Mohon tunggu...
Budiman Gandewa
Budiman Gandewa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Silent Reader

Bermukim di Pulau Dewata dan jauh dari anak Mertua. Hiks.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RoseRTC] September Rain

16 September 2016   18:02 Diperbarui: 16 September 2016   23:32 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak bertemu dengan Hindun di warungnya Bu Joni. Penampilan Bangor jadi berubah. Celana jeans belel yang sobek di bagian lututnya sudah nggak pernah dipakai lagi. Sepatu butut yang biasa menemaninya jalan kemana-mana mendadak pensiun dini dan langsung masuk ke dalam kardus bekas mie instant.

Padahal siapa yang tidak kenal dengan pemuda ini. Saban hari nongkrongnya di depan gang. Begadang main gitar sambil mabok sudah jadi bagian kesehariannya. Bangor merupakan potret pemuda yang Madesu alias Masa Depan Suram.

Tapi sejak bertemu Hindun, gadis manis itu. Bangor mendadak berubah 180 derajat. Padahal semua juga tahu, Hindun anak Pak Haji Sadeli, seorang juragan sapi di kampungnya. Sosok gadis idaman yang digandrungi oleh pemuda di kampungnya.

"Bang Arya, kan?" Sapa gadis itu di suatu sore. Saat Bangor sedang asik bermain gitar di depan warungnya Bu Joni.

"Siapa, ya?" Tanya Bangor waktu itu.

"Saya Hindun. Masak abang lupa!" Jawab gadis itu dengan seulas senyumnya.

Sekali lagi Bangor mengernyitkan keningnya. "Oh, Hindun anak Pak Haji, ya! Wah baru inget saya"

Bangor mulai mengingat sosok Hindun yang berdiri di hadapannya. Teman mainnya waktu kecil dan sekarang sudah menjadi seorang gadis cantik.

"Kok Hindun baru kelihatan?"

"Iya bang. Hindun baru aja lulus SMA di kota. Sekarang pulang dulu liburan sambil nengokin  Babeh. Abang enggak kerja?"

Bangor menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatel "Abang kerjanya ngeronda di kampung" Jawabnya malu-malu.

Sekali lagi gadis itu tersenyum "Masak kerjanya cuma ngeronda sih, bang! Harusnya abang cari kerjaan lain juga. Abang kan nggak mungkin terus-terusan hidup sendiri. Suatu saat abang akan menikah. Punya istri dan punya anak. Cukup ngasih makannya kalau cuma kerja ngeronda?"

Sejak saat itulah Bangor jadi dekat dengan Hindun. Pergi kemana-mana Bangor yang memboncengnya naik motor. Pulang dari Sholat maghrib, serta Isya' Bangor juga yang menemani Hindun pulang. Setiap malam minggu, Bangor kerap bertandang ke rumahnya Hindun. Ngobrol, main gitar, serta nyanyi bareng. Hindun sangat suka kalau dengar Bangor lagi nyanyi.

"Suara abang bagus deh!" Puji Hindun suatu kali, saat mereka sedang duduk di teras rumahnya.

"Iya. Lebih bagus lagi kalo suara elu di pake buat ngaji" Tiba-tiba Pak Haji keluar dari dalam rumah sambil nyeletuk dan ikut duduk di bangku teras.

Bangor buru-buru bangkit dari duduknya. Sebuah sikap menghargai orang, yang diajarkan Hindun kepadanya. Kemudian duduk kembali setelah Pak Haji duduk bersandar di bangkunya.

"Idih babeh, main nimbrung aja" Protes Hindun sambil mencubit pipi orang tua tersebut.

"Sejak kapan elu nggak jadi bangor lagi?" Tanya Pak Haji kemudian.

Pemuda itu cuma bisa menggaruk kepalanya. Pak Haji satu-satunya orang yang mengenal dirinya dari kecil. Dari Pak Haji lah pemuda itu mengetahui riwayat kedua orang tuanya. Pak Haji juga yang dulu mengajarinya mengaji bareng Hindun, ketika masih bocah ingusan.

"Bang Arya sekarang udah berubah beh. Sudah enggak Bangor lagi. Malah Hindun ama Bang Arya mau bikin Ikatan Pemuda Masjid. Bentar lagi juga, Hindun akan buka TPA. Taman Pengajian Alqur'an buat anak-anak. Bener kan, bang!" Hindun memberikan penjelasan kepada Babehnya.

Seperti biasa sepulang dari masjid, Bangor sudah terlihat berdua di teras rumahnya Pak Haji. Bercanda dan bernyanyi seperti yang sudah-sudah. Tembang-tembang cinta meluncur dari bibirnya Bangor. Pemuda itu telah berubah sekarang. Hindun adalah Peri yang diutus untuk itu.

Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Di pertengahan September yang basah. Tampias hujan yang dihembus angin sampai juga di teras rumah tersebut. Bangor buru-buru pindah dari tempatnya berada.  Persis di sebelah Hindun, pemuda itu mendaratkan duduknya.

Suara guntur yang menggelegar di sertai kilatan cahaya mengejutkan kedua insan tersebut. Hindun berteriak kaget. Kedua tangan gadis itu mencengkram bahu Bangor yang dibalut dengan jaket kulitnya. Sambil menyembunyikan wajahnya di belakang punggung pemuda itu.

Dengan sangat hati-hati pemuda tersebut meraih tangan Hindun. Menggenggamnya, lalu mulai merangkai kata-kata yang akan diucapkannya. Sebuah kalimat cinta yang akan diutarakannya. Malam ini, disaat hujan turun dengan derasnya. Tepat di pertengahan bulan September.

Tapi belum sempat Bangor mengutarakan perasaannya, Pak Haji keburu nimbrung.

"Uhuk, uhuk...!" Babeh Hindun memberikan isyarat dengan batuknya.

Bangor buru-buru bangkit dari duduknya dan berpindah tempat. Sekali lagi guntur menggelegar, disertai cahaya kilat yang menyambar. Gadis itu pun kembali berteriak kaget.

Tiba-tiba seorang pemuda keluar dari dalam rumah dan langsung menghambur ke arah Hindun. Gadis itu langsung berlindung ke belakang tubuh pemuda yang barusan keluar tadi. Bangor memperhatikan pemuda tersebut yang kelihatan sudah sangat dikenal oleh gadis itu. 

"Bang Arya ini kenalkan, Bayu tunangan Hindun dari kota" Kata gadis itu sambil tersenyum.

Bangor menyambut uluran tangan Bayu.

"Iya Bang Arya. Hindun juga banyak cerita soal abang yang sudah dianggap kakaknya sendiri oleh Hindun.

Arya terkesiap perhatian hindun selama ini terhadapnya, tidak lebih dari perhatian seorang adik terhadap kakaknya. sedangkan bangor sudah terlanjur jatuh cinta terhadap Hindun.

Tiba-tiba hujan kembali turun dengan derasnya, disertai kilatan petir dan guntur  yang menggelegar. Pak Haji, Hindun dan pemuda itu bergegas masuk ke dalam rumah. Sementara Bangor masih berdiri di tempatnya, membiarkan hujan di bulan September membasahi tubuhnya, hatinya dan air mata yang jatuh menetes ke pipinya. Sendu!

(Sekian)

www.kompasiana.com
www.kompasiana.com

*karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Romansa September RTC.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun