Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Money

Transaksi Pembayaran Non-Tunai yang Membuai

14 Juni 2015   11:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:03 2868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana toko buku cukup ramai. Hampir setiap lajur rak buku ada saja pengunjung mematut buku. Tak mau ketinggalan, saya pun menjelajah. Hampir hafal dengan penataan di sini. Mulai dari barisan paling depan adalah buku New Arrival, agak ke dalam sedikit buku Best Seller, dan dekat dinding kaca sebelah pintu masuk untuk rak buku Komunikasi, berhadapan dengan Ekonomi. Biasanya, saya langsung menuju rak Komunikasi, dan lanjut ke rak buku favorit, Biografi.

Cukup banyak buku baru beredar. Beberapa menarik hati, selebihnya biasa saja. Setelah menentukan pilihan, saya menuju kasir. Lokasinya agak ke kanan dalam, dekat area penjualan piranti musik dan olahraga. Hanya sebentar dalam antrian, giliran saya membayar. Praktik “ritual”nya saya sudah hafal. Mulai dari menyodorkan Kartu Anggota Toko Buku, disusul Kartu ATM yang juga berfungsi sebagai Kartu Debet. No cash! Saya tidak menggunakan uang tunai untuk transaksi ini. Malah, saya berhak dapat poin belanja, yang akan terus terakumulasi dalam Kartu Anggota dengan chip yang terbenam.

Karena Kartu Anggota Toko Buku terkoneksi dengan salah satu layanan perbankan, kembali saya memanfaatkan transaksi non tunai berikutnya. Kepada petugas kasir, saya minta dilakukan top up atau penambahan dana ke Kartu Anggota. Jemari kasir lincah, cekatan ia menggesek Kartu ATM saya, dan mendebet serta mentransfer dana ke Kartu Anggota Toko Buku. Plung! Seketika itu Kartu Anggota Toko Buku saya seolah “tegar” kembali. Maklum, ada dana saldo tambahan yang baru saja saya transfer. Proses top up dengan swipe atau menggesek Kartu ATM disusul Kartu Anggota Toko Buku berlangsung singkat. Sungguh, sebuah bentuk kecanggihan teknologi yang sangat memudahkan. Dan, lagi-lagi, semua itu no cash!

Foto#2: Petugas kasir sedang memproses transaksi pembayaran secara non-tunai. (Foto: Gapey Sandy)

Selesai dari toko buku, perut mulai keroncongan, pertanda lapar. Semangkuk Mie Ramen dengan pedas level tiga, saya pikir menu yang tepat. Kursi dekat jendela selalu jadi favorit saya. Sambil menggulung Mie Ramen dengan sumpit, mata bisa menangkap pemandangan di luar resto. Kelihatan, ada seorang perempuan setengah baya yang nampak sedikit kesulitan memarkir-mundurkan mobil, para pekerja salon mobil yang semangat bekerja, dan awan ‘berombak’ yang melukis birunya langit. Selesai makan, ketika hendak membayar, saya melihat mesin EDC di meja kasir. EDC kependekan dari Electronic Data Capture dan merupakan mesin gesek kartu yang biasa digunakan untuk menerima transaksi pembayaran (purchase) dengan kartu kredit, kartu debet, dan kartu prepaid yang diletakkan di merchants, salah satunya di resto bergaya Jepang ini. Tanpa ba-bi-bu, tak perlu repot … saya bayar menu Mie Ramen dan segelas Lychee Tea pakai kartu debet. Praktis banget!

Setelah puas window shopping, sejurus kemudian saya bersegera pulang. Sebelum benar-benar meninggalkan tempat parkir, saya persiapkan dulu kartu prabayar untuk bayar parkir di loket parkir pintu keluar. Tinggal membuka jendela samping kendaraan, menjulurkan lengan, dan staf parkir yang mengenakan jilbab itu pun menerima sodoran kartu prabayar saya dengan senyum ramah-tamah. Tak perlu gesek, petugas cukup menempelkan kartu prabayar pada mesin EDC yang tersedia. Otomatis, saldo akan berkurang atau terpotong sesuai nilai nominal tarif parkir yang harus saya bayar. Buat saya, pembayaran non tunai di loket parkir sangat memudahkan sekali. Saya jadi tak perlu menyiapkan uang receh. Staf di loket parkir juga tak perlu menghitung uang kembalian yang membutuhkan waktu. Efisien, efektif, dan menghemat waktu. Antrian kendaraan yang juga ingin membayar parkir menjadi tidak terlalu lama menunggu.

Terkait masalah uang recehan kembalian bayar parkir ini, saya jadi teringat status dan foto yang diunggah salah seorang teman di Facebook. Ia menuliskan status cukup bikin geli. Katanya, Abis bayar parkiran. Kembalian duitnya jadi banyak bener. Ckckckckckkk. Melengkapi statusnya, Mia Oktarini, begitu nama teman saya itu, mengunggah foto yang bergambarkan lembaran uang kertas nominal dua ribuan yang banyak sekali, termasuk selembar uang seribuan dan lima ribuan. Hahahaaaaa … kocak juga membayangkan kegalauan hatinya gara-gara bayar parkiran pakai uang tunai, dan kembaliannya pun memakai uang tunai recehan yang jumlahnya bejibun banyak jumlahnya.

Foto#3: Status di Facebook yang mengeluhkan banyaknya uang kembalian. (Foto: Mia Oktarini)

Tak jauh dari mal belanja, melewati SPBU. Jarum indikator bahan bakar memang sudah menunjukkan posisi meninggalkan batas separuh. Mau tak mau, isi bensin dulu. Tak ada antrian di pom bensin yang mengusung semboyan ‘3S’, Senyum, Salam dan Sapa ini. “Isi penuh, ya Mbak,” instruksi saya kepada petugas SPBU yang menyelipkan rambut kuncir kudanya melalui sisi belakang topi. Kelar tutup tanki ditutup, saya menuju meja pembayaran bersama petugas. Ya, di SPBU ini, semua pelanggan memang diberi keleluasaan melakukan praktik pembayaran, bisa cash, atau menggunakan kartu debet maupun kredit. Saya, yang lebih senang menggunakan kartu debet, segera melakukan pembayaran. Tak menunggu lama, prosesnya selesai. Kertas slip pembayaran saya terima berikut pengembalian kartu debet. Yup, tak perlu repot menghitung uang kembalian. Tinggal pencet pin, dan langsung tancap gas lagi.

Demi menghindari kemacetan akibat dampak pembangunan jalur Mass Rapid Transportation (MRT), saya memutuskan untuk masuk jalan tol. Pikir saya, meski perjalanan agak melambung, tapi bebas dari ekses kemacetan yang melelahkan dan melatih kesabaran. Begitu masuk tol, loket pembayaran segera menanti. Uupppsss … rupanya untuk bayar tol, kendaraan yang antri cukup banyak juga. Untung saya punya e-money, yang salah satu fungsinya bisa digunakan untuk bayar tol. Berbekal e-money, saya ambil jalur loket tol paling kanan. Jalur khusus para pengguna tol yang melakukan pembayaran secara non-tunai, atau menggunakan e-money. Istilahnya GTO atau Gerbang Tol Otomatis. Nah, terasa sekali kegunaannya, di saat kendaraan lain antri membayar secara tunai, saya tinggal tap in kartu e-money yang juga berfungsi sebagai e-Toll Card di loket pembayaran, kemudian kendaraan melenggang lancar. Tuh, betapa membayar tol begitu cepat lagi praktis. Terima kasih, e-money.

Memang, seperti dimuat Kontan, e-Toll Card milik Bank Mandiri misalnya, mampu memangkas antrian di pintu tol menjadi lebih lancar. Tak berlebihan bila David Wijayanto selaku Sekretaris Perusahaan PT Jasa Marga Tbk mengklaim, e-Toll Card mempersingkat waktu transaksi pembayaran tol, dari 8 detik – 10 detik per kendaraan, menjadi hanya 2 detik – 3 detik per kendaraan. Amazing!

Foto#4: Tinggal pilih, repot dengan uang tunai untuk membayar tol, atau cukup dengan tap in di loket pembayaran GTO menggunakan kartu e-money. (Foto: Gapey Sandy)

Terkait transaksi pembayaran non-tunai yang diselenggarakan PT Jasa Marga Tbk, sebenarnya layanan ini boleh dibilang merupakan pionirnya. Operator jalan tol ini menyediakan GTO yang bisa diakses dengan e-Toll Card keluaran Bank Mandiri sejak tahun 2009. Kerjasama keduanya akan terus berlangsung hingga tahun 2018. Hitung punya hitung, ada 3,7 juta kendaraan yang melakukan transaksi di tol Jasa Marga. Tapi, yang bertransaksi dengan e-Toll Card baru sekitar 10 persennya saja. Meskipun, pada beberapa pintu tol yang memiliki akses langsung dengan kawasan perumahan elite seperti di Pantai Indah Kapuk, Pondok Ranji, dan Bintaro, prosentasenya sudah mencapai 20 persen dari total transaksi.

Sebelum sampai rumah, teringat harus beli shampoo, sabun mandi cair, sabun cuci, pelembut dan pewangi baju (setrika), karbol wangi untuk mengepel lantai, obat nyamuk semprot, tisu gulung kamar mandi, selai roti untuk sarapan pagi dan lainnya. Pokoknya, separuh dari belanja bulanan, heheheee …. Transaksi saya bayar tanpa sepeser pun uang cash. Semuanya non-tunai, setelah terlebih dahulu memperlihatkan kartu anggota swalayan. Lumayan, belanja sebegitu banyak jenis, poin belanja saya peroleh secara otomatis. Tinggal sodorkan kartu kredit, gesek, swipe … tekan nomor pin dan, selesai! Ya, meskipun kewajiban penggunaan pin untuk kartu kredit diundur menjadi tahun 2020, namun credit card saya sudah “terpagari dengan aman” menggunakan enam digit nomor pin, tidak lagi sekadar membubuhkan tanda-tangan.

Sampai di rumah, terbaca sebuah pesan pendek di gawai. Sang pengirim pesan menulis, honor penulisan untuk penerbitan buletin sebuah perpustakaan telah terkirim ke nomor rekening saya. “Silakan cek ya Pak,” tertulis pada ujung pesan. Ahhaaaa … lagi-lagi non-tunai pikir saya sembari menyeringaikan senyum. Setelah melakukan pengecekan melalui aplikasi e-banking melalui gawai, ternyata dana transfer itu memang sudah (berhasil) masuk.

Foto#5: Pembayaran di swalayan menggunakan Kompasiana Member Card yang tertanam chip Flazz BCA sehingga berfungsi pula sebagai Kartu Debet. (Foto: Gapey Sandy)

Foto#6: Dengan bertransaksi secara non-tunai, proses pembayaran menjadi cepat sehingga tidak menimbulkan antrian pelanggan yang panjang. (Foto: Gapey Sandy)

Selanjutnya, bukan bermaksud riya atau sejenisnya. Tapi, tak ada salahnya bukan apabila saya menyisihkan sebagian rezeki yang sudah diperoleh, kepada yang berhak menerimanya. Kembali, saya melakukan transaksi non-tunai untuk men-transfer dana ke rekening penerima infaq yang dituju. “Semoga bermanfaat”, begitu inti tulisan pendek saya pada isian ‘Kolom Berita’.

Penggunaan gawai yang sangat memudahkan untuk bertransaksi secara non-tunai (dan online) memang sudah bukan hal baru bagi saya. Dan ternyata memang, seperti dimuat Kompas edisi 13 Oktober 2014 yang memuat survei Nielsen, Indonesia menempati posisi pamuncak secara global sebagai negara yang masyarakatnya paling sering mempergunakan gawai atau telepon seluler untuk berbelanja online. Wow, hebat ya! Indonesia tidak sendiri, karena kemudian ada juga negara-negara lain seperti Filipina, Vietnam dan Thailand.

Oh ya, untuk kegiatan yang paling sering dilakukan masyarakat Indonesia berhubungan dengan belanja online ini adalah traveling, dimana separuh dari konsumen berencana membeli tiket pesawat secara online (55%), memesan kamar hotel dan biro perjalanan (46%). Sementara empat dari sepuluh konsumen atau 40%, berencana untuk membeli buku elektronik atau e-book, sedangkan nyaris mendekati angka sama (37%) hendak membeli pakaian, sepatu dan aksesoris via online, sedangkan 34% lagi bersiap membeli tiket untuk pergelaran sebuah acara secara online.

Foto#8: Kelompok musik asal Amerika Serikat yang beraliran underground, Maroon 5, segera melakukan konser di Indonesia. (Foto: mavemagz.com)

Foto#9: Tiket yang dibeli secara Non-Tunai dan Online untuk konser Maroon 5. Kelas Festival, cukuplah. (Foto: Gapey Sandy)

Untuk urusan yang terakhir misalnya, beberapa hari kemarin, saya sudah melakukan pembelian secara online tiket konser kelompok musik idola, Maroon 5, yang akan berlangsung 23 September 2015, di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD City, Serpong, Tangerang Selatan. Hayooo … siapa yang enggak kenal Maroon 5? Kelompok musik beraliran underground yang berdiri pada 1997 di California, Amerika Serikat, dengan salah satu pentolannya adalah Adam Levine. Lagu-lagu hits mereka tentu sudah sangat dihafal, mulai dari Animals, Sugar, Moves Like Jagger, Payphone, She Will Be Loved, dan masih banyak lagi. … And when the daylight comes I'll have to go / But tonight I'm gonna hold you so close / Cause in the daylight we'll be on our own / But tonight I need to hold you so close … (reff lagu Daylight)

* * * * *

Segala kemudahan yang saya alami dengan bertransaksi secara non-tunai seperti beberapa contoh di atas, merupakan ‘buah manis’ dari kebijakan GNNT, Gerakan Nasional Non-Tunai. Sebuah gerakan cemerlang, inovatif dan sesuai tuntutan perkembangan zaman, yang dicanangkan pada 14 Agustus 2014. Maksud dari GNNT ini adalah, untuk mendorong masyarakat menggunakan sistem pembayaran dan instrumen pembayaran non-tunai dalam melakukan transaksi pembayaran.

Hampir satu tahun perjalanannya, GNNT telah memberikan dampak yang cukup memuaskan dalam konteks sistem pembayaran. Sebagai bagian dari masyarakat, saya termasuk yang merasakan kepuasan tersebut. Sejak pencanangan, manfaat penggunaan transaksi non-tunai memang disebut-sebut memiliki banyak manfaat. Bank Indonesia (BI) merilis enam manfaat tersebut:

Pertama, praktis. Hal ini menjadi logis karena masyarakat tidak perlu membawa banyak uang tunai. Dampaknya sudah tentu higienis, karena masyarakat tidak perlu banyak bersentuhan dengan uang cash, utamanya ketika menghitung sewaktu melakukan pembayaran, dan pada saat menerima uang tunai kembalian.

Kedua, akses lebih mudah, yang berdampak pada meningkatnya akses masyarakat ke dalam sistem pembayaran.

Ketiga, transparansi transaksi. Tanpa uang cash, sistem pembayaran niscaya menjadi lebih terkendali sehingga dapat membantu usaha pencegahan dan identifikasi kejahatan kriminal.

Keempat, efisiensi rupiah. Sudah tentu, dengan meminimalkan penggunaan uang tunai, maka efeknya mampu membuat para pemangku kebijakan melakukan penghematan dalam hal biaya pengelolaan uang rupiah dan cash handling.

Kelima, less friction economy. Inilah satu wujud kemanfaatan GNNT yang dipercaya mampu meningkatkan sirkulasi uang dalam perekonomian atau velocity of money.

Keenam, perencanaan ekonomi lebih akurat. Setiap melakukan transaksi pembayaran menggunakan sistem pembayaran non-tunai, tentu segala sesuatunya menjadi lebih bersahabat dengan pencatatan dan pendataan. Transaksi tercatat secara lebih lengkap seperti ini, tentu saja memberi dampak siginifikan terutama menjadikan perencanaan perekonomian lebih akurat. Kontrol yang baik atas perencanaan sistem keuangan, diantaranya tentu dapat membuahkan transparansi dan menekan tingkat tingkat penggunaan uang secara ilegal atau uang palsu, praktik korupsi dan sebagainya.  

Foto#10: Kelebihan lain memiliki ‘Uang Plastik’ adalah memperoleh diskon pada merchant yang ditunjuk. Para pemilik kartu Kompasiana yang tertanam chip Flazz BCA berhak memperoleh diskon menginap di Wisma Kompas Gramedia, Pacet-Cipanas, Cianjur, Jawa Barat. (Foto: Gapey Sandy)

Foto#11: Diskon menginap di merchant hotel berkat ‘Uang Plastik’ Kompasiana. (Foto: Gapey Sandy)

Selain itu, ada juga yang menyebutkan bahwa transaksi pembayaran non-tunai membawa manfaat pada dukungan terhadap mewujudkan kampanye Go Green. Alasannya, tingkat konsumsi penggunaan kertas dalam pencetakan uang akan berkurang, sehingga otomatis mengurangi eksploitasi penebangan hutan yang memanfaatkan kayu untuk diolah menjadi pulp sebagai bahan baku pembuatan kertas. Manfaat transaksi non-tunai juga diyakini mampu membawa dampak positif pada aktivitas menggiatkan potensi pasar.

Dengan segala manfaat yang ditawarkan, transaksi pembayaran non-tunai akhirnya melahirkan banyak peluang bisnis, bahkan sebagian besar sudah diejawantahkan, dan saya termasuk yang mencicipinya secara suka cita.

Peluang-peluang transaksi non-tunai tersebut adalah satu, P to P payment atau Person to Person Payment yang artinya pembayaran antar perorangan. Didalamnya termasuk, transfer dana antar perorangan menggunakan sistem pembayaran non-tunai seperti Real Time Gross Settlement (RTGS), Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dan instrument non-tunai lainnya seperti Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), dan uang elektronik atau e-money.

Dua, P to B Payment atau Person to Business Payment yang merupakan pembayaran dari perorangan kepada bisnis atau perusahaan. Misalnya, seperti yang sering saya lakukan dengan melakukan pembayaran di berbagai merchant, pembelian tiket pesawat, commuter line, TransJakarta, Parkir, online shopping dan sebagainya.

Tiga, B to B Payment yaitu Business to Business Payment atau pembayaran antar perusahaan. Contohnya adalah pembelian barang atau jasa antar perusahaan, transaksi PUAB, settlement kliring APMK.

Empat, G to P Payment alias Government to Person Payment yakni pembayaran dari pemerintah kepada perorangan, seperti pembayaran Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH) dan lainnya.

Lima, P to G Payment atau Person to Government Payment yaitu pembayaran dari perorangan kepada pemerintah. Misalnya, pembayaran pajak, pembuatan paspor dan sebagainya.

Foto#12: Seorang staf kasir tengah memproses pembayaran secara non-tunai. (Foto: Gapey Sandy)

Meski memiliki banyak manfaat dan peluang-peluang transaksi non-tunai yang saling menguntungkan, tapi ternyata di lapangan, transaksi pembayaran menggunakan uang tunai di Indonesia masih sangat tinggi. Prosentasenya, bahkan berada di atas sejumlah negara jiran. Begini faktanya. Menurut data dari Bank Indonesia, angka Pertumbuhan Konsumsi (YoY) Indonesia dari triwulan IV 2013 hingga triwulan IV 2014 mengalami kenaikan sebesar 9 persen. Atau, dari Rp 1.399 triliun menjadi Rp 1.531 triliun. Sedangkan Nominal Konsumsi Rumah Tangga mencapai 57 persen, atau mencapai Rp 1.531 triliun dari total PDB yang mencapai Rp 2.690 triliun (harga berlaku). Meski mengalami kenaikan, data pada 2013 mencatat, prosentase transaksi ritel dengan uang tunai di Indonesia paling tinggi yakni sebesar 99.4 persen bila dibandingkan dengan negara-negara peer ASEAN lainnya, seperti Thailand (97.2%), Malaysia (92.3%), dan Singapura (55.5%).

Nah, terkait dengan apa yang dilakukan negara-negara tetangga menggencarkan penggunaan transaksi pembayaran secara non-tunai, saya sempat menyaksikan dan merasakan bagaimana Pemerintah Thailand melakukannya. Persisnya, pertengahan tahun kemarin. Ketika itu, saya bersama keluarga berbelanja di kawasan Jatujak (Chatucak), sebuah pusat bisnis di Bangkok, yang menjadi favorit para turis. Pada saat jam makan siang, pemandu wisata mengarahkan kami untuk memasuki Mall Jatujak Market. Tujuannya, langsung menuju ke foodcourt.

Sampai di foodcourt---yang siang itu lumayan padat pengunjung---, bukannya langsung memesan makanan dan minuman, kami justru dipersilakan untuk melakukan antrian terlebih dahulu di loket keuangan. Ternyata, seluruh pengunjung, tanpa terkecuali, diwajbkan untuk menukarkan uang tunainya dengan satu kartu yang diberi nama CASH CARD. Nilai nominal CASH CARD bisa berapa saja, tapi tergantung dari besaran nilai uang tunai yang kita serahkan. Barulah dengan CASH CARD ini pengunjung dapat memesan apa saja makanan dan minuman yang menjadi selera pilihan pada banyak lapak pedagang yang berjajar rapi. Saya sendiri memilih untuk memesan menu Tom Yum seafood yang menjadi ikon kuliner Negeri Gajah Putih ini. Cita rasanya? Wow, memang sangat nampol!

Foto#13: Layanan penukaran uang tunai menjadi CASH CARD di foodcourt Jatujak (Chatucak) Market, Bangkok, Thailand. (Foto: Gapey Sandy)

Foto#14: Antrian pengunjung menukarkan uang tunai menjadi CASH CARD di loket kasir di foodcourt Jatujak (Chatucak) Market, Bangkok, Thailand. (Foto: Gapey Sandy)

Bila pengunjung selesai bersantap siang, CASH CARD dapat diserahkan kembali ke loket keuangan. Adapun sisa nominal yang masih ada didalam saldo, akan dikembalikan utuh oleh petugas. Ya, itu baru satu contoh, bagaimana Pemerintah Thailand gencar memasyarakatkan penggunaan ‘uang plastik’ atau non-tunai.

Sebenarnya metode penggunaan cash card juga sudah semakin umum diterapkan di Indonesia. Beberapa kali, Kompasianer Penggila Kuliner yakni komunitas antar member blog Kompasiana yang sama-sama berbasiskan penggemar kuliner, melakukan kegiatan kunjungan peliputan bareng ke sejumlah lokasi bazaar. Di lapangan, perlakuan kepada pengunjung pun sama, yakni harus lebih dulu menukarkan uang tunai untuk digantikan dengan wujud cash card.

Sayangnya, belum semua foodcourt di Jakarta misalnya, menerapkan metode transaksi pembayaran yang non-tunai seperti ini. Padahal, kalau bisa diterapkan, tentu akan membawa dampak positif yang sangat baik, karena memang transaksi pembayaran secara non-tunai---seperti sudah dijelaskan di awal---sangat banyak keunggulannya.

Foto#15: Kartu belanja yang dibuat khusus untuk metode pembayaran non-tunai pada Festival Kuliner Bekasi, baru-baru ini. Sebelum makan, pengunjung wajib melakukan pembayaran (pengisian saldo) terlebih dahulu. (Foto: Rahab Ganendra-KPK)

Foto#16: Menyantap es campur dengan metode transaksi menggunakan kartu pembayaran non-tunai di Festival Kuliner Bekasi. (Foto: Rahab Ganendra-KPK)

Belum lagi, transaksi pembayaran secara tunai, menurut Bank Indonesia, setidaknya punya tiga kelemahan.

Kelemahan Uang Tunai

Begitu tinggi angka transaksi ritel dengan uang tunai di Indonesia, padahal uang tunai punya beberapa kelemahan, pertama, biaya yang besar. Bank Indonesia menyatakan, pengelolaan uang rupiah---meliputi perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, serta pemusnahan—memerlukan biaya yang sangat besar.

Kedua, kerepotan bertransaksi. Penyediaan uang kembalian, asal tahu saja, pihak pengelola jalan tol yakni PT Jasa Marga, membutuhkan uang kembalian sebesar Rp 2 miliar dalam satu hari; dan antrian yang lebih lama karena waktu transaksi di loket pembayaran yang terbilang lebih lama bila dibandingkan dengan menggunakan transaksi pembayaran tol secara non-tunai.

Ketiga, tidak tercatat. Transaksi pembayaran menggunakan uang tunai memberi peluang para pelaku tindakan kriminal, seperti pencucian uang, terorisme dan lainnya. Selain itu, perencanaan ekonomi menjadi kurang akurat karena ada banyak transaksi yang tidak tercatat atau shadow economy.

Foto#17: Hari ‘gini pake uang tunai? Enggak lah yauw ... (Foto: Gapey Sandy)

Dengan mempertimbangkan kelemahan uang tunai, belum lagi resiko keamanan, sekaligus untuk mengurangi gerak lihai para koruptor yang pernah kita dengar mereka gemar ‘Apel Malang’ (rupiah) dan ‘Apel Washington’ (dolar) secara tunai, rasanya penggunaan transaksi pembayaran secara non-tunai menjadi patut kita dukung terus pelaksanaannya. Tidak hanya dalam bentuk dukungan, tapi semaksimal mungkin kita juga melakukannya, karena ‘toh ... semua itu demi untuk kemudahan kita sendiri juga.

Hari ‘gini masih pake uang tunai? Hmmm … enggak banget deh!

 

o o o O o o o

 

Keterangan foto:

Foto#1: Tinggal melakukan tap in kartu e-money di Gerbang Tol Otomatis atau GTO, bayar tol jadi cepat, dan tidak repot karena uang kembalian. (Foto: Gapey Sandy)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun