Sungguh  miris mendengarnya. Satu pejuang TKI menjadi kurban lagi. Entahlah, akan berjatuhan berapa kurban lagi berikutnya hanya masalah perjuangan untuk menyambung hidup dan penghidupan yang layak.
Penderitaan demi penderitaan terus menimpa saudara kita sebangsa dan setanah air. Nyawa warga negara hari ini tidak lebih dari sekedar takaran "nilai devisa" atau bahkan lebih rendah lagi.
Kali ini giliran kurban menimpa saudara kita yaitu saudara Zaini Misrin berasal dari bangkalan Madura yang dieksekusi mati pada Minggu (18/03/2018). Dia akhirnya harus merelakan nyawanya dalam hukuman mati dengan cara sangat tragis yaitu dihukum pancung. Sebuah keputusan sepihak dari kerajaan arab yang konon berdasar-tumpu pada bentuk hukum "syariat islam" yang tidak bisa diganggu gugat. Bahkan sekapasitas Raja Arab sendiri  tidak bisa intervensi setingkat dengan Grasi atau amnesti.
Tapi dalam tulisan ini urgensi Pembahasannya bukan pada konteks mempertanyakan valid tidaknya tingkat kebenaran dari kasus tersebut serta keabsahan dari otoritatif hukum yang diberlakukan disana .
 Karena nasi sudah menjadi bubur. Sang pahlawan dari Bangkalan tersebut sudah tiada lagi. Dengan menyisakan pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Pertanyaan yang terus menggantung seperti layaknya teka-teki tiang gantungan yang siap  menunggu korban ekskusi-eksekusi para TKI berikutnya.
Namun paling tidak tragedi kematian Zaini Misrin mampu menggugah relung kesadaran terdalam rakyat Indonesia akan sisi kemanusiaan yang seringkali luput dari pembahasan keseharian kita. Inti dari subtansi  sebagai warga bangsa adalah hak hidup dan penghidupan yang harus dilindungi  secara layak sekaligus  dijunjung tinggi tanpa terkecuali. Karena siapapun dia selagi masih terdaftar secara dejure dan defacto sebagai warga negara Republik Indonesia harus dibela sampai titik darah penghabisan.
Pada sisi lain kita juga tidak menutup mata bagaimana upaya Pembelaan pada ranah hukum serta pendampingan yang dilakukan oleh Pemerintah lewat Kedubes RI sudah dilakukan secara maksimal.  Bahkan upaya lain yang bersifat diplomatif langsung dilakukan oleh Presiden SBY kala itu untuk meninjau ulang pelaksanan ekskusi hukuman mati terhadap saudara Zaini Misrin. Upaya tersebut terus berlanjut hingga Pemerintahan  Jokowi sekarang ini.
Tidak berhenti disitu, Pendampingan yang bersifat langsung kepada korban sudah dilakukan oleh Organisasi Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Indonesia Kementrian Luar Negeri. Namun ternyata perjungan dari segala lini tersebut harus berakhir sia-sia dan begitu menyakitkan.
Terlepas dari itu semua yang kita pertanyakan adalah mengapa tidak ada otoritas Lembaga hukum internasional yang mampu meninjau ulang pelaksanaan hukuman mati  pada sebuah negara. Jika dipandang melanggar hak-hak Universal atas nama kemanusian. Dan yang jelas hukuman  mati akan selalu bertabrakan dengan prinsip Undang-Undang HAM Internasional.
Kritik oto-kritik terhadap peran pemerintah.
Tibalah saatnya bahwa harga satu nyawa manusia menjadi "representasi" dari harga sebuah bangsa.  Pada konteks  Zaini Misrin dan kasus-kasus yang sudah terlanjur terjadi sebelumnya akan berbanding lurus dengan sebuah pertaruhan dari harga diri sebuah bangsa. Atau lebih tepatnya muncul sebuah adagium baru bagaimana takaran "satu nyawa TKI sama dengan satu kedaulatan RI."
Ketika kasus demi kasus terjadi. Tragedi demi tragedi berlangsung tiada henti maka sudah selayaknya atas nama bangsa dan tegaknya subtansi dari eksistensi kedaulata sebuah negara akan dipertanyakan ulang keberadaannya.
Karena kalau kita kembali pada logika straktats lebih subtansial dari Undang --Undang dasar kita maka disitu sudah termakhtub secara jelas  bahwa negara berkewajiban menjamin disetiap penghidupan yang layak terhadap warga negaranya.
Kalau masuk pada logika hukum dasar Perundang-undangan kita maka semua orang bahkan anak kecilpun sudah hafal bahwa hak hidup dan pekerjaan menjadi tanggung jawab sepenuhnya  Pemerintah sebagai penyelenggara dari sebuah negara.
Lantas untuk apa dan atas tujuan mendasar apa ketika salah satu pasal dari UUD 1945 kususnya pasal yang berbunyi " Orang miskin dan Anak-anak terlantar dipelihara oleh negara".
Kalau menyimk secara seksama dengan penalaran yang jernih dan seimbang maka Pemerintah sebagai penyelenggara negara berkewajiban penuh untuk meliindungi dan menjaga keberlangsungan hidup dan penghidupan setiap warga negaranya.
Pertanyaan berikutnya akan berlanjut pada urusan ketenagakerjaan yang dipekerjakan diluar negeri. Apa yang melatar belakangi nalar logis yang bisa diterima ketika warga negara diperbolehkan dan dilepas berhamburan ke negeri orang. Â Jumlah TKI dari awal Pemerintahan Soeharto hingga sekarang sudah terhitung ribuan bahkan sudah masuk dalam hitungan jutaan. Dari itu semua seringkali luput dari pantuan jeli catatan admisnistrasi sipil kependudukan kita.
Anehnya Pemerintah sejak dulu malah merasa "tertolong" dan sedikit mendongak bangga sembari menyebutnya sebagai "pahlawan devisa". Bukankah ini sebuah cermin bahwa nalar kolektif kita sebagai bangsa sudah "kebelinger"(terpleset) Â sangat jauh dan dalam.Karena senyatanya status mereka disana adalah sebagai "buruh upahan" yang danggap kuli rendahan masuk pada sektor pekerjaan sebagai "buruh rumah tangga dan sebagai pekerja kasar.
 Konteksnya bukan pada sebuah jawaban bahwa disana harga pekerjaan dinilai sangat mahal dibanding upahan didalam negeri sendiri. Tetapi harus kita kembalikan pada urusan  perlindungan dan kelayakan hidup sebelum warga negara tersebut "memutuskan" untuk hengkang bertaruh hidup dinegeri jiran.
Mungkin  pada sebuah momentum tertentu yang bersifat pengecualian  bisa saja eksodus warga negara akan dianggap logis. Satu misal pada saat tertentu di dalam negeri kita memang sedang berlangsung  kejadian luar biasa seperti dirundung  sebuah "perang sauadara " atau mungkin bencana alam sedang melanda.
Namun selama ini kasus mengalirnya tenaga-kerja kita keluar negeri lebih disebabkan oleh nalar dasar yang begitu naif untuk disepakati. Yaitu setali tiga uang antara warga, pemerintah dan agent bisnis ketenagakerjaan.
Pada konteks inilah kemudian penulis menemukan sebuah argumentasi awal yang menggerakakan sistem cara pandang dan cara berfikir yang sama-sama tersesat dan menyesatkan. Biarpun para pelaku dari berlangsungnya sebuah sistem ini akan berdalih bahwa dalam kacamata ekonomi pragmatis tidak ada yang dirugikan. Artinya bisnis ini sama-sama untung. Pada sisi pekerja mendapat upah tinggi, Lembaga penyalur mengantongi untung besar dan pemerintah "merasa lega" karena berkurangnya umlah pengangguran usia produktif. Â
Dari praktek demikian pertanyaan umum akan mengemuka, lantas apa yang salah dari sistem yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun tersebut.
Menakar ulang "rasa-prihatin dan kepedulian" kita.
Pertanyaan demi pertanyaan diatas sudah terlalu  lama tercecer dan mengeram hingga menyesakkan dada kita. Bahkan problem kemanusian yang mendera bangsa ini sudah sekian lama "dipeti-eskan".  Sehingga berjibun dan segudang problem yang menimpa warga bangsa kita hanya berhenti dimeja "perdebatan dan perselisihan" pendapat tanpa adanya moratorium yang berarti.
Sebenarnya para founding fathers kita disaat bercita-cita ingin mendirikan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat lebih digerakkan oleh semangat dan spirit kemanusian yang tinggi dan meluap-luap. Selain berfikir dengan nalar filosofis umumnya kaidah sebuah negara-bangsa berdiri, sejatinya mereka tidak hanya  digerakkan oleh supra-nalar dan logika yang berkembang tentang konsep nation-state. Namun lebih mulia dari itu.  Gamblang dan terang benderang kita ingat seperti dalam pembukaan UUD 1945 yang secara tersirat menyebutkan bahwa "kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan".
Jelas dan tegas tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kata-kata Kemerdekaan,kemanusiaan dan keadilan menjadi tonggak tiang penyangga yang dijadikan perisai dan pondasi bagi berlangsungnya kehidupan. Sehingga diatas segala-galanya sebuah negara terbentuk harus dilandasi tiga nilai-nilai utama ini.
Saatnya keluarkan "opsi untuk menarik kembali TKI dari Arab Saudi."
Benar juga apa yang dikatakan oleh Muhaimin iskandar ( Mantan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi) yang dapat penulis simpulkan bahwa apapun cara pembelaan dan upaya pendampingan TKI di Arab Saudi akan terbentur  dan menabrak tembok yang sulit untuk dijebol. Hal ini terkait dengan konstitusi, aturan dasar sebuah negara yang mereka terapkan di sana  sangat jauh berbeda dengan Undang-Undang dasar serta perdaban dan kultur yang kita jalani. Ada prinsip-prinsip nilai kadaban dn kemanusian yang tidak mungkin dikompromian antara kita dan mereka.
Dengan dasar ini dan beranjak dari tragedi demi tragedi yang terus berjalan dengan tidak adanya kepastian maka sudah saatnya Pemerintah untuk  meninjau ulang kebijakannya  terkait dengan Ketenagakerjaan TKI kita yang ada diluar negeri. Sikap ini  akan berlaku juga terhadap pelaksaana teknis terkait dengan sistem pelembagaan ketenagakerjaan yang cenderung menjadi bisnis memilukan karena mengais keuntungan dengan memanfaatkan keringat dan derita sesama saudara kita  sendiri.
Dengan mengaca dari kasus-demi kasus yang terus menimpa  TKI baik itu berbentuk penipuan dan  penelantaran yang berakibat kerugiaan materi dan immaterial maka sudah saatnya Pemerintah untuk merombak kebijakannya secara total.
Diantara kebijakan tersebut adalah Pertama adanya upaya untuk segera mengambil alih seluruh kegiatan teknis pemberangkatan Ketenagakerjaan Luar negeri yang dikelola oleh pihak swasta. Â Pengambil alihan ini didasarkan pada pemahaman tentang "skill and professionalitas" yang sangat minim bahkan cenderung dipaksakan guna memburu quota dan rupiah.
Keduasegera menutup akses penyaluran TKI ke negara tujuan Aab Saudi sekaligus menarik seluruh TKI yang ada disana.  Pertimbanganya adalah  lebih dikarenakan ketidakjelasan kapastian hukum terkait dengan kasus pembunuhan dan pemerkosaan oleh para majikan yang terus berlangsung tanpa sepengetahuan pihak Indosensia. Hal ini lebih didasarkan karena absenya Notifikasi yang menjadi kunci untuk menindak lanjuti setiap kasus yang terjadi.
Ketiga Merevitalisasi departemen  ketenagakerjaan bukan hanya sebuah institusi "penyuluhan dan penyalur ekspor buruh murah" namun harus dirombak menjadi lembaga yang lebih professional mendidik sekaligus solusi berkesinambungan dari potensi sumberdaya manusia sehingga tidak terjadi pengangguran produktif  yang merajalela. Mengingat Indonensia akan Boomming manusia usia produktif pada tahun 2030 atau yang lebih kita kenal dengan "Bonus Demografi".
Akhirnya kembali pada sebuah kesimpulan bahwa tidak ada sebuah perjuangan dan pengurbanan  akan berakhir dengan sia-sia karena Pejuang-pejuang TKI  sudah berguguran demi mempertahankan  sebuah prinsip yang lebih agung dan mulia. Agenda berikutnya adalah menunggu kepastian dan keberanian Pemerintah untuk mengambil sikap tegas dan jelas mensikapi tragedi tersebut. Karena satu nyawa TKI sama dengan harga diri kedaulatan RI. Â
Magelang, 22 Maret 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI