Ketika kasus demi kasus terjadi. Tragedi demi tragedi berlangsung tiada henti maka sudah selayaknya atas nama bangsa dan tegaknya subtansi dari eksistensi kedaulata sebuah negara akan dipertanyakan ulang keberadaannya.
Karena kalau kita kembali pada logika straktats lebih subtansial dari Undang --Undang dasar kita maka disitu sudah termakhtub secara jelas  bahwa negara berkewajiban menjamin disetiap penghidupan yang layak terhadap warga negaranya.
Kalau masuk pada logika hukum dasar Perundang-undangan kita maka semua orang bahkan anak kecilpun sudah hafal bahwa hak hidup dan pekerjaan menjadi tanggung jawab sepenuhnya  Pemerintah sebagai penyelenggara dari sebuah negara.
Lantas untuk apa dan atas tujuan mendasar apa ketika salah satu pasal dari UUD 1945 kususnya pasal yang berbunyi " Orang miskin dan Anak-anak terlantar dipelihara oleh negara".
Kalau menyimk secara seksama dengan penalaran yang jernih dan seimbang maka Pemerintah sebagai penyelenggara negara berkewajiban penuh untuk meliindungi dan menjaga keberlangsungan hidup dan penghidupan setiap warga negaranya.
Pertanyaan berikutnya akan berlanjut pada urusan ketenagakerjaan yang dipekerjakan diluar negeri. Apa yang melatar belakangi nalar logis yang bisa diterima ketika warga negara diperbolehkan dan dilepas berhamburan ke negeri orang. Â Jumlah TKI dari awal Pemerintahan Soeharto hingga sekarang sudah terhitung ribuan bahkan sudah masuk dalam hitungan jutaan. Dari itu semua seringkali luput dari pantuan jeli catatan admisnistrasi sipil kependudukan kita.
Anehnya Pemerintah sejak dulu malah merasa "tertolong" dan sedikit mendongak bangga sembari menyebutnya sebagai "pahlawan devisa". Bukankah ini sebuah cermin bahwa nalar kolektif kita sebagai bangsa sudah "kebelinger"(terpleset) Â sangat jauh dan dalam.Karena senyatanya status mereka disana adalah sebagai "buruh upahan" yang danggap kuli rendahan masuk pada sektor pekerjaan sebagai "buruh rumah tangga dan sebagai pekerja kasar.
 Konteksnya bukan pada sebuah jawaban bahwa disana harga pekerjaan dinilai sangat mahal dibanding upahan didalam negeri sendiri. Tetapi harus kita kembalikan pada urusan  perlindungan dan kelayakan hidup sebelum warga negara tersebut "memutuskan" untuk hengkang bertaruh hidup dinegeri jiran.
Mungkin  pada sebuah momentum tertentu yang bersifat pengecualian  bisa saja eksodus warga negara akan dianggap logis. Satu misal pada saat tertentu di dalam negeri kita memang sedang berlangsung  kejadian luar biasa seperti dirundung  sebuah "perang sauadara " atau mungkin bencana alam sedang melanda.
Namun selama ini kasus mengalirnya tenaga-kerja kita keluar negeri lebih disebabkan oleh nalar dasar yang begitu naif untuk disepakati. Yaitu setali tiga uang antara warga, pemerintah dan agent bisnis ketenagakerjaan.
Pada konteks inilah kemudian penulis menemukan sebuah argumentasi awal yang menggerakakan sistem cara pandang dan cara berfikir yang sama-sama tersesat dan menyesatkan. Biarpun para pelaku dari berlangsungnya sebuah sistem ini akan berdalih bahwa dalam kacamata ekonomi pragmatis tidak ada yang dirugikan. Artinya bisnis ini sama-sama untung. Pada sisi pekerja mendapat upah tinggi, Lembaga penyalur mengantongi untung besar dan pemerintah "merasa lega" karena berkurangnya umlah pengangguran usia produktif. Â