Membiarkan mereka berjuang sendiri tanpa perhatian dari berbagai pihak, sama halnya menelantarkan sebagian keluarga dan masyarakat, khusunya generasi muda. Oleh sebab itu perlu keinginan kuat (political will), baik dalam bentuk regulasi maupun kebijakan pemerintah yang menempatkan mereka pada posisi setara dengan keluarga-keluarga lainnya.
Single parent adalah sebuah keniscayaan, tentu saja tak ada yang menginginkan, namun karena sebuah realitas maka tidak ada jalan lain kecuali harus dihadapi, oleh sebab itu bagi mereka yang mengalaminya diharapkan untuk optimis bahwa masa depan tetap menjanjikan harapan yang lebih baik.Â
Khusus kepada masyarakat tentu diharapkan akan memberi ruang yang lebih besar, dan konstruk sosial yang selama ini melekat bahwa single parent adalah status yang destruktif perlu dirubah, oleh sebab itu perlu rekonstruksi agar mindset masyarakat mengarah kepada pengembangan, bukan menyudutkan apalagi memarjinalkan sebagaimana terjadi di beberapa negara Afrika dan Asia.Â
Realitas Single Parent
Konstruk masyarakat tentang single parent sudah berlangsung sejak dulu, mereka menganggapnya sebagai status yang kurang baik, bahkan terutama mereka yang mengalaminya dengan perceraian sangat dibenci oleh keluarga dan masyarakat.Â
Demikian pula halnya status janda dan wanita bercerai yang masih muda, seringkali dicurigai dengan berbagai kemungkinan, apakah akan merebut suami orang ataukah mengganggu ketentraman rumah tangga orang lain.Â
Hal inilah yang juga seringkali dialami oleh perempuan single parent yang membuatnya tidak leluasa bergaul, bepergian, atau berinteraksi dengan banyak orang.Â
Sebagian masyarakat kita, janda dianggap sebagai orang sial, apalagi ditinggal mati oleh suaminya secara berulang, bahkan diberi lebel negative terutama janda yang bercerai dengan berbagai sebab.
Dalam sejarah banyak kisah-kisah dimana single parent mendapat perlakuan yang kurang baik. Dalam tradisi Bibel disebutkan bahwa imam tidak bisa menikah dengan janda, atau seorang wanita yang diceraikan, atau seorang pelacur.Â
Demikian halnya di Arab sebelum Islam bahwa seorang janda dianggap sebagai bagian dari property, artinya bahwa janda bisa saja diperlakukan sebagai benda milik layaknya harta tak bergerak yang dapat dijual atau dipertukarkan atau diserahkan kepada orang lain. Bahkan dapat diwariskan kepada orang lain.
Di seluruh dunia, menurut Gottman, J dan DeClaire, ( 1998) janda menderita akibat perlakuan diskriminatif dan kekerasan. Dalam banyak kasus, mereka terdesak ke masyarakat marjinal, terjebak dalam kemiskinan, dan rentan menerima tindak kekerasan dan eksploitasi, mereka dijauhkan dari aset dan properti suami serta diusir dari rumah keluarga. Karena tidak memiliki uang, janda-janda malang itu tidak bisa membiayai anak-anak mereka.