Setelah lulus SMA, Masinton tidak bisa langsung mengenyam bangku kuliah karena keterbatasan ekonomi orang tuanya. Keadaan orang tuanya yang tidak mampu melanjutkan Masinton kuliah di perguruan tinggi tidak membuatnya kecil hati, karena dia tahu dan sadar diri dengan kondisi perekonomian orang tuanya. Kurang lebih selama dua tahun Masinton bekerja menjadi buruh harian lepas di pelabuhan Belawan, Medan.
Di saat ada lowongan pekerjaan buruh pabrik baja di Medan, Masinton ikut melamar. Menjadi buruh pabrik dia geluti selama hampir setahun, akhirnya diberhentikan karena memprotes perusahaan yang memperlakukan buruh dengan semena-mena.
Setelah berhenti bekerja sebagai buruh di pabrik, Masinton pindah ke Jakarta. Di kota ini, Masinton bekerja sambil melanjutkan cita-citanya bisa kuliah di perguruan tinggi. Di sela-sela kesibukannya bekerja dan kuliah, Masinton selalu menyisihkan waktunya dalam aktivitas organisasi dan pergerakan mahasiswa.
“Sejak kecil saya diajarkan prihatin, peduli dan toleran terhadap perbedaan, karenanya bagi saya politik adalah perjuangan dan pengabdian sepenuh-penuhnya untuk rakyat, memperjuangkan perbedaan dan membebaskan yang lemah,” tegas Masinton sebagaimana tertulis di situs tersebut.
Sayang, belum sempat dua tahun menjadi anggota DPR, Masinton lupa dengan kata-katanya “membebaskan yang lemah.” Ah, atau dia berasumsi perempuan seperti Dita adalah wanita perkasa, sehingga pantas diperlakukan layaknya preman, sampai-sampai Megawati pun lupa membela kaumnya dan mengeluarkan maklumat Masinton harus dibela.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H