Mohon tunggu...
Galih Ludiroaji Anggraito
Galih Ludiroaji Anggraito Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Permen LHK No 17 Tahun 2020: Multikulturalisme Bersyarat untuk Masyarakat Adat

29 Juni 2021   00:15 Diperbarui: 29 Juni 2021   00:20 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasca Putusan MK No. 35 Tahun 2012, belum ada UU yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat. tersegmentasinya peraturan yang ada (melalui Perda dan Permen) menyadarkan urgensi pembentukan aturan sekaliber UU (sesuai hierarki perundang-undangan) untuk menyelaraskan, menjamin dan melindungi hak masyarakat adat. 

Salah satu cara yang dapat ditempuh ialah menentukan definisi dan hak spesial untuk masyarakat hukum adat dengan konsekuensi proses yang kompleks seperti kartografi dan community-based mapping, investigasi genealogi dan urutan umur, antropologi budaya, linguistik dan arkeologi, studi dan pengolahan lahan, dokumentasi dan menerjemahkan tradisi lisan, dan pengarsipan (Tyson, 2011).

b) Permen LHK No 17 Tahun 2020 sebagai Pendekatan

Multikulturalisme Dari berbagai catatan yang sudah dituliskan, maka penulis menilai bahwa kehadiran Permen LHK No. 17 Tahun 2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak merupakan upaya untuk mengakomodasi model masyarakat Multikulturalisme Otonomi yang didefinisikan oleh Hasan dan Mubit (2016). 

Mereka adalah kelompok kelompok kultural utama yang berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Prinsip-prinsip pokok kehidupan kelompok-kelompok dalam multikultural jenis ini adalah mempertahankan cara hidup mereka masing masing yang memiliki hak-hak sama dengan kelompok dominan.

Sesuai dengan konsep tersebut, penulis menilai Permen LHK No 17/2020 merupakan upaya negara untuk mewujudkan kehidupan yang beraneka ragam dengan berusaha mengakui hutan adat yang dimiliki oleh masyarakat adat. Hal tersebut sejalanan dengan pendekatan integrationist approach yang mempromosikan kehidupan multikulturalisme melalui pengakuan hutan adat sebagai hutan milik masyarakat adat. Melalui pengakuan hutan adat, identitas entitas, ras, etnis semakin menguat karena ciri khasnya diakui seperti yang tercermin dalam model salad bowl (Sutrisno & Karim, 2021).

Sebagai pendekatan multikulturalisme, pengakuan dan perlindungan yang dijanjikan dalam Permen LHK No. 17 Tahun 2020 dapat masuk ke dalam kategori ketiga dalam model milik (Parekh, 1997) yakni model multikultural-etnik. Model ini berusaha mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif sebagai realitas yang harus diakui dan diakomodasi oleh negara. Dalam model ini, identitas dan asal-usul warga negara menjadi komponen yang penting untuk diperhatikan. 

Model ini menjadi tepat untuk diterapkan pada negara-negara yang memiliki persoalan tentang “pribumi” dan/ atau orang pendatang (migran) seperti Kanada dan Australia. Kebijakan ini dirumuskan bukan hanya dengan mengakui keanekaragaman kolektif dan etnik tetapi juga isu tentang mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. 

Penulis menilai persoalan-persoalan tersebut juga terjadi dalam realita masyarakat adat di Indonesia. Lebih spesifik lagi dalam hak atas hutan adat dimana kelompok mayoritas yang hidup di hutan adat tidak berarti menjadi dominan karena kekuasaan berada pada kelompok yang minoritas yakni negara tetapi berkedudukan lebih dominan dalam hal klaim kekuasaan dan ekonomi.

Secara keseluruhan, penulis menilai terbitnya Permen LHK ini adalah upaya pemerintah untuk merekognisi masyarakat adat sebagai perwujudan multikulturalisme. Namun disisi lain, kebijakan ini masih terlalu bersifat prosedural dan berbelit-belit. Pun, model multikultural-etnik belum dapat dikatakan sepenuhnya mewujudkan multikulturalisme untuk masyarakat di Indonesia karena tahapan pengakuan masih berada di permukaan yang memakan banyak waktu, biaya, dan tenaga untuk advokasi kebijakan. 

Pemerintah belum memiliki komitmen politik penuh untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat dan hutan adatnya karena ketentuan yang diatur masih terbatas dalam hal administratif. Belum ada bukti konkrit dari performa Permen LHK No. 17 Tahun 2020 dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakat adat melalui pelaksanaan hak spesial secara politik, sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun