"Kalau nggak ngapa-ngapain mengapa mereka harus repot bilang ke aku? Kamu tahu tidak? Tadi ada anak kecelakaan aku rawat di sana jam 12.15. Lalu anak-anak ini mau main di tempat yang sama, tidak aku izinkan. Baru jam 12.30 ketika si anak yang kecelakaan dijemput anaknya, mereka boleh bermain. Sejak itu mereka bermain dengan baik dan tenang. Tidak ada keributan, sampai kamu datang. Mengapa begitu?"
"Mereka membuatku marah. Ada anak yang mengacungkan jari tengah padaku." Kata si anak lelaki kelas 6 itu.
"Kalau kamu nggak mengganggu mereka, pasti itu tidak terjadi." Suaraku mulai meninggi.
"Aku nggak takut sama kamu. Kepala sekolah akan membelaku. Aku kenal baik dengannya." Ia mendekatiku dengan nada yang ikutan tinggi.
"Kamu ini lucu. Aku di sini bekerja untuk merawat anak-anak dan aku dibayar. Kamu malah kadang harus membayar di sekolah. Kepala sekolah mempercayaiku untuk mendidik kalian, bukan sebaliknya." Suaraku masih keras.
Si anak lelaki dan kawan-kawannya meninggalkan kami, walau perbincangan belum selesai. Di pintu keluar, ia menunjukkan jari tengahnya. Itu dibalas satu anak perempuan yang diganggu. Aku menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Eh, si anak lelaki mengulangi lagi di luar. Dari pintu kaca, aku melihatnya sambil geleng kepala.
Koordinasi dengan tim GTB
Aku meminta anak-anak perempuan tersebut untuk tidak usah mengurusi apa yang terjadi barusan dan meminta mereka untuk merapikan balok-balok dan kembali ke kelas. Selama 1 jam, aku berada di kelas 4 untuk mengawasi mereka membuat PR dan membantu jika ada masalah dalam menyelesaikan PR atau kalau ada yang ramai di kelas, aku harus mengingatkan mereka untuk tetap konsentrasi dan tidak menggangu kawan-kawan lainnya.
Kemudian, aku meninggalkan kelas untuk menuju Cafe lama, demi mengajari anak-anak yang tertarik musik belajar angklung. Senang sekali bahwa aku diberi kebebasan untuk mengembangkan bakat anak-anak sesuai ketertarikan mereka dan menyesuaikan dengan talenta yang aku punyai. Sejam kemudian, aku mengirim mereka ke halte bus depan sekolah untuk menuju rumah. Tugas selesai. Betul juga kata pak Jokowi. Tugas guru itu memang bikin stress, mengurusi anak-anak orang lain, jumlahnya sakndayak alias banyakkkk!
Keesokan harinya, aku masuk kerja lagi. Seperti biasa, aku akan bekerja di dalam kantor. Baru setelah makan siang, aku mengurusi anak-anak. Nah, di meja yang diduduki 8 Erzieher/innen atau kalau di Indonesia mungkin mirip guru BK (Bimbingan Konseling), aku cerita kejadian itu. Aku meminta pendapat mereka apakah pantas kalau aku yang pekerja baru, melaporkan ini ke guru kelas dan ingin menyelesaikannya. Alamat si ibu di "Teams" (aplikasi yang kami punyai untuk berkomunikasi dengan semua guru di sekolah sampai kepala sekolah) aku dapatkan. Segera aku kirim pesan singkat, mengisahkan perihal di atas.
Koordinasi dengan guru kelas