"Jakarta itu dimana, mak?"Â Tanya bocah berusia 7 tahun tersebut, sambil menyeka ingus yang terus meleleh dengan punggung tangannya. Entah sudah berapa puluh kali hal itu dilakukannya, sehingga kedua pipinya tampak belepotan oleh bekas ingus yang mulai hitam mengerak.Â
"Ya ini Jakarta, Udin..." Jawab Emak setelah lima menit berlalu, lalu memunguti sampah  botol dan gelas plastik yang berserakan di depan anaknya tersebut.
Udin terus memperhatikan Emak yang yang mulai memasukkan berbagai benda ke dalam karung. Sementara tangan bocah itu sibuk mengusir lalat yang terbang di sekitar koreng yang ada di kakinya. Sesekali bocah itu meringis menahan sakit, jika tanpa sengaja tangannya mendarat di koreng, saat mencoba menepuk lalat yang hinggap.
Emak menggamit tangan Udin, lalu berjalan menyusuri trotoar di tengah terik panas yang menyengat. Sedikit berlari bocah tersebut mengikuti langkah kaki perempuan yang menggenggam erat pergelangan tangannya.
Sesekali Udin harus berhenti sejenak untuk memperbaiki sendal jepitnya  tercopot  dari lubang yang berada di antara jempol kakinya. Di sebuah kotak sampah besar, ibu dan anak itu menghentikn langkahnya.
Dengan cekatan Perempuan setengah baya itu membuka tutup tempat pembuangan tersebut, tangannya langsung mengais tumpukan sampah yang mengeluarkan bau tidak sedap.
Sebuah kardus bekas yang agak basah didapatnya dan langsung dilipat sekecil mungkin, lalu dimasukkannya ke dalam karung yang sejak tadi dibawanya. Ada juga beberapa botol bekas air kemasan yang langsung  menghuni isi karung.
Setelah puas mengaduk-aduk isi tempat sampah itu, Emak lalu memanggul karungnya dengan badan sedikit terbungkuk. Sesaat pandangan matanya melihat sosok Udin, yang tengah berdiri mematung di depan sebuah restoran.
"Ini tempat apa, mak?"Â Tanya Udin, tanpa melihat kearah emak yang sudah berdiri di sampingnya.
"Lestoran" Jawab perempuan itu singkat.
"Lestoran itu apa, mak?" Tanya bocah itu penasaran.
"Tempat orang makan"
Bocah tersebut memandang wajah emak "Udin lapar, mak..."Â Ujarnya pelan.
Perempuan setengah baya itu menghelala nafas, dengan menggunakan ujung baju, dilapnya ingus Udin yang meleleh di ujung hidung. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Perempuan itu mengajak anaknya pergi, menjauhi restoran yang mulai sesak oleh pengunjung, yang sedang menikmati makan siang.
Ibu dan anak tersebut terlihat menyeberangi jalan, lalu menghilang di antara kepulan debu dan kendaraan yang lalu lalang.
*****
Udin  tampak asyik bermain dengan mobil-mobilan yang hilang kedua roda belakangnya. Sementara emak sibuk melipat baju, yang baru saja diangkatnya dari jemuran.
Tiba-tiba seorang wanita cantik masuk tanpa permisi dan langsung mendamprat emak dengan nada suara yang agak bergetar.
"Saya harap mbak stop dulu berhutang di warung saya. Saya tahu mbak itu orang susah, saya juga kasihan melihat udin yang setiap hari mesti ikut mbak mencari rongsokan.Tapi tolong pikirkan juga modal saya. kalau setiap hari mbak hutangin, lama-lama saya bisa bangkrut. Hutang-hutang mbak yang menumpuk tidak usah dibayar. Tapi mulai hari ini, mbak jangan lagi berhutang di warung saya."Â Lalu perempuan pemilik warung tersebut keluar dari kontrakkan.
Perempuan setengah baya itu terlihat shock, bibirnya mulai gemetar. Hatinya seperti ditusuk ribuan jarum. pedih! Pikirannya mencoba mencerna kata demi kata yang meluncur keluar dari mulut tetangganya barusan.
Semakin diulangi setiap kalimat yang berhasil dicernanya, semakin menambah berat, beban hidup yang mesti ditanggung bersama putranya. Belum sirna sedihnya, Ibu haji pemilik kontrakkan sudah berdiri di depan pintu kontrakan, Â bersama cucunya yang memegang sebuah linggis.
tanpa basa-basi, cucu pemilik kontrakan tersebut mencongkel pintu kontrakkan sampai lepas dari engselnya. Dijunjungnya pintu itu di atas kepalanya, lalu melangkah pergi.
"Lastri, sudah tiga bulan kamu menunggak uang kontrakkan. Kalau sudah lunas uang sewanya, pintunya baru saya pasang lagi". Ketus Ibu Haji pemilik kontrakkan, tanpa memerdulikan sepasang mata bulat kecil, yang sedari tadi memandang bingung.
*****
Udin membuka matanya, kebingungan masih terlihat di wajah bocah itu. Diperhatikannya sekali lagi tempatnya berada, baju lusuh yang tadi dipakainya telah berubah menjadi bersih dan bagus.
Beberapa anak seusianya kelihatan tertawa riang, sambil mengejar kupu-kupu yang banyak berterbangan di tempat itu. Seekor kupu-kupu dengan sayap berwarna biru tampak hinggap di sekuntum bunga yang mekar. Lalu terbang kembali saat seorang anak perempuan yang cantik dan lucu berusaha menangkapnya.
Dikejauhan Udin melihat emak yang tengah duduk di bangku sebuah taman, bersama seorang laki-laki yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Langkah kecil bocah tersebut, berlari menghampiri emak yang tampak tersenyum bahagia.
"Ayo Udin, naik ke punggung papa. Kita main kuda-kudaan"Â kata laki-laki tersebut, sambil berjongkok dan menjulurkan kedua tangannya, seperti menyambut kedatangan bocah yang sudah berdiri di samping ibunya tersebut.
Udin melihat ke arah emak, perempuan itu terlihat sangat cantik dan muda. Seperti mengerti pandangan mata anaknya, perempuan itu menganggukkan kepala dan tersenyum.
"Ini Jakarta ya, mak?" Tanya Udin tiba-tiba tanpa menghiraukan laki-laki yang menyebut dirinya 'Papa'.
Perempuan cantik itu menggelengkan kepala, diangkatnya tubuh bocah tersebut ke pangkuannya. "Ini Surga, Udin..." Jawab emak sambil berbisik.
Udin makin bingung, lalu turun dari pangkuan ibunya. Bocah itu tidak ingat surga itu dimana, yang dia ingat emak belum lama memeluknya dengan erat, saat mengajaknya rebah di atas sebuah rel kereta api.
(Selesai)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H