Mohon tunggu...
Budiman Gandewa
Budiman Gandewa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Silent Reader

Bermukim di Pulau Dewata dan jauh dari anak Mertua. Hiks.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Asmara Sendu, di Pekuburan

9 Agustus 2016   14:48 Diperbarui: 10 Agustus 2016   16:44 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: vi.sualize.us

Mbak mayang, 'bintang pekuburan'. Usia 25 tahun. Hitam manis, rambut ikal mayang. Punya bodi menantang. Status: janda kembang. Because, profesinya sehari-hari hanyalah seorang penjual kembang, untuk pelayat yang datang nyekar.

Nggak kayak Bang Jupri, yang saban harinya ngangon kambing, makanya dijuluki duda kambing. Apa hubungannya? Hihihi....

Tetapi, kenapa cuma Mbak Mayang yang menarik perhatian Bang Parlan? Mungkin pedagang kembang yang lain, usianya di atas lima puluhan. Sedangkan Bang Parlan seorang perjaka tulen. Usianya belum genap tiga puluhan. Perawakan sedang, kulit sedikit legam akibat sinar matahari yang memanggang. Wajah Bang Parlan agak sedikit garang, namun masih sedap dipandang. Nilainya, lumayan...

Atau jangan-jangan karena Bang Parlan yang sering curi-curi pandang, saat menunggu 'pelanggan' di gerbang kuburan. Cuma berani mencuri pandang, nggak sampe jelalatan, apalagi pegang-pegang.

Pernah suatu hari di kala senggang, sambil menghisap rokok sebatang. Bang Parlan nyambi memandang Mbak Mayang dari kejauhan, yang tengah sibuk melayani pembeli kembang, di bawah pohon rindang.

Saat itu pikiran Bang parlan melanglang keluar dari ubun-ubunnya. Nyangsang di dahan, lalu nyungsep di tanah nggak jauh dari Mbak Mayang, yang duduk lesehan. 

Bintang pekuburan tersebut kaget bukan kepalang, kok bisa-bisanya ada 'pikiran' yang terbang melayang? Dipungutnya, lalu diletakkan di telapak tangan. Tiba-tiba saja, 'pikiran' tersebut berubah menjadi asap tipis, lama-kelamaan ngebul. Sontak Mbak Mayang batuk-batuk. Uhuk...Uhuk!

Muncullah Bang Parlan dari asap yang memudar, berdiri gagah di hadapan sang pujaan.

"Neng, mau kagak jadi bini abang?" kata Bang parlan terus terang.

"Eh, Abang. Neng kira siapa...?" Mbak Mayang tersipu, namun senang.

Bang Parlan langsung jumawa, efek dari senyuman yang dipersembahkan.

"Emang, abang mau jadi laki eneng?"

"Mau...mau banget, neng," sahut Bang Parlan kegirangan.

Hmmm...

Ternyata ini cuma efek dari sepinya pekuburan. jangankan ngemeng, berhadapan aja Bang Parlan sungkan-sungkan. Tampang sangar ternyata bukan jaminan, buktinya Bang Parlan mulai gelagapan, ketika sosok Mbak Mayang datang menghampiri dan langsung berdiri di hadapan.

"Bang..." sapa sang 'bintang kuburan'.

Bang Parlan tak kuasa memandang. Suara Mbak Mayang lebih terdengar seperti desahan, jantung sang perjaka berdegup kencang. Kalau nggak ditahan-tahan, udah pasti langsung kelojotan.

"Eh, ah, uh...ii...iya, neng," jawab Bang Parlan gelagapan, sedikit ngos-ngosan.

"Abang kok keringetan, sih? Hihihi..."

Bang Parlan makin kelimpungan, sambil menggosok-gosok gagang cangkulnya, untuk mengalihkan perhatian. Mbak Mayang mendaratkan pa*t*tnya yang bohai, di atas bangku kayu yang diduduki Bang Parlan.

Kedua insan duduk saling berpunggungan. Mbak Mayang menghadap ke utara, sambil bertopang di patok kuburan. Sementara Bang Parlan menghadap ke selatan, sembari memperhatikan mata cangkulnya yang mulai karatan.

Angin sepoi-sepoi datang, mempermainkan rambut sang bintang kuburan yang ikal mayang. Berputar-putar sebentar, lalu mentok di tembok pekuburan. Bless!

"Abaaang..." bisik Mbak Mayang pelan.

"I..,iya neng"

"Kok, nang-neng mulu bang? kayak lonceng sekolahan..."

"Habiiis, abang manggil apaan?"

"Panggil aja, saaa...yang! Hihihi..." sekali lagi Mbak Mayang cekikikan.

"Iya, saaa...yang!" Bang Parlan coba menirukan.

Tanpa sengaja, kedua insan sama-sama memutar badan dan langsung berhadapan. Bang Parlan tambah keringetan dan tak kuasa memandang wajah Mbak Mayang, yang rupawan.

"Kapan abang mau ngelamar Mayang?" tanya sang janda kembang tiba-tiba, saat kedua mata beradu pandang.

Ah, sebuah pertanyaan yang langsung menusuk perasaan. Tidak kuasa sang perjaka memandang wajah sang pujaan, yang semakin lama semakin sendu, mendung dan sebentar lagi...

Hujan! "Hiks...Hiks...!" Mbak Mayang menangis sesenggukan, beranjak dari duduknya, lalu berlari meninggalkan Bang Parlan.

"May..." Bang Parlan coba menahan, namun Mbak Mayang terlanjur jauh dari jangkauan.

Perjaka tersebut tertunduk lesu. Sambil memandang sayu, ke arah dahan pohon asem yang rindang. Bang Parlan mulai merenungi nasibnya sebagai tukang gali kuburan. 

"Mayang, semoga besok-besok banyak orang yang meninggal. Sehingga abang bisa ngumpulin uang dan kita berdua cepat duduk di pelaminan..." kata suara hati Bang Parlan, penuh harapan.

(Selesai)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun