Mohon tunggu...
Galluh Tiara Al Husna
Galluh Tiara Al Husna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman

Membaca dan mendengar musik

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kekerasan Tanpa Wajah: Menghadapi Realitas Cyberbullying di Kalangan Generasi Z

15 April 2024   21:47 Diperbarui: 15 April 2024   21:49 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: visualistan.com

LATAR BELAKANG

Perkembangan teknologi yang sangat pesat telah mengubah beragam gaya hidup manusia, terutama dalam bidang teknologi dan komunikasi. Melalui perkembangan tersebut, kita ditawarkan beragam kemudahan dalam mengakses dan mengekpresikan diri kita didunia maya. Media sosial merupakan salah satu wujud perkembangan teknologi komunikasi yang saat ini sangat digemari oleh masyarakat diseluruh dunia. Media sosial memungkinkan setiap penggunanya dapat berinteraksi dengan siapapun dan kapanpun tanpa batasan waktu dan jarak (Putra, 2019). Namun, dibalik dampak positif berupa kemudahan terhadap akses informasi dan kebebasan berekspresi, media sosial dapat disalahgunakan oleh beberapa oknum untuk melakukan tindak kejahatan, contohnya perilaku cyberbullying. Fenomena ini merupakan efek domino dari masifnya perkembangan internet yang tidak diringi dengan filter yang tegas oleh pemerintah. Bagi kalangan muda yang banyak menghabiskan waktunya bermain di media sosial, cyberbullying merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Namun fenomena ini dapat dicegah melalui pendidikan adab formal maupun nonformal. Masih banyak dari generasi Z (rentang tahun 1997-2012) merupakan remaja labil dan dalam masa transisisi, sehingga kesehatan mental dapat sangat berpengaruh terhadap pola pikir seseorang, terlebih ketika individu tersebut merupakan seorang korban dari cyberbullying (Kartono, 2013). 

Menurut Unicef.org, cyberbullying atau perundungan via maya merupakan bentuk bullying atau perundungan yang menggunakan teknologi digital sebagai alat melakukan perundungan. Hal ini dapat terjadi dimedia sosial, platform chatting, platform bermain game, dan ponsel. Adapun menurut Think Before Text, cyberbullying adalah perilaku agresif dan bertujuan yang dilakukan suatu kelompok atau individu, menggunakan media elektronik, secara berulang-ulang dari waktu ke waktu, terhadap seseorang yang dianggap tidak mudah melakukan perlawanan atas tindakan tersebut. Cyberbullying merupakan perilaku berulang yang ditujukan untuk menakuti, membuat marah, atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran maupun korban. Cyberbullying juga memungkinkan pelaku untuk menyembunyikan identitasnya dengan komputer. Hal ini yang membuat pelaku merasa aman tanpa harus melihat respon korban secara langsung (Brequet, 2010). 

Adapun definisi lain dari cyberbullying menurut beberapa ahli. Menurut Willard (2006) dalam buku menjelaskan juga bahwa cyberbullying merupakan tindakan kejam yang dilakukan secara sengaja ditujukan untuk orang lain dengan cara mengirimkan atau menyebarkan hal atau bahan yang berbahaya yang dapat dilihat dengan bentuk agresi sosial dalam penggunaan internet ataupun teknologi digital lainnya. Kowalski, dkk (2014) juga menambahkan penjelasan dari cyberbullying bahwa konteks elektronik yang dimaksud seperti; email, blogs, pesan instan, pesan teks. Ditujukan kepada seseorang yang tidak dapat dengan mudah membela dirinya. Tidak hanya itu, Rastati (2016) menambahan bahwa melakukan penyebaran rumor tentang seseorang, mengintainya, ataupun mengancam melalui berbagai media elektronik dapat diklasifikasikan sebagai cyberbullying yang dimana akan berdampak sangat kepada kesehatan mental. Seseorang yang kesehatan mentalnya terganggu akan mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, serta kendali emosi yang pada akhirnya bisa mengarah pada perilaku buruk. Penyakit mental dapat menyebabkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya dapat merusak interaksi atau hubungan dengan orang lain, namun juga dapat menurunkan prestasi di sekolah dan produktivitas kerja. Dampak dari gangguan kesehatan mental sendiri meliputi Stress, Gangguan kecemasan serta depresi yang dimana akan sangat berbahaya bila sampai dibiarkan terlalu jauh.

Isu mengenai kesehatan mental merupakan isu yang sedang hangat dibahas dikalangan berbagai generasi, terutama generasi Z. Ksehatan mental sendiri diartikan secara beragam oleh berbagai ahli. Menurut Daradjat (1984), kesehatan mental merupakan kesinambungan harmonis dalam kehidupan yang tercipta dari fungsi jiwa, kemampuan menghadapi masalah yang tengah dihadapi, serta kemampuan merasakan diri sebagai orang yang postif dan bahagia. Adapun menurut Jalaluddin (2015), seseorang yang sehat secara mental adalah orang yang dalam dirinya dapat merasakan rasa tenang, damai dan aman. Pengertian lainnya mengenai kesehatan mental adalah suatu kondisi individu yang memungkinkan berkembangnya semua aspek di dalam dirinya secara positif, baik fisik, intelektual, dan emosional yang optimal serta selaras dengan perkembangan orang lain, sehingga dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Perkembangan teknologi informasi saat ini memiliki pengaruh yang cukup besar pada perubahan sikap dan perilaku manusia dalam bersosialisasi maupun berkomunikasi. Salah satu dampak negatifnya yaitu pembulian dimedia sosial atau cyberbullying. Tindakan ini dapat mempengaruhi kesehatan mental remaja secara signifikan. Remaja yang menjadi korban cyberbullying memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan mental, termasuk depresi, kecemasan, dan gangguan makan. Mereka juga dapat mengalami penurunan kinerja akademik, dan isolasi sosial. Selain itu, cyberbullying juga dapat mempengaruhi harga diri dan identitas remaja. Korban sering kali merasa malu atau merasa buruk tentang diri mereka sendiri, yang dapat memperburuk masalah kesehatan mental mereka. 

PEMBAHASAN

Cyberbullying merupakan bentuk kekerasan online yang dilakukan untuk merendahkan, melecehkan, dan  mengganggu korban yang menurut pelaku lebih inferior dibanding dirinya. Cyberbullying telah menjadi masalah yang sangat meresahkan, terutama bagi generasi Z sebagai generasi yang tumbuh besar bersama internet. Generasi Z merupakan generasi yang sangat rentan menjadi pelaku maupun menjadi korban dari cyberbullying. Di Indonesia sendiri persebaran korban cyberbullying semakin meningkat seiring semakin luasnya akses internet. Pemahaman yang kurang terhadap literasi digital dan kontrol terhadap gadget oleh orang tua pada anak yang belum tegas menjadikan tindakan cyberbullying semakin marak terjadi. 

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII),menyatakan bahwa generasi Z merupakan generasi dengan pengguna internet terbanyak di Indonesia. Pada awal tahun 2024, pengguna internet pada generasi Z dilaporkan mencapai 34,4 persen, disusul oleh Millenial sebanyak 30,62 persen dan Gen X sebanyak 18,98 persen. Hal ini menimbulkan kekhawatiran baru dimana pengguna media sosial didominasi oleh kalangan generasi Z dan dapat menambah angka kasus cyberbulling. Dilansir dari Katadata.com, menurut Survei Penetrasi Internet dan Perilaku Pengguna Internet di Indonesia 2018 yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa sebanyak 49% pengguna internet pernah dibully di sosial media dengan berbagai bentuk ejekan maupun lecehan.  

Di Indonesia, kasus cyberbullying tidak banyak terungkap. Hal ini disebabkan banyaknya korban yang tidak melapor atau bahkan sekadar bercerita dengan teman, maupun orang tuanya. Motivasi pelaku dalam melakukan cyberbullying terkadang hanya karena iseng atau sekedar main-main, ingin mencari perhatian, marah, frustasi dan balas dendam. Menurut (Rifauddin, 2016) (dalam Willard) macam-macam jenis cyberbullying, yaitu: 

1. Flaming. Mengirimkan pesan teks yang mengandung ujaran amarah dan frontal kepada seseorang.

2. Harassment. Mengirimkan pesan secara terus-menerus.di media sosial dengan tujuan mengganggu korban.

3. Cyberstalking. Melakukan teror dengan mencari identitas asli sehingga korban merasa ketakutan.

4. Denigration. Melakukan teror dan mengumbar-umbar keburukan seseorang di internet dengan masuk merusak reputasi dan nama baik orang tersebut.

5. Impersonation. Melakukan penyamaran dan berpura-pura menjadi orang lain serta mengirimkan pesan yang tidak baik dengan mengatas namakan orang lain.

Data dan Rank Cyberbullying Secara Keseluruhan di Indonesia Terbaru

Digital Civility Index Mei 2020
Digital Civility Index Mei 2020
 

Angka kasus perundungan online atau cyberbullying pada anak dan remaja di Indonesia tergolong tinggi. Data ChildFund terbaru menunjukkan, hampir 60% anak dan remaja mengaku pernah menjadi korban cyberbullying. Sedangkan hampir 50% anak dan remaja mengaku pernah jadi pelaku cyberbullying. Penelitian ChildFund International di Indonesia yang bertajuk "Memahami perundungan Online dan Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Online Terhadap Anak dan Orang Muda di Indonesia" tahun 2022 ini melibatkan 1610 anak dan remaja usia 13-24 tahun. Temuan kunci dalam riset ini, 5 dari 10 anak dan remaja menjadi pelaku perundungan online. Selain itu, 6 dari 10 anak dan remaja menjadi korban perundungan online.

Gangguan Kesehatan Mental Akibat Cyberbullying

 

Digital Civility Index Mei 2020
Digital Civility Index Mei 2020

Penyebab Cyberbullying di Kalangan Generasi Z:

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan cyberbullying marak terjadi pada kalangan muda (Gen Z). Salah satu faktor utama yang melatarbelakangi fenomena tersebut yaitu timbulnya perasaan aman bagi para pelaku terhadap identitas dirinya saat melakukan perilaku cyberbullying. Perubahan akses terhadap berbagai konten dan informasi memungkinkan individu untuk mengakses hal tersebut melalui internet dan mulai meninggalkan dunia konvensional. Hal ini menjadikan individu lebih berani dalam mengekpresikan dirinya di media sosial karena merasa tidak dilihat secara langsung oleh publik. Disamping dampak positif yaitu bebas berekspresi, penggunaan media sosial juga menimbulkan masalah baru, berupa timbulnya perasaan tidak bersalah oleh para pelaku dari cyberbullying karena dapat dengan bebas membagikan ujaran kebencian dan tindakan kekerasan melalui sosial media dengan mudah tanpa memperdulikan dampak apa yang akan terjadi selanjutnya. Individu yang memiliki sifat agresif, impulsif, sadisme, hyperactive, serta manipulatif cenderung menjadi pelaku dari cyberbullying, dikarenakan orang yang memiliki sifat-sifat tersebut tidak ragu untuk menyakiti dan mengancam orang lain demi citra diri dan superioritas mereka. Faktor berikutnya yaitu kesehatan mental yang buruk menjadi pendukung untuk seseorang melakukan cyberbullying, seperti depresi, anxiety, dan machiavellianism yang memberikan dampak kurangnya pengendalian emosi individu yang kurang baik. Selanjutnya yaitu terjadi konflik dalam dunia online yang mampu memberikan ekspresi negatif antar individu dengan tujuan saling menjatuhkan satu sama lain, sehingga memicu terjadinya cyberbullying. Lalu pengalaman kekerasan/bullying yang pernah terjadi pada pelaku cyberbullying, hal ini karena korban bullying cenderung akan melakukan pelampiasan kepada orang lain dengan tujuan orang lain ikut merasakan apa yang pernah dirasakan.

Akibat dari Perilaku Cyberbullying di Kalangan Generasi Z:

Tentu saja dari semua faktor penyebab cyberbullying akan memberikan dampak negatif bagi para korbannya. Perilaku cyberbullying akan berdampak langsung pada kesehatan mental korban. Salah satu dampak yang paling terlihat adalah stress, gelisah, rasa takut terus menerus, serta perasaan terancam oleh pelaku bullying. Hal ini dapat memicu timbulnya kesehatan mental yang lebih buruk lainnya. Selain stress, dampak cyberbullying adalah kecemasan yang berlebihan, dalam hal ini korban akan merasa khawatir dan tidak aman karena merasa terintimidasi sebagai korban dari cyberbullying. Mereka khawatir akan pandangan serta penilaian orang terhadap diri mereka dan ini dapat menyebabkan kesehatan mental yang lainnya seperti gangguan kecemasan sosial, fobia pada sesuatu, hingga gangguan panik. Selain itu,  korban juga dapat mengalami depresi yang merupakan gangguan dengan perasaan sedih yang terus menerus, kehilangan minat, tidak memiliki semangat, dan kurangnya ketertarikan menjalani hidup. Tentu hal ini dapat mengganggu aktivitas sehari-hari korban yang akan memberi dampak buruk pada diri korban jika tidak diatasi dengan cepat. Dampak paling buruk yang mungkin terjadi pada korban cyberbullying adalah bunuh diri, korban yang merasa putus asa dan tidak mampu menyelesaikan permasalahan mereka dapat berfikir bahwa bunuh diri sebagai jalan keluar dari segala permasalahan. Karena itu penting bagi orang sekitar korban untuk memperhatikan mental korban cyberbullying agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Case Cyberbullying 

Kasus Anak 11 Tahun Di Tasikmalaya (2022)

Anak berusia 11 tahun di Tasikmalaya, Jawa Barat, meninggal dunia setelah dibully oleh teman-temannya. Korban dipaksa melakukan hubungan seks dengan kucing, yang kemudian direkam dan d dijejaring siposting melalui media sosial. Tindakan pengancaman tersebut konon membuat korban sangat tertekan hingga jatuh sakit dan meninggal dunia. Polisi telah menetapkan tiga orang teman korban sebagai tersangka dalam kasus ini. Namun ketiga tersangka belum dapat ditangkap karena masih dibawah umur dan akan dikembalikan kepada orang tuanya dengan pengawasan ketat.

PENUTUP 

Kesadaran akan fenomena cyberbullying tidak dapat dianggap masalah sepele, mengingat dampak yang ditimbulkan dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan mental dan kesejahteraan individu. Cyberbullying dapat meninggalkan luka yang mendalam pada korban, berupa turunnya kepercayaan diri, hingga akibat yang paling fatal yaitu melakukan tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, kita semua, sebagai pengguna internet, memiliki tanggung jawab untuk berperan aktif dalam mencegah dan mengatasi cyberbullying.

Salah satu langkah penting yang dapat kita lakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran akan dampak negatif cyberbullying dan tidak menjadi salah satu diantara pelaku cyberbullying. Edukasi mengenai pentingnya berperilaku etis dan menghormati orang lain di dunia maya harus ditanamkan sejak dini, baik melalui lingkungan pendidikan formal maupun nonformal. Selain itu, penting bagi kita untuk selalu bersikap bijak dalam menggunakan media sosial dan internet, dengan tidak menyebarkan konten yang dapat merugikan dan merendahkan martabat orang lain. Mari kita jadikan internet sebagai tempat yang aman, positif, dan inklusif bagi semua orang. Dengan saling menghargai dan mendukung satu sama lain, untuk dapat mewujudkan visi internet yang lebih baik, dimana setiap individu dapat berekspresi tanpa takut menjadi korban cyberbullying.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan penanganan terhadap cyberbullying harus dilakukan secara serius, yaitu dampak psikologis yang ditimbulkan oleh pelaku kepada, seperti depresi, kecemasan, dan bahkan pemikiran untuk bunuh diri. Hal ini dapat memengaruhi korban secara jangka panjang sehingga korban kesulitan menangani dirinya sendiri. Lemahnya perlindungan hukum juga menjadi alasan banyak dari korban yang akhirnya tidak melayangkan laporan, karena pelaku yang terkadang dari keluarga berada. Harapan agar cyberbullying dapat berkurang yaitu dengan kita sebagai masyarakat dapat meningkatkan kesadaran diri mengenai dampak buruk yang ditimbulkan akibat cyberbullying, serta meningkatkan empati dan toleransi sesama agar tidak merasa lebih superior dibanding individu atau kelompok yang lain. Sedangkan solusi yang dapat meminimalisir terjadinya cyberbullying dimedia sosial khususnya kalangan generasi Z, dapat dilakukan pendidikan secara formal maupun nonformal, baik secara mentorship, kemitraan orang tua dan sekolah, serta penyediaan pihak konseling yang profesional. Pengembangan platform aman juga dapat dilakukan dengan regulasi pemerintah agar meminimalisir terjadinya perilaku cyberbullying.

DAFTAR PUSTAKA  

Brequet, T. 2010. Cyberbullying. USA: Rosyen Publishing.

Daradjat, Zakiah. 1984. Kesehatan Mental Peranannya Dalam Pendidikan dan Pengajaran. Jakarta: Bulan Bintang.

Kartono, K. (2013). Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kowalski, R. M., & Limber, S. P. (2013). Psychological, Physical, and Academi

Correlates Of Cyberbullying and Traditional Bullying. Journal of Adolescent Health, 53(1), S13.

Putra, G. L. A. K., & Yasa, G. P. P. A. (2019). Komik sebagai sarana komunikasi promosi dalam media sosial. Jurnal nawala visual, 1(1), 1-8.

Rastati, R. (2016). Bentuk Perundungan Siber di Media Sosial dan Pencegahannya Bagi Korban dan Pelaku. Jurnal Sosioteknologi, Vol 15

Willard, Nancy. (2006). Cyberbullying and Cyberthreats.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun