Mohon tunggu...
Budiman Gandewa
Budiman Gandewa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Silent Reader

Bermukim di Pulau Dewata dan jauh dari anak Mertua. Hiks.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Jalan Menuju Surga

6 Agustus 2016   15:45 Diperbarui: 8 Agustus 2016   00:16 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu rel kereta api bersejarah yang ada di Kota Padang Panjang Sumatera Barat. Masih terlihat jelas pada dinding bagian luar rel baja ini bertuliskan buatan perusahaan KRUPP jerman pada tahun 1914, satu abad yang lalu. | Sumber Gambar: Klinik Fotografi KOMPAS

"Tempat orang makan"

Bocah tersebut memandang wajah emak "Udin lapar, mak..." Ujarnya pelan.

Perempuan setengah baya itu menghelala nafas, dengan menggunakan ujung baju, dilapnya ingus Udin yang meleleh di ujung hidung. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Perempuan itu mengajak anaknya pergi, menjauhi restoran yang mulai sesak oleh pengunjung, yang sedang menikmati makan siang.

Ibu dan anak tersebut terlihat menyeberangi jalan, lalu menghilang di antara kepulan debu dan kendaraan yang lalu lalang.

*****

Udin  tampak asyik bermain dengan mobil-mobilan yang hilang kedua roda belakangnya. Sementara emak sibuk melipat baju, yang baru saja diangkatnya dari jemuran.

Tiba-tiba seorang wanita cantik masuk tanpa permisi dan langsung mendamprat emak dengan nada suara yang agak bergetar.

"Saya harap mbak stop dulu berhutang di warung saya. Saya tahu mbak itu orang susah, saya juga kasihan melihat udin yang setiap hari mesti ikut mbak mencari rongsokan.Tapi tolong pikirkan juga modal saya. kalau setiap hari mbak hutangin, lama-lama saya bisa bangkrut. Hutang-hutang mbak yang menumpuk tidak usah dibayar. Tapi mulai hari ini, mbak jangan lagi berhutang di warung saya." Lalu perempuan pemilik warung tersebut keluar dari kontrakkan.

Perempuan setengah baya itu terlihat shock, bibirnya mulai gemetar. Hatinya seperti ditusuk ribuan jarum. pedih! Pikirannya mencoba mencerna kata demi kata yang meluncur keluar dari mulut tetangganya barusan.

Semakin diulangi setiap kalimat yang berhasil dicernanya, semakin menambah berat, beban hidup yang mesti ditanggung bersama putranya. Belum sirna sedihnya, Ibu haji pemilik kontrakkan sudah berdiri di depan pintu kontrakan,  bersama cucunya yang memegang sebuah linggis.

tanpa basa-basi, cucu pemilik kontrakan tersebut mencongkel pintu kontrakkan sampai lepas dari engselnya. Dijunjungnya pintu itu di atas kepalanya, lalu melangkah pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun