Apa jadinya jika Dunia Tanpa Musim?
Mungkin musisi akan kehilangan 'jiwa', untuk menuliskan setiap lirik lagunya.
Dan penyair kehabisan kata, untuk menyampaikan hasrat cinta yang menggelora.
Hujan,
Tidak akan lagi bercerita tentang penantian panjang, yang resah.
Kemarau,
Hanyalah kisah usang yang tertulis dalam lembaran fiksi yang hampa.
Apa jadinya jika Dunia Tanpa Musim?
"Pergilah ke Pantai!" Bisik suara itu, "Mungkin kau akan mendapatkan jawabannya!" Bisiknya lagi.
Sesampainya disana, aku hanya melihat berpasang-pasang mata, yang terpaku menatap senja. Serta tangan-tangan mereka, yang berebut memetik semburat jingga. Sehingga langit menjadi hamparan jelaga, pekat, tanpa warna.
"Kenapa?" Tanyaku heran, saat melihat bulan yang menyembunyikan wajahnya.
"Sssst...! Aku tidak ingin bernasib seperti senja, yang menjadi tempat pelampiasan kata-kata. Untuk mewakili semua perasaan insan yang bercinta!"Jawab rembulan, lalu kembali ke peraduannya.
Aku menatap langit yang terbentang tanpa cahaya, dan tepekur di atas pasir yang basah. Deburan ombak yang menggiring buih sampai ke tepiannya, bagaikan rintihan sendu dari jiwa yang merana.
"Aku tidak menemukan jawabannya!" Teriakku, yang entah ditujukan kepada siapa?
Karena pantai, hanyalah cerita tentang matahari yang tenggelam di garis cakrawala. Serta orang-orang yang berebut memetik semburat jingga. lalu pergi begitu saja meninggalkan senja, yang berubah pucat tak berdaya.
"Pergilah ke taman kota!" Sayup ku dengar bulan berbisik, sambil mengintip di celah sabitnya.
Aku mengikuti titahnya. Tanpa sedikit pun membantah. karena aku sungguh ingin tahu; "Dunia Tanpa Musim, apa jadinya?"
Gersang!
Hanya tanah kering tempatku berpijak, yang mulai retak dan bercelah. Tidak pula aku dapati, rangkaian bunga aneka warna.
Hampa!
'Say it With Flowers'hanyalah ungkapan cinta tanpa makna. Tidak percaya? Bukalah halaman ketiga, pada baris kedua. Kamus cinta sang pujangga. Kata-kata itu hanya tertulis indah pada zamannya. Sebelum dunia tanpa musim, tentunya!
Spring,
Engkau masih bisa merasakan cuaca yang cukup hangat, berangin dan memanjakan mata, saat tumbuhan mulai bersemi kembali.
Summer,
Hari terasa begitu panjang di bawah cuaca yang panas. Tapi engkau tetap bisa menikmati 'summer holiday', dengan berjalan-jalan menghabiskan waktu bersamaku.
Autum,
Daun-daun mulai jatuh berguguran. Meski cuacanya cukup sejuk untuk menyaksikan perayaan 'Hallowen' di akhir oktober.
Winter,
Di bawah guyuran hujan salju, engkau pasti menggigil kedinginan dan mulai memelukku. Untuk sebuah kehangatan.
Aku teringat keempat musim itu, saat pertama kali jatuh cinta terhadap istriku. Karena aku tidak pernah kehabisan kata, untuk merangkainya menjadi sebuah puisi indah. Karena semua keindahan musim adalah anugerah, dari Yang maha Kuasa.
"Istriku...?"
Aku tersadar. Dari liarnya imajinasi mimpiku. Lalu mencari sosok istriku, yang sedari tadi berkutat di dapur.
"Baru bangun tidur, Mas?"Sambutnya saat melihatku.
Aku sedikit tersenyum, lalu duduk di hadapannya. Menikmati setiap garis kecantikannya, dari waktu ke waktu. Dan selalu saja hatiku penuh cinta, untuknya!
"Aku belikan kesukaanmu, barusan di pasar..."kata istriku, sambil beranjak dari duduknya.
Dibukanya lemari pendingin, lalu mengeluarkan sesuatu yang mengeluarkan bau menyengat.
"Duren!" aku berujar senang. Saat melihat buah kesukaanku, yang di taruhnya di atas meja.
"Iya. Sekarang kan lagi musim Duren!"Jawab istriku sambil terseenyum.
Ah, ternyata Dunia Tanpa Musim hanyalah mimpi belaka. karena...
"Aku akan menjadi jauh, lebih tidak berarti. Jika hidup, tanpamu...!" Bisikku, lalu mencium lembut bibirnya.
(Selesai)
Salam Sendu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H