Mohon tunggu...
Gagas Mabrur
Gagas Mabrur Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Hidup

Penilik aksara, Penikmat kopi pahit. "manusia terbatas, aku bebas" https://kangmabrur.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jenuh

27 Mei 2020   00:53 Diperbarui: 27 Mei 2020   01:00 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
photos: Pixabay.com

Bagaimana mungkin seseorang terjerembab dalam kesalahan yang sama berulang-ulang? Apakah ini sebuah penyesalan? Apa mungkin ini hanya dinamika menuju pendewasaan? Atau ini semacam keangkuhan diri karena berpikir semua akan berjalan sesuai keinginan? 

Aku menikmati malam ini dengan sebuah kegundahan, dan hanya seorang diri. Ditemani bayanganmu, yang masih hadir dalam setiap pikirku. Mengungkapkan hanya menjadi persoalan, sedangkan memendam hanya menjadi keresahan. Lalu, aku memilih diam dan menikmati lamunan sepanjang malam ini.

Di sudut kota sepi dengan bertemakan pandemi, nampak di mataku mereka duduk bersama menikmati keindahan lampu kota yang berkedip. Menghitung roda yang melintas kencang didepan matanya. 

Namun sesekali mereka hanya menatap garis jalan, mungkin sembari berkhayal. Menjadi superhero atau pahlawan yang datang di saat genting, mengalahkan musuh dengan satu jurus andalan, kemudian tak lama berselang kawan musuh akan datang untuk membalas dendam. 

Dan masih sama, pahlawan akan datang dengan jurus andalan. Sampai kemudian alur ceritanya tak terduga, melebar kemana-mana, dan akhirnya kebingungan sendiri. Ya, itulah anak-anak.

Ketika dua roda melintas lagi, mereka berebut untuk memilikinya. Mengklaim bahwa itu adalah miliknya, dan berharap suatu nanti akan memenangkan pertarungan balapan untuk memperebutkan pengakuan. Kupikir hanya itu yang ada di pikirnya. Atau mungkin dia punya hal lain yang tak bisa kutebak. 

Aku dulu pernah pada posisi itu, dan melihat mereka membuatku sedikit bernostalgia. Tapi entah kenapa yang muncul bukan khayalan itu, tapi lagi-lagi tentang perempuan yang masih kupikirkan sampai detik ini. Perempuan yang pernah aku lepaskan demi kebaikan diri, atau mungkin itu hanya kenaifanku saja. Terlalu naif mengakui diri sendiri. Terlalu takut untuk sesuatu hal yang pasti.

"mas, heiii.....mas?"

"mas....heiii "

Kualihkan ingatanku pada suara itu. Tersadarkan oleh suara anak kecil yang menyentuh telingaku.

"heiiii tayooooo" kemudian mereka tertawa terbahak-bahak.

Haaadehhh...prank anak kecil ternyata. Setidaknya yang aku tahu mereka semua lagi bahagia dengan itu. Kurasa aku harus duduk bersama mereka, menikmati kehidupan yang secara hakikatnya. Dibanding mereka, aku hanya seseorang yang lemah, manusia yang selalu mengeluh, seperti bean paling berat ada pada hidupku. 

Padahal, manusia tak seharusnya selalu berpikir, manusia juga mempunyai hak untuk hidup yang lebih baik, berhak berjalan dengan jalan yang membuatnya bahagia. 

Aku tahu soal itu, tapi pendewasaan ini membuatku merasa kesulitan menjalani hidup. Sejatinya, semakin manusia menuju dewasa semakin terbatas. Ia yang dewasa dibelenggu dengan ketakutan-ketakutan hati untuk melakukan sesuatu yang ia inginkan. Kuakui itu, tak salah lagi.

Arloji menunjukan angka 11. Dan aku masih berdiam diri sambil merenung, mengingat, merencanakan apa yang pantas dengan hidupku selanjutnya. Bagaimana nanti aku masuk dunia sesungguhnya, dunia kerja, dunia yang diselimuti beban tanggungjawab. Pun keluarga, aku anak sulung yang punya beban memberikan jalan bagi adik-adikku. 

Punya beban mengangkat keluarga pada tingkat yang lebih tinggi. Siap tak siap, itu hal yang harus segera aku lalui dari titik ini. Meninggalkan kesenangan yang kekanak-kanakan, dan beranjak pergi dari ladang kesenangan semu. Semua rencana telah aku susun, tinggal menunggu tanggal eksekusi. Tetapi, lagi-lagi aku teringat tentangnya, perempuan itu.

Setelah beberapa saat, namanya muncul pada pikiranku. Vira, ia Vira. Setelah aku sadar, aku adalah laki-laki yang bodoh. Membiarkan arogansiku mengedari kepalaku. Dulu, ia sangat peduli padaku. Tapi, mungkin saat ini kebalikannya. Ia menegasikan semua sikapnya dulu padaku. Dan aku tak menyalahkannya. Aku pantas menerimanya. 

Saat itu, dua perempuan menhampiriku, salah satunya adalah dia. Kita pernah menjalani hari-hari bersama, meski tak lama. Namun pada akhirnya, aku memilih untuk tidak memilih keduanya, dan saat itu pula ia beranggapan bahwa aku menghianatinya. 

Semua selesai begitu saja, menyisakan sedikit rasa sesal padaku, tapi dengan angkuhnya rasa itu selalu kutolak. Ia pergi, hanya meninggalkan sepi. Dua bulan berjalan, perempuan yang ia cemburui memang masih berhubungan denganku, dan hanya sebatas teman bagiku. 

Suatu hari, pada akhirnya aku menerimanya kembali, bukan karena cinta, karena aku tak tahu harus bilang apa. Karena dia selalu ada, dia selalu menanyakan keberadaanku. Tetapi, setelah hari-hari berjalan, semakin membuatku tersiksa dengan rasa bersalah. Dengan keduanya, dan yang paling kusesali adalah dengannya, Vira.

Pada akhirnya aku menikmati hari dengan rasa yang tak sepenuhnya aku inginkan. Seringkali aku berharap dapat mengungkapkan isi diriku yang sebenarnya, tapi itu tidak mungkin kulakukan. Selain aku semakin menyakitinya, aku juga masih memiliki hubungan dengan perempuan lain. Itulah yang kupikirkan. 

Kupikir dengan aku menjauh dan sesekali hanya mengamatinya dari jauh kuharap dapat membuatnya semakin bahagia. Ya, kuucapkan selamat untuk itu. Yang aku tahu, saat ini aku harus bekerja keras dengan apa yang menjadi impianku, tanggungjawabku sebagai laki-laki dalam keluarga. 

Tidak ada yang lebih penting dari itu bagiku. Keluarga adalah segalanya. Aku harus menebus apa yang telah dilakukan oleh kedua orang tuaku. Akan kubalas mereka sebelum matahari terbenam, sebelum malam datang. Akan kusegerakan!

"Ahhh sialan....perasaan memang membingungkan"

Kubangunkan diriku dari lamunan, lalu berjalan menuju seseorang yang berjualan pentol. Ini adalah makanan paling umum di lingkunganku. Kupesan tiga bungkus, lalu kupanggilkan anak-anak kecil itu. Lalu kutinggalkan mereka. 

Mereka memandangiku, dengan nada malu-malu mengiringi pergiku sembari mengungkapkan terimakasihnya. Pentol itu adalah bentuk terimakasihku pada mereka. Setidaknya mereka yang telah menemaniku pada malam ini, meski mereka tak tahu soal itu. Mungkin hadirku juga seperti pentol itu bagi Vira, kuharap ia tak terlalu membenciku, karena aku masih ingin peduli dengannya.

Malam ini berakhir, berganti dengan dini hari. Aku harus kembali pada hidupku. Berlarut pada pikiran tak merubah apapun, itu yang aku tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun