Fenomena single parent beberapa dekade terakhir ini menjadi marak terjadi diberbagai Negara di seluruh dunia. Sejalan dengan berubahnya gaya hidup dan datangnya modernisasi angka perceraian di seluruh dunia mengalami peningkatan. Di Amerika Serikat angka perceraian meningkat dengan tajam sejak tahun 1960-an.Â
Pada awal tahun 1970-an satu dari setiap tiga perkawinan di Amerika berakhir dengan perceraian, di Jerman Barat perbandingannya satu dari tujuh perkawinan, di Jepang satu dari sepuluh. Angka perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun juga menunjukkan peningkatan yaitu satu dari lima perkawinan (Gunadi, 2006).
Pada tahun 2003 di Australia terdapat 14 % keluarga dari keseluruhan jumlah keluarga masuk dalam kategori single parent sedangkan di Inggris pada tahun 2005 terdapat 1,9 juta single parent dan 91 % dari angka tersebut dalah wanita dari single parent (Yuni, 2008).
Menurut Susilo Wibowo (2002) perbandingan jumlah janda di Indonesia adalah 469:100, artinya jumlah duda atau pria tidak menikah berusia 60 tahun ke atas jumlahnya hanya seperlima dari jumlah janda, sementara di Jepang rasionya 364:100,  Pakistan  (357:100),  Jerman  (305:100),  Filipina  (258:100),  Amerika Serikat (218:100), Cina (193:100) dan India (295:100).Â
Menurut Dian (2009), hal ini disebabkan karena wanita memiliki usia rata-rata yang lebih panjang, umumnya wanita menikah dengan pria yang lebih tua usianya dan lebih banyak duda yang menikah kembali sehingga lebih banyak jumlah janda dibanding duda.
Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik tahun 1994 (dalam Hapsari S. rini, 1999) menunjukan bahwa jumlah wanita di Indonesia yang menjadi kepala rumah tangga karena bercerai sebanyak 778.156 orang dan karena kematian suami berjumlah 3.681.568 orang (total 4.459.724).Â
Sedangkan pada tahun 2004, berdasarkan data Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), terdapat sedikitnya 40 juta jiwa di Indonesia yang kepala keluargan yang berstatus janda. Ini berarti terjadi kenaikan jumlah orang tua tunggal wanita hampir sepuluh kali lipat selama rentang waktu sepuluh tahun.
Single parent yang mengalami destruktif dan dimarjinalkan oleh masyarakat mendorong para pemerhati untuk melakukan tindakan agar mereka keluar dari kemelut dan masalah yang dihadapi, pemerhati itu ada yang berasal dari kalangan internal dan adapula dari kalangan eksternal dan masyarakat luas.Â
Dari internal tercatat pada perempuan yang berstatus janda yang kemudian membentuk organisasi seperti di India yang menamakan diri Trust Loomba. Organisasi ini yang didirikan oleh Raj Loomba dan istrinya, Veena, pada 1997 ini dimaksudkan untuk mendidik anak-anak janda miskin di India sehingga mereka dapat memiliki masa depan yang lebih baik.
Perhatian masyarakat internasional tentang nasib single perent juga diperlihatkan oleh istri perdana menteri Tony Blair . Di sebuah acara makan siang pada 26 Mei 2005 yang dilaksanakan oleh Trust Loomba (sebuah yayasan amal) istri perdana menteri Inggris Tony Blair, Cherie Blair mengusulkan agar ada hari janda Interrnasional yang ditetapkan pada tanggal 23 Juni.Â
Usul tersebut diterima dan secara resmi diumumkan di PBB pada 21 Oktober 2005, di hadapan Kofi Annan (Sekjen PBB saat itu), ditetapkan tanggal 23 Juni setiap tahun dijadikan sebagai Hari Janda Sedunia atau International Widow Day (Susilo .W. 2004).