Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Begini yang Aku Lakukan Ketika Ada Siswa Mengacungkan Jari Tengah

27 November 2023   03:27 Diperbarui: 27 November 2023   05:15 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Usai makan siang di Mensa aka kantin sekolah, aku menuju ruang GTB - Ganztagsbetreuung. Itu adalah ruangan khusus bagi kami melakukan kegiatan bersama anak-anak saat istirahat. Mulai dari bermain mainan yang tersedia, menggambar sampai membuat hasta karya. 

Selama ini, aku paling senang mengajarkan anak-anak tentang ramah lingkungan. Sehingga aku suka ada ide memanfaatkan sampah rumah tangga sebagai bahan prakarya. 

Waktu itu aku mengajari anak-anak cara membuat malaikat dari kertas koran yang dilipat seperti kipas. Satu besar sebagai badan dan satu kecil sebagai sayap. Di tengah dikaitkan sebuah mutiara dari kayu berwarna putih dengan menggunakan benang dan jarum. Jadi!

Sedang asyik-asyiknya kami membuatnya, tiba-tiba kudengar ada teriakan dari anak-anak perempuan yang sedari tadi bermain di Bananan Insel (Banana = pisang, Insel= pulau). Itu adalah sebuah pojok santai yang dilengkapi dengan sofa seperti balok-balok, yang kalau dirangkai, bentuknya mirip pisang. Seorang anak perempuan memasuki ruangan GTB:

"Ibu Stegmann, ada anak kelas 6 yang gangguin kami." Matanya menatapku yang masih memegang gunting.

"Memangnya mereka ngapain?" Aku letakkan gunting di meja dan meminta izin seorang Betreuerin, teman kerja yang membantu aku sebagai guru mengawasi anak-anak. Ia adalah seorang nenek yang sudah pensiun. Akupun keluar ruangan dan menuju anak-anak itu.

Kelebatan anak-anak di lantai atas tertangkap oleh mataku. Akupun menyuruh mereka turun, tapi tidak ada siapapun yang aku temui di lantai bawah tempat kami berada. Itu terjadi selama 3 kali. Sampai akhirnya lonceng berbunyi tanda istirahat usai dan anak-anak harus kembali ke kelas untuk membuat PR. Anak-anak kelas 6 yang menggangu tadi aku lihat sedang menuruni tangga. Mereka aku dekati:

"Kalian tahu apa yang terjadi?" Mataku menatap anak berbadan tinggi dan besar itu.

"Nggak tahu." Ia mengangkat kedua bahunya.

"Mengapa anak-anak di Bananen Insel melapor kalau kalian mengganggu mereka?" Aku masih mengejarnya dengan pertanyaan.

"Aku nggak ngapa-ngapain." Si anak membela diri.

"Kalau nggak ngapa-ngapain mengapa mereka harus repot bilang ke aku? Kamu tahu tidak? Tadi ada anak kecelakaan aku rawat di sana jam 12.15. Lalu anak-anak ini mau main di tempat yang sama, tidak aku izinkan. Baru jam 12.30 ketika si anak yang kecelakaan dijemput anaknya, mereka boleh bermain. Sejak itu mereka bermain dengan baik dan tenang. Tidak ada keributan, sampai kamu datang. Mengapa begitu?"

"Mereka membuatku marah. Ada anak yang mengacungkan jari tengah padaku." Kata si anak lelaki kelas 6 itu.

"Kalau kamu nggak mengganggu mereka, pasti itu tidak terjadi." Suaraku mulai meninggi.

"Aku nggak takut sama kamu. Kepala sekolah akan membelaku. Aku kenal baik dengannya." Ia mendekatiku dengan nada yang ikutan tinggi.

"Kamu ini lucu. Aku di sini bekerja untuk merawat anak-anak dan aku dibayar. Kamu malah kadang harus membayar di sekolah. Kepala sekolah mempercayaiku untuk mendidik kalian, bukan sebaliknya." Suaraku masih keras.

Si anak lelaki dan kawan-kawannya meninggalkan kami, walau perbincangan belum selesai. Di pintu keluar, ia menunjukkan jari tengahnya. Itu dibalas satu anak perempuan yang diganggu. Aku menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Eh, si anak lelaki mengulangi lagi di luar. Dari pintu kaca, aku melihatnya sambil geleng kepala.

Koordinasi dengan tim GTB

Aku meminta anak-anak perempuan tersebut untuk tidak usah mengurusi apa yang terjadi barusan dan meminta mereka untuk merapikan balok-balok dan kembali ke  kelas. Selama 1 jam, aku berada di kelas 4 untuk mengawasi mereka membuat PR dan membantu jika ada masalah dalam menyelesaikan PR atau kalau ada yang ramai di kelas, aku harus mengingatkan mereka untuk tetap konsentrasi dan tidak menggangu kawan-kawan lainnya.

Kemudian, aku meninggalkan kelas untuk menuju Cafe lama, demi mengajari anak-anak yang tertarik musik belajar angklung. Senang sekali bahwa aku diberi kebebasan untuk mengembangkan bakat anak-anak sesuai ketertarikan mereka dan menyesuaikan dengan talenta yang aku punyai. Sejam kemudian, aku mengirim mereka ke halte bus depan sekolah untuk menuju rumah. Tugas selesai. Betul juga kata pak Jokowi. Tugas guru itu memang bikin stress, mengurusi anak-anak orang lain, jumlahnya sakndayak alias banyakkkk!

Keesokan harinya, aku masuk kerja lagi. Seperti biasa, aku akan bekerja di dalam kantor. Baru setelah makan siang, aku mengurusi anak-anak. Nah, di meja yang diduduki 8 Erzieher/innen atau kalau di Indonesia mungkin mirip guru BK (Bimbingan Konseling), aku cerita kejadian itu. Aku meminta pendapat mereka apakah pantas kalau aku yang pekerja baru, melaporkan ini ke guru kelas dan ingin menyelesaikannya. Alamat si ibu di "Teams" (aplikasi yang kami punyai untuk berkomunikasi dengan semua guru di sekolah sampai kepala sekolah) aku dapatkan. Segera aku kirim pesan singkat, mengisahkan perihal di atas.

Koordinasi dengan guru kelas

Tak disangka, dibalas si ibu. Ia bahkan memanggilku dengan nama depan. Di Jerman, kalau baru kenal biasanya akan menggunakan ibu (Frau) atau pak (Herr). Sebuah hal yang manis kalau ia membuatku lebih dekat dengannya, tanpa jarak. Ia memahami bahwa dasar laporan tersebut supaya si anak diberi pelajaran, dididik untuk hormat kepada orang yang lebih tua. Meskipun aku guru baru, walau aku orang asing/Asia, dikata aku bertubuh mungil tetap harus dihormati.

Si ibu guru berjanji kami akan bertemu 6 mata di cafe sekolah. Aku tunggu-tunggu, ternyata si ibu lupa. Maklum, banyak kerjaan, banyak anak-anak,  stress sehingga nggak ingat waktu. Janji kedua dibuat. Si ibu bilang akan menjemputku di kantor GTB tempatku duduk bersama 9 rekan lainnya dan menuju cafe sekolah.

Kamipun berdiskusi. Namanya anak-anak. Selalu bilang "nggak, aku nggak mengacungkan jari tengah kepada bu Stegmann." Di taman kanak-kanak selama 3 tahun, kami mengajari anak-anak untuk memanggil kami dengan nama depan. Alasannya, supaya ada hubungan dekat antara anak-anak yang dititipkan (umur 0-6 tahun) dengan kami, para guru (Erzieher/in) Sedangkan di tingkat SD sampai ke atas, anak-anak Jerman diharuskan memanggil dengan bu atau pak dan nama keluarganya. Beda, ya. Lucu juga kalau anak-anak yang dulu TK nya sama aku lalu masuk SD, mereka selalu memanggilku Gana. Padahal harusnya Frau Stegmann. Butuh waktu untuk pembiasaan ini. 

Dalam diskusi tentang pengacungan jari tengah ini, si ibu guru mengatakan sangat tidak setuju jika itu dilakukan anak didiknya. Lagian, ia selalu membuat gara-gara di manapun ia berada. Sebagai guru, ia ingin membantu tetapi si anak juga harus berusaha keras untuk merubah. 

Satu hari sebelum dan setelah kejadian dengan aku, rupanya si anak juga bikin masalah lagi. Aku maklum, ia datang dari pendidikan orang tua yang menurutku dengan kekerasan. Kolegaku cerita bahwa ia kenal bapak - ibunya. 

Si ibu selalu berpendapat bahwa kalau anaknya memukul anak lain tapi tidak berdarah, namanya tidak memukul tapi hanya mendorong saja. Si bapak, tukang tinju yang badannya seperti pintu. 

Kasihan sebenarnya si anak lanang. Pasti takutnya hanya sama orang tua, sama orang lain nggak. Apalagi sama anak-anak dari kelas yang lebih rendah. 

Aku pikir, ia ingin membuktikan bahwa ia kuat, ia harus dihormati dan seterusnya oleh anak-anak yang lebih kecil atau lebih muda. Anak laki-laki yang kadang pipinya merah seperti tomat itu tampaknya sedang mencari sesuatu dalam hidupnya. Cinta dan kehangatan.

Langkah yang sebaiknya ditempuh untuk menyelesaikan masalah 

Perbincangan alot karena ternyata si anak tidak mengakui apa yang dilakukkannya. 

Mataku memandanginya dan mengatakan, "Kalau kamu menyangkal, menurutmu kalau aku panggil si Lea, si Sofie, si Martha, si Mina, si Asiyah, apakah mereka akan mengiyakan pengakuanmu atau mendukung apa yang aku katakan?" Wajahku mengarah ke kanan di mana   si ibu guru duduk, yang lantas menganggukkan kepala sembari berujar "Zeugin", aka saksi mata.

Si ibu segera memberikan ultimatum, "Aku beri waktu satu minggu sampai kamu meminta maaf kepada bu Stegmann. Entah kamu menulis surat permintaan maaf, entah kamu mengirim sekotak coklat, entah kamu mengirim setangkai bunga, terserah. Intinya kamu harus mengungkapkan perasaan bersalah. Karena aku yakin bu Stegmann nggak bohong tapi kamu kan langganan bohong." Si ibu guru memandangiku. Aku mengangguk.

Aku  bilang padanya bahwa aku adalah pendidik. Kalau ada anak yang nggak bener, harus aku beritahu. Waktu sebelum kejadian, aku pernah mengawasinya di jam di mana aku mengajar tari. 

Alasannya, guru yang biasanya mengawasi dia bersama teman-teman lainnya sedang liburan. Karena muridku cuma tiga saja, aku harus menerima 7 siswa lainnya untuk ikutan menari. Supaya mereka ada kegiatan. Tadinya ia dan the gang nggak mau. 

Baru setelah aku bilang "Mau ikut jam menari selama sejam, atau kalian menulis satu halaman penuh bahwa kalian nggak mau ikut pelajaranku?" Akhirnya, aku bahagia sekali, mereka mau menari bersama kami sampai lonceng berbunyi tanda kami semua harus meninggalkan ruang olahraga dan menuju halte bus sekolah. Pulang!

Jadi kalau kami sudah damai, aku pun janji masih minat untuk mengawasinya pada jam terakhir, jika gurunya nggak datang.

***

Seminggu berlalu. Aku nggak menyangka bahwa aku dicegat seorang anak yang aku kenal. Ah, yang mengacungkan jari tengah kepadaku!

Hari itu, ia mengucapkan minta maaf. Aku pura-pura nggak mendengar dan memintanya mengulangi. Indah sekali didengar.

"Baik, aku terima tapi jangan diulangi lagi, ya. Sudah sana pulang. Hati-hati." Aku tinggalkan dia yang menggotong ranselnya pelan tapi pasti. Tanganku yang tadi merasa keberatan dengan barang-barang yang aku bawa (loudspeaker, ipad, kertas dokumen), tiba-tiba terasa ringan. Memang betul bahwa setiap anak itu seperti tabula rasa berwarna putih, kitalah orang dewasa yang mewarnainya. Jangan rusak mereka. Sekali mereka rusak, perbaiki mereka dengan hati dan pikiran.

Beginilah indahnya hidup sebagai seorang guru. Kalian berani menerima tantangan jadi guru? Guru tanpa tanda jasa, semoga masuk surga.

Selamat malam. (G76)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun