Begitu tinggi angka transaksi ritel dengan uang tunai di Indonesia, padahal uang tunai punya beberapa kelemahan, pertama, biaya yang besar. Bank Indonesia menyatakan, pengelolaan uang rupiah---meliputi perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, serta pemusnahan—memerlukan biaya yang sangat besar.
Kedua, kerepotan bertransaksi. Penyediaan uang kembalian, asal tahu saja, pihak pengelola jalan tol yakni PT Jasa Marga, membutuhkan uang kembalian sebesar Rp 2 miliar dalam satu hari; dan antrian yang lebih lama karena waktu transaksi di loket pembayaran yang terbilang lebih lama bila dibandingkan dengan menggunakan transaksi pembayaran tol secara non-tunai.
Ketiga, tidak tercatat. Transaksi pembayaran menggunakan uang tunai memberi peluang para pelaku tindakan kriminal, seperti pencucian uang, terorisme dan lainnya. Selain itu, perencanaan ekonomi menjadi kurang akurat karena ada banyak transaksi yang tidak tercatat atau shadow economy.
Dengan mempertimbangkan kelemahan uang tunai, belum lagi resiko keamanan, sekaligus untuk mengurangi gerak lihai para koruptor yang pernah kita dengar mereka gemar ‘Apel Malang’ (rupiah) dan ‘Apel Washington’ (dolar) secara tunai, rasanya penggunaan transaksi pembayaran secara non-tunai menjadi patut kita dukung terus pelaksanaannya. Tidak hanya dalam bentuk dukungan, tapi semaksimal mungkin kita juga melakukannya, karena ‘toh ... semua itu demi untuk kemudahan kita sendiri juga.
Hari ‘gini masih pake uang tunai? Hmmm … enggak banget deh!
Â
o o o O o o o
Â
Keterangan foto:
Foto#1: Tinggal melakukan tap in kartu e-money di Gerbang Tol Otomatis atau GTO, bayar tol jadi cepat, dan tidak repot karena uang kembalian. (Foto: Gapey Sandy)