1. pengertian sosiologi hukumÂ
Sosiologi hukum pada hakekatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli, baik di bidang filsafat hukum, ilmu maupun sosiologi. Sosiologi hukum saat ini sedang berkembang pesat. Ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku, artinya isi dan bentuknya berubah-ubah menurut waktu dan tempat, dengan bantuan faktor kemasyarakatatan. Menurut C.J.M Schuyt, salah satu tugas Sosiologi Hukum adalah mengungkapkan sebab atau latar belakang timbulnya ketimpangan antara tata tertib masyarakat yang dicita-citakan dengan keadaan masyarakat yang ada di dalam kenyataann.enurut Ronni Hanitijo Soemitro, ilmu hukum dapat dibagi ke dalam 2 (dua) cabang spesialisasi, yaitu Studi tentang Law in Books dan Studi tentang law in Actions. Law in books disebutkan bagi studi/kajian tentang hukum sebagaimana tercantum di dalam kitab Undang-Undang atau sebagaimana di dalam peraturan Perundang-undangan. Dengan kata lain, law in book merupakan studi tentang hukum sebagai norma atau kaedah. Hukum sebagai norma atau kaedah bersifat otonom, artinya bahwa hukum tersebut berdiri sendiri dan bebas dari segala pengaruh. Sedangkan Law in Actions merupakan studi/kajian tentang hukum sebagai gejala/proses sosial. Hukum sebagai gejala/proses sosial Memiliki sifat heteronom, artinya hukum tersebut memiliki pengaruh dan hubungan timbal balik dengan gejala sosial lainnya seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, agama dan lain-lain. Hukum sebagai gejala sosial yang bersifat empiris, dapat dipelajari sebagai independent variable maupun sebagai dependent variable. Hukum yang dipelajari sebagai dependent variable merupakan resultante (hasil) dari berbagai kekuatan dalam proses sosial dan studi tersebut dikenal sebagai Sosiologi Hukum. Di lain pihak, hukum dipelajari sebagai independent variable menimbulkan pengaruh dampak kepada berbagai aspek kehidupan sosial dan studi yang demikian dikenal sebagai Studi Hukum Masyarakat.Â
2. Hukum dan kenyataan masyarkatÂ
Dalam setiap elemen masyarakat, terdapat hukum yang tentunya berlaku bagi semua lapisan. Penegakan hukum menjadi hal yang di utamakan dalam memperkuat fundamen yang menunjang kesejahteraan hidup masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut Soerjono Soekanto, Inti dari proses penegakan hukum yang baik adalah penerapan yang serasi dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang kemudian terwujud dalam perilaku. Pola perilaku tersebut tidak terbatas pada warga masyarakat saja, akan tetapi mencakup juga golongan "pattern setting group" yang dapat diartikan sebagai golongan penegak hukum dalam arti sempit. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). Gustav Radbruch mengatakan bahwa etiga unsur tersebut ialah sebagai penopang cita hukum (idee des Rechts). Cita hukum ini akan membimbing manusia dalam kehidupannya berhukum. Ketiga nilai dasar tersebut harus ada secara seimbang. Namun seringkali ketiga nilai dasar tersebut tidak selalu berada dalam hubungan yang harmonis satu sama lain, melainkan berhadapan, bertentangan, ketegangan (spannungsverhaltnis) satu sama lain. Dalam hal terjadi pertentangan demikian, yang mestinya diutamakan adalah keadilan. Hal ini karena pada hakikatnya hukum itu adalah untuk kepentingan manusia, bukan manusia untuk hukum Beberapa problematik hukum seringkali ditemukan di Indonesia, yang mana efektivitas penerapannya terkadang cenderung tidak sesuai dengan sistem meritokrasi. Seperti halnya bahwa hukum tersebut tajam kebawah, tumpul keatas, artinya bahwa hukum bisa dibeli oleh masyarakat yang ekonominya menengah keatas, sehingga masyarakat dengan kelas ekonomi kebawah, justru terkadang mendapatkan tindakan dari hukum itu sendiri. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan apa itu hukum sendiri, terutama Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi. Karena hukum pada dasarnya adalah dibuat untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian di dalam masyarakat. Maka dari itu sistem dari sebuah hukum harus berjalan layaknya sebuah rangkaian organ masyarakat, yang mana keterkaitan dengan keadilan, serta kesatuan yang kuat untuk melengkapi dan mempunyai kesadaran yang tinggi dalam hukum yang berlaku (Biroli, 2020). Salah satunya ialah penerapan pluralisme, dengan konsep triangular, yaitu komponen dari elemen masyarakat, negara, dan norma etika ataupun agama. Yang mana ketiga komponen tersebut dapat dikembangkan menjadi sembilan komponen, yaitu : 1. Hukum negara yang nyata, yang muncul secara langsung sebagai hukum, dan sebelumnya tidak dikenal dalam nilai-nilai etika, moral dan agama, serta norma norma sosial. 2. Hukum produk negara yang hanya melegitimasi norma-norma sosial yang sudah ada sebelumnya. 3. Hukum produk negara yang memperoleh pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan norma etika, moral, dan agama, atau norma sosial dan budaya tertentu.Â
3. Yuridis empiris dan Yurudis normatif
Sosiologi hukum pada dasarnya adalah menyelidiki fenomena hukum dengan menggunakan metode dan teori yang ditawarkan oleh ilmu sosial. Dalam penggunaan ilmu sosial, ada dua komponen utama yang harus diperhatikan. Yang pertama adalah pengakuan bahwa setiap perspektif dan pengamatan melibatkan upaya serius untuk mencapai perspektif yang lengkap melalui pengumpulan, analisis, dan interpretasi masalah empiris. Yang kedua adalah pengakuan bahwa setiap perspektif dan pengamatan memiliki kebutuhan yang sepihak dan tidak lengkap.1 Dalam konteks ini, hukum dimaknai sebagai gejala sosial yang tumbuh kembang dalam masyarakat. Di Indonesia, sering kali terjadi kesenjangan antara hukum yang tertulis dan praktiknya di lapangan. Misalnya, meskipun undang-undang tentang hak-hak buruh atau pekerja telah diatur dengan jelas, akan tetapi dalam praktiknya sering kali ditemukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak pekerja, seperti upah yang tidak sesuai atau kondisi kerja yang tidak aman. Dari adanya kesenjangan-kesenjangan tersebut muncul suatu pengembangan ilmu pengetahuan hukum.
4. MADZAB PEMIKIRAN HUKUM POSITISVISMÂ
Positivisme hukum juga mendapat dorongan dari perkembangan metode ilmiah yang berkembang pada masa tersebut. Pendekatan ilmiah, yang menekankan pada pengamatan, verifikasi, dan objektivitas, sangat memengaruhi cara para pemikir hukum melihat hukum. Mereka berpendapat bahwa hukum harus dipandang sebagai fenomena yang dapat diamati dan diukur, dan bukan sebagai sesuatu yang abstrak atau metafisik seperti yang diyakini oleh para penganut hukum alam. Selain itu, setelah Revolusi Industri, kebutuhan akan stabilitas dan prediktabilitas dalam hukum semakin meningkat. Positivisme hukum dianggap mampu memenuhi kebutuhan tersebut dengan menawarkan kerangka hukum yang pasti dan jelas, di mana setiap orang dapat mengetahui dengan pasti apa yang diharapkan dari mereka oleh hukum. Hukum tidak lagi dipandang sebagai alat untuk mencapai keadilan moral, melainkan sebagai instrumen untuk mengatur perilaku manusia dalam masyarakat yang kompleks. Dengan demikian, positivisme hukum adalah reaksi terhadap filsafat hukum alam yang menekankan pentingnya hukum sebagai peraturan yang bersifat formal dan terlepas dari nilai-nilai moral. Aliran ini berkembang dalam konteks perubahan sosial dan politik yang signifikan pada era modern, di mana hukum dipandang sebagai instrumen untuk menciptakan ketertiban dan kepastian dalam masyarakat. Positivisme hukum tetap menjadi salah satu aliran filsafat hukum yang paling dominan hingga saat ini, terutama dalam sistem hukum civil law yang banyak diterapkan di negaranegara Eropa dan sebagian Asia, termasuk Indonesia.Â
5. MAZHAB PEMIKIRAN HUKUM (SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE)Â
Aliran Sociological Jurisprendence mengalami perkembangan baik di Eropa maupun di Amerika Seerikat. Di Eropa, Ehrlich menjadi pelopornya sedangkan di Amerika Serikat Bapak Sosiologi Hukum, Roscoe Pound, menjadi yang paling terkemuka. Secara umum, Pound mengajarkan bahwa hukum hendaknya dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi memenuhi suatu kebutuhan sosial. Pandangan Pound tersebut dapat kita temukan dala karya Curzon yang menuliskan bahwa Pound memandang hukum sebagai "a social institution created to satisfiy human, sosial wants by giving effect to as we may with the least sacrafice, so fae as such as wants may be satisfied or such claims given effect by an oredering of human conduct through politically organized society." Selanjutnya, bagi Pound ilmu hukum bertujuan untuk mengembangkan suatu kerangka pemenuhan kebutuhan-kebutuhab sosial tersebut secara efektif. Pokok-pokok pemikiran Pound yang terkait dengan Sociological Jurisprendence dapat kita cari dalam karyanya yang berjudul Scope and Purpose of Sociological Jurisprendence. Melalui karyanya tersebut dia mengemukakan secara panjang lebar bahwa para ahli hukum yang menganut pandangan sosiologis perlu lebih memperhitungkan fakta-fakta sosial dan pekerjaannya. Termasuk dalam pekerjaan hukumnya tersebut adalah pembuatan hukum, penafsiran hukum serta pada penerapan hukum. Para yuris oleh Pound disarankan lebih memperhitungkan secara seksama mengenai fakta-faktta sosial yag diserap dalam pembuatan dan penafsiran hukum dan selanjutnya yang akan diterapkan dalam masyarakat.Â
6. MADZAB PEMIKIRAN HUKUM (LIVING LAW DAN UTILITARINISME)Â
Hukum yang hidup di masyarakat, yang sering disebut sebagai Living Law, merupakan hukum yang berkembang dan berfungsi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Tokoh utama dari aliran sejarah hukum, Friedrich Carl von Savigny, mengemukakan pandangan bahwa hukum merupakan bagian integral dari kehidupan bersama suatu bangsa, serupa dengan bahasa, adat, moral, dan tata negara. Menurutnya, hukum memiliki sifat supra individual, yakni tidak hanya sekadar aturan yang diciptakan oleh individu-individu, melainkan juga fenomena sosial yang lahir, berkembang, dan pada akhirnya menghilang bersama perjalanan sejarah suatu masyarakat. Dari pendapat diatas dapat diketahui bahwa living law merupakan sekumpulan aturan yang terbentuk bersamaan dengan terbentuknya masyarakat itu sendiri. Hukum tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat karena hukum diciptakan oleh masyarakat dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan serta kepentingan mereka. Menurut Eugen Ehrlich, hukum negara (state law) bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri atau terpisah dari pengaruh sosial yang ada dalam masyarakat. Hukum negara, dalam pandangannya, selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor kemasyarakatan, yang mencerminkan hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat. Dengan demikian, hukum tidak dapat dianggap sebagai entitas yang mandiri, melainkan sebagai bagian dari dinamika sosial yang berkembang sesuai dengan kehidupan masyarakat itu sendiri.Living law bukanlah konsep yang tetap atau tidak berubah, melainkan selalu berkembang seiring berjalannya waktu. Living law merujuk pada hukum yang hidup dan berfungsi dalam masyarakat, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Gagasan ini menjadi dasar dari sebuah gerakan yang disebut Sociological Jurisprudence, yang merupakan sintesis dari dua pendekatan: tesis positivisme hukum dan antitesis mazhab sejarah.
7. PEMIKIRAN HUKUM EMILE DURKHEIM DAN IBNU KHALDUNÂ
Sistem hukum nasional di Eropa semakin berkembang dengan menjadi lebih nyata, terlembaga, dan dikelola oleh tenaga profesional, sehingga hukum berfungsi sebagai sistem normatif yang mandiri. Pembentukan sistem ini terjadi melalui proses unifikasi hukum, yang bertujuan untuk menyatukan berbagai sistem hukum yang ada menjadi satu kesatuan normatif berdasarkan substansi atau objek yurisdiksi, bukan berdasarkan identitas subjek. Dengan kata lain, unifikasi hukum berupaya menciptakan negara yang berlandaskan hukum teritorial, tanpa menghidupkan kembali hukum yang berlandaskan pada identitas personal. Durkheim menghadapi berbagai masalah sosial pada masanya, seperti pemogokan buruh, ketimpangan antara kelas penguasa dan masyarakat umum, serta konflik antara negara dan gereja. Menurutnya, kekacauan semacam ini memerlukan penanganan melalui reformasi sosial, bukan diterima begitu saja sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan dari kehidupan modern, sebagaimana pandangan teoretisi klasik lainnya, seperti Weber. Pemikiran Durkheim ini muncul dari kondisi transisi masyarakat Eropa yang sedang mengalami perubahan sosial dan hukum. Perubahan sosial tersebut seringkali disertai dengan kekacauan yang mendorong Durkheim untuk mengedepankan isu moral dalam mengatasi situasi tersebut. Sementara itu, perubahan di bidang hukum terlihat melalui penyatuan sistem hukum, yang beralih dari hukum personal menuju hukum nasional, sebagai dampak dari dominasi positivisme hukum pada masa itu. Durkheim mengembangkan pandangan sosiologisnya berdasarkan prinsip rasionalisme, moralitas, dan pendekatan positivisme dalam memperoleh pengetahuan. Melalui pendekatan tersebut, ia berusaha menjelaskan hubungan kausal antara hukum dan masyarakat, serta mengeksplorasi fungsi moral dan sosial hukum dalam berbagai pola hubungan sosial atau solidaritas. Pendekatan ini memberikan analisis yang lebih komprehensif mengenai bagaimana kekuatan sosial memengaruhi kategori dan institusi hukum.Â
8. PEMIKIRAN HUKUM MAX WEBER DAN H.L.AÂ
Pemikiran hukum Max Weber menjadi salah satu tonggak penting dalam kajian sosiologi hukum, di mana ia menekankan bahwa hukum modern adalah hasil dari proses rasionalisasi dan birokratisasi. Weber melihat hukum sebagai instrumen untuk mencapai kontrol sosial melalui aturan-aturan yang diformalkan dan diterapkan secara sistematis oleh institusi negara. Dalam konteks ini, hukum bukan lagi sekadar refleksi dari norma sosial atau tradisi, melainkan mekanisme rasional yang bertujuan untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat modern. Latar belakang kajian ini muncul dari kebutuhan untuk memahami bagaimana hukum berkembang dalam masyarakat yang semakin kompleks dan bagaimana teori Weber berkontribusi pada pemahaman kita tentang peran hukum dalam sistem sosial. H.L.A. Hart, seorang filsuf hukum asal Inggris, memberikan perspektif yang berbeda melalui teori hukum positif yang ia kembangkan.Berbeda dengan Weber yang menekankan aspek sosiologis dari hukum, Hart fokus pada analisis normatif dari hukum itu sendiri. Ia memperkenalkan konsep aturan primer dan sekunder dalam hukum serta rule of recognition sebagai mekanisme untuk menentukan hukum yang sah dalam suatu sistem. Teori Hart bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih sistematis tentang struktur hukum dan bagaimana aturan hukum berfungsi secara operasional
9. EFFECTIVENESS OF LAWÂ
Hukum harus dipahami oleh semua orang agar mereka dapat mengetahui apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. Dengan demikian, hukum tidak hanya berfungsi untuk mencapai keadilan, tetapi juga untuk penting; hukum harus mudah diakses oleh semua orang, sehingga mereka dapat mengetahui hak dan kewajiban mereka. memberikan kepastian bagi individu dalam kehidupan sehari-hari. Ini penting agar hak dan kepentingan masyarakat terlindungi dalam batas yang wajar, sehingga menciptakan tatanan sosial yang seimbang. Kepastian hukum berfungsi sebagai panduan bagi tindakan masyarakat, mencegah penyalahgunaan, dan memastikan bahwa setiap orang dapat mengandalkan hukum untuk melindungi kepentingannya. Indikator efektivitas hukum merupakan aspek penting yang menunjukkan seberapa baik hukum berfungsi dalam masyarakat. Beberapa indikator utama meliputi kepatuhan terhadap hukum, aksesibilitas hukum, keadilan dalam penegakan hukum, dan resolusi sengketa. Kepatuhan terhadap hukum mencerminkan seberapa banyak masyarakat mengikuti peraturan yang ada. Ketika tingkat kepatuhan tinggi, itu menunjukkan bahwa hukum diterima dan dihormati oleh warga. Selain itu, aksesibilitas hukum sangatpenting; hukum harus mudah diakses oleh semua orang, sehingga mereka dapat mengetahui hak dan kewajiban mereka.Â
10. Law and Social Control
Tujuan hukum adalah mencapai kedaimann  dengan mewujudkan  keadilan dalam masyarkat. Pengendalian sosial adalah upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat.Lebih jauh lagi, Socio-Legal Studies memungkinkan peneliti untuk memahami bagaimana norma-norma hukum dapat bervariasi di antara berbagai kelompok sosial dan budaya. Hal ini penting di Indonesia, di mana keberagaman etnis dan budaya menciptakan dinamika unik dalam penerapan hukum. Misalnya, hukum adat sering kali berinteraksi dengan hukum nasional, menciptakan tantangan dan peluang bagi penegakan hukum yang adil dan merata. Dengan mempelajari interaksi ini, para peneliti dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang bagaimana hukum dapat berfungsi secara lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat lokalÂ
11. Â SOCIO-LEGAL STUDIESÂ
Pendekatan sosio-legal merupakan alternatif yang menganalisis kajian doktrinal terhadap hukum. Istilah "socio" dalam studi sosio-legal menggambarkan hubungan antara hukum dan konteks dimana hukum itu berada atau beroperasi. Studi sosio legal muncul sebagai respons terhadap kebutuhan di sekolah-sekolah hukum untuk mengembangkan pendekatan interdisipliner dalam mempelajari hukum. Pendekatan ini dapat dipandang sebagai disiplin, subdisiplin, atau metodologi yang berkembang baik dalam hubungan dengan hukum maupun sebagai kritik terhadapnya. Menariknya, studi ini jarang diinisiasi oleh ilmuwan sosial maupun para sosiolog, hal ini dapat dilihat dari sudut kurikulum sosiologi yang jarang membahas isu-isu hukum dari segi teori maupun praktik.2 Terdapat tiga bidang yang sering disalah artikan, yakni studi sosio-legal, sosiologi hukum, dan sociological jurisprudence. Perlu kita ketahui, bahwasaanya penting untuk tidak mencampurkan antara studi sosio-legal dengan sosiologi hukum, dimana Socio-legal ini lebih berkembang di negara-negara Eropa Barat, atau aliran Law and Society di Amerika yang lebih erat kaitannya dengan ilmu sosial. Studi sosio-legal berbeda dengan sosiologi hukum, yang berakar dari sosiologi arus utama dan berfokus pada pemahaman teoretis tentang hukum dengan menempatkannya dalam konteks struktur sosial yang lebih luas.Â
12. PROGRESSIVE LAW (Hukum Progresif)Â
Hukum progresif menjadi sangat relevan dalam penegakan hukum di Indonesia, yang diwarnai oleh berbagai kasus yang mempertanyakan keadilan substantif. Kasus-kasus seperti Mbok Minah yang dipenjara karena mencuri beberapa biji kakao atau kasus Nenek Asyani yang terjerat hukum karena penebangan beberapa batang kayu kecil menunjukkan bahwa penerapan hukum yang terlalu kaku justru sering kali mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam masyarakat1 . Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum, di mana keadilan prosedural lebih dikedepankan dibandingkan keadilan substantif yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Hukum progresif juga membawa perspektif baru dalam memandang hukum sebagai instrumen untuk melindungi hak-hak kelompok rentan, termasuk masyarakat hukum adat. Permasalahan hukum yang sering kali dihadapi oleh masyarakat adat adalah sulitnya memperoleh perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak tradisional mereka, seperti hak atas tanah ulayat dan penguasaan sumber daya alam. Hukum progresif melihat bahwa dalam situasi ini, negara perlu mengambil tindakan yang tidak sekadar legalistik atau prosedural, melainkan lebih bersifat kontekstual dan berfokus pada kesejahteraan masyarakat adat tersebut. Dengan demikian, hukum progresif menjadi alternatif pendekatan dalam memberikan pengakuan yang lebih adil terhadap hak-hak adat yang sering kali diabaikan.
13. LEGAL PLURALISMÂ
Pluralisme hukum secara umum dapat dijelaskan sebagai kondisi di mana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berlaku dalam sebuah negara. Dan plurasilems hukum itu hidup berdampingan pada dimensi sosial masyarakat. Hal ini berimplikasi pada pemahaman dan penerapan hukum di masyarakat yang berbeda-beda. Dalam konteks Indonesia, pluralisme hukum tidak dapat diabaikan, karena merupakan sebuah realitas yang ada dalam kehidupan dan sistem hukum negara kita. Dalam konteks pluralisme hukum, berbagai sistem hukum yang berbeda dapat hidup berdampingan dan berinteraksi. Misalnya saja di negara yang penduduknya heterogen seperti Indonesia, diberlakukan sistem hukum yang berbeda-beda seperti hukum adat, hukum agama, dan hukum positif. Masing-masing dari sistem hukum tersebut mempunyai ciri dan prinsip berbeda yang diakui dan dihormati oleh masyarakat.Â
14. PENDEKATAN SOSIOLOGIS DALAM STUDI HUKUM ISLAMÂ
Kata sosiologi secara etimologi berasal dari bahasa latin yaitu socius yang artinya teman dan logos yang memiliki arti ilmu pengetahuan. Dalam artian sosiologi adalah suatu ilmu yang membicarakan mengenai manusia dalam lingkup pertemanan atau bermasyarakat. Adapun secara terminologis sosiologi dapat diartikan seabagai ilmu yang mencangkup studi tentang struktur sosial dan proses sosial yang meliputi perubahanperubahan di dalamnya. Sosiologi sebenarnya memiliki banyak pengertian atau definisi sebagaimana yang diberikan oleh para ahli. Definisi-definisi tersebut dalam Suhartanto dan Haniefah diantaranya1 : 1. Pitirum Sorokin menyebutkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara fenomena sosial yang berbeda. 2. Rocek dan Waren menjelaskan bahwa sosiologi adalah ilmu yang membahas mengenai adanya keterkaitan antara manusia dengan kelompok. 3. Wiliam F. Ogburn dan Mayer F. Nimkof mengartikan sosiologi sebagai penelitian secara ilmiah terkait intraksi sosial dan hasilnya. 4. Selo Sumarjan dan Sulaiman Hadi mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial yang didalamnya ada norma, kelompok, dan lapisanlapisan sosial dengan berbagai proses dan perubahan-perubahan sosial yang ada. 5. J.A.V. Dorn dan C.J. Lamers memberikan arti sosiologi sebagai ilmu pengetahuan tentang struktur serta proses sosial atau kemasyarakatan yang bersifat stabil. 6. Max Weber mengartikan sosiologi sebagai pengetahuan yang mampu memahami tindakan sosial.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H