pintu lebar-lebar kepada para TKA, untuk bekerja di Indonesia dengan tanpa bekal kemampuan berbahasa Indonesia. Bahasa yang kita perjuangkan, bahasa persatuan, yang menyatukan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an negeri tercinta ini.

Si Hitam Specialized bergaya di dekat halte dan bus Trans Jogja. (Foto: Gapey Sandy)

Di angkringan kaos seberang Mal Malioboro, dipilih ... dipilih ... (Foto: Gapey Sandy)

Tak jauh dari papan reklame itu, ada halte Trans Jogja. Sejumlah penumpang turun naik di sini. Bus berwarna kuning dan hijau ini sempat mogok pada 6 September kemarin, lantaran para awaknya menuntut peningkatan upah yang layak. Dan, … heheheheeee … lihat tuh, si Hitam Especialized tampak berfoto dekat halte dan bus Trans Jogja yang melintas di Jalan Malioboro.

Fenomena Becak Motor

Setelah membeli beberapa kaos berdesain gambar serba Vespa di angkringan kaos, saya kembali menggowes sepeda meninggalkan Jalan Malioboro, menuju ke Jalan Margo Utomo.

Persis di pintu masuk dan keluar parkir Stasiun Tugu Jogja, saya tertarik untuk menghampiri seorang tukang becak, yang tengah duduk di atas jok becaknya, menunggu calon penumpang. Kami saling bertukar senyum, untuk kemudian terlibat perbincangan rada serius.

Apa sih yang dibicarakan?

Begini. Sepanjang perjalanan menuju ke kawasan Malioboro, saya melihat ada dua tipe becak. Satu, adalah becak ontel atau yang dikayuh/digenjot. Dan kedua, becak motor. Becak motor ini adalah becak yang dimodifikasi dengan mesin sepeda motor untuk menggerakkannya. Roda depan sepeda motor sengaja dibuang, dan diganti dengan ‘menempelkan’ becak dengan dua roda kiri kanannya. Jadi, becak bermotor atau Bentor, tetap punya tiga roda.

Pariyadi, pemilik becak bermotor yang mangkal di dekat Stasiun Tugu Jogja. (Foto: Gapey Sandy)

Modifikasi motor Honda menjadi becak bermotor atau Bentor milik Pariyadi. (Foto: Gapey Sandy)

Tukang becak yang saya ajak ngobrol di dekat Stasiun Tugu Jogja ini namanya Pariyadi. Umurnya, 49 tahun. Perawakan bapak berputra dua ini pendek dan bertubuh agak gemuk. Ia yang sudah 30 tahun mengayuh becak di Yogyakarta, sebenarnya adalah pendatang dari Wonosobo.

Becak yang ‘ditariknya’ adalah milik sendiri. Sudah sejak tiga tahun lalu, ia modifikasi sendiri, becak ontel miliknya menjadi Bentor, becak bermotor. “Kehadiran Bentor sudah sejak lima atau enam tahun lalu. Dulu, ketika jumlahnya masih sedikit, aparat kepolisian kerapkali melakukan razia dan penertiban. Maklum, Bentor ini menggunakan mesin sepeda motor. Jadi, kalau ada yang kena razia, biasanya langsung dikenakan pasal pelanggaran atas 5 peraturan. Mulai dari pelanggaran lalu-lintas, ketiadaan lampu dan kaca spion, perubahan bentuk fisik sepeda motor, tidak memiliki SIM, dan pajak kendaraan bermotor yang ‘mati’ atau tidak dibayarkan,” ungkap Pariyadi.

Saat ini, jumlah Bentor semakin banyak. Bahkan, kata Pariyadi, jumlahnya sudah lebih banyak kalau dibandingkan dengan becak ontel. “Dengan jumlah Bentor yang semakin banyak, aparat kepolisian tentu kesulitan bila harus melakukan razia seperti tahun-tahun sebelumnya, sewaktu jumlah Bentor masih sedikit. Malah, saat ini, DPRD DIY berusaha untuk menjadikan Bentor sebagai becak yang legal atau resmi beroperasi. Entahlah bagaimana aturan pengesahan itu nantinya, yang jelas untuk melarang Bentor beroperasi, itu sudah sulit. Jumlah Bentor sudah banyak, mungkin ribuan,” cetus Pariyadi.

Rompi Pariyadi bertuliskan Becak Malioboro Jogja yang menurutnya diberikan oleh pihak Keraton. (Foto: Gapey Sandy)

Si Hitam Specialized bergaya bareng Bentor di dekat Stasiun Tugu Jogja. (Foto: Gapey Sandy)

Saya sempat memperhatikan Bentor milik Pariyadi. Sepeda motor Honda miliknya sudah tak berbentuk lagi. Kecuali bahagian mesin di tengah hingga ke belakang. Terlihat, masih ada nomor polisi yang ditempelkan Pariyadi. “Tapi, pajaknya mati. Cuma, nomor polisinya tetap saya pasang,” tukasnya sembari mengatakan bahwa pernah ada yang menawar Bentornya seharga Rp 4 juta. “Tapi tidak saya jual”.

Soal harga Bentor memang nilainya jutaan. Mulai dari yang seharga Rp 1,5 juta sampai Rp 13 juta. Kebetulan, ketika saya sedang mewawancarai Pariyadi, Bentor yang disebut-sebut harganya senilai Rp 13 juta melintas. Wowwww … bentuknya memang keren banget! Warnanya hitam dengan sejumlah garis oranye. Ketiga bannya menggunakan ban motor, dengan knalpot yang mengeluarkan suara menderum seperti motor sport. “Itu Bentor yang ditawar seharga Rp 13 juta. Tapi oleh pemiliknya tidak dijual,” seru Pariyadi setengah berteriak.

Pariyadi menegaskan, selain menggunakan mesin kendaraan bermotor yang otomatis menggunakan bensin premium bersubsidi, Bentor dipersoalkan karena banyak yang mangkir membayar pajak kendaraan bermotornya.

Kartu Tanda Pengenal Pengemudi Bentor. Pengemudi Becak Bermotor Yogyakarta sudah memiliki wadah berhimpun sendiri. (Foto: Gapey Sandy)

Kalau kamu mau jadi pengemudi Bentor, baca dulu tata tertib pengemudi Bentor Yogyakarta. (Foto: Gapey Sandy)

“Perubahan bentuk fisik sepeda motor menjadi Bentor juga jelas-jelas melanggar aturan, sehingga perlu dikeluarkan peraturan khusus untuk melegalisasi operasional Bentor di seluruh Yogyakarta ini. Persoalan lain yang juga sempat terungkap adalah bergesernya ciri tradisional Yogyakarta yang sejak dulu terkenal dengan becak ontelnya. Kalau Bentor dilegalkan, konon katanya akan menghilangkan salah satu ciri khas Yogyakarta, yakni becak ontel,” ungkapnya.

Sementara itu, Muh Dalim, pemilik Bentor lainnya yang saya temui menyatakan, saat ini sudah terbentuk komunitas atau paguyuban pemilik Bentor. Paguyuban ini sudah memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).

Dari ribuan jumlah pemilik Bentor, yang bergabung dengan wadah ini adalah baru ratusan jumlahnya. “Anggota paguyuban ini punya kartu identitas, namanya Kartu Tanda Pengenal Pengemudi Becak Bermotor Yogyakarta. Disitu tertera nama, foto, wilayah mangkal, dan tahun berlaku kartu identitas tersebut yakni sejak 2014 hingga 2019. Kalau punya kartu identitas seperti ini, apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka komunitas dapat membantu mencarikan solusinya,” tutur bapak dengan dua anak ini.

Andong, Sepeda Ontel dan kini tambah lagi ikon Kota Yogya yaitu Bentor. (Foto: Gaper Sandy)

Mejeng di depan Kantor Harian Jogja di Jalan AM Sangaji. (Foto: Gapey Sandy)

Baik Pariyadi maupun Dalim, sebagai penarik Bentor, tentu tidak akan sudi apabila dianggap sebagai pemusnah salah satu ikon Yogyakarta yaitu becak ontel. Modernisasi dengan memanfaatkan teknologi mesin motor demi memberi kemudahan, kecepatan dan kenyamanan penumpang juga bukan sesuatu yang terlarang, asal dilakukan secara resmi dan sah. Pemda DIY beserta anggota dewan dan jajaran kepolisian setempat, tentu harus segera menentukan sikap, menelurkan payung hukum demi legalitas Bentor. Jangan sampai, terjadi pergesekan di lapangan, antara pengayuh becak ontel dengan becak bermotor.

Kelar wawancara dengan Pariyadi, penarik Bentor di dekat Stasiun Tugu Jogja, saya bergegas pamit seraya memuji rompi hijaunya yang bertuliskan ‘Becak Malioboro Yogyakarta’. “Rompi ini dibagikan oleh pihak keraton,” ujar Pariyadi bangga.

Menggowes kembali menuju Hotel Tentrem, si Hitam Specialized sempat berfoto dulu di dekat Pal Putih Tugu Jogja, dan bergaya juga di depan Kantor Harian Jogja di Jalan AM Sangaji No.41, Jetis, Yogyakarta.

Sampai kembali di tempat menginap, Hotel Tentrem, Jalan AM Sangaji, Yogyakarta. (Foto: Gapey Sandy)

Salam sehat dari ‘Kota Gudeg’. Jogja Ora Didol … !

ooo O ooo

Keterangan foto # 1:
Si Hitam, sepeda saya bergaya di seberang Mal Malioboro. (Foto: Gapey Sandy)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun