Tak disangka, dibalas si ibu. Ia bahkan memanggilku dengan nama depan. Di Jerman, kalau baru kenal biasanya akan menggunakan ibu (Frau) atau pak (Herr). Sebuah hal yang manis kalau ia membuatku lebih dekat dengannya, tanpa jarak. Ia memahami bahwa dasar laporan tersebut supaya si anak diberi pelajaran, dididik untuk hormat kepada orang yang lebih tua. Meskipun aku guru baru, walau aku orang asing/Asia, dikata aku bertubuh mungil tetap harus dihormati.
Si ibu guru berjanji kami akan bertemu 6 mata di cafe sekolah. Aku tunggu-tunggu, ternyata si ibu lupa. Maklum, banyak kerjaan, banyak anak-anak, stress sehingga nggak ingat waktu. Janji kedua dibuat. Si ibu bilang akan menjemputku di kantor GTB tempatku duduk bersama 9 rekan lainnya dan menuju cafe sekolah.
Kamipun berdiskusi. Namanya anak-anak. Selalu bilang "nggak, aku nggak mengacungkan jari tengah kepada bu Stegmann." Di taman kanak-kanak selama 3 tahun, kami mengajari anak-anak untuk memanggil kami dengan nama depan. Alasannya, supaya ada hubungan dekat antara anak-anak yang dititipkan (umur 0-6 tahun) dengan kami, para guru (Erzieher/in) Sedangkan di tingkat SD sampai ke atas, anak-anak Jerman diharuskan memanggil dengan bu atau pak dan nama keluarganya. Beda, ya. Lucu juga kalau anak-anak yang dulu TK nya sama aku lalu masuk SD, mereka selalu memanggilku Gana. Padahal harusnya Frau Stegmann. Butuh waktu untuk pembiasaan ini.
Dalam diskusi tentang pengacungan jari tengah ini, si ibu guru mengatakan sangat tidak setuju jika itu dilakukan anak didiknya. Lagian, ia selalu membuat gara-gara di manapun ia berada. Sebagai guru, ia ingin membantu tetapi si anak juga harus berusaha keras untuk merubah.
Satu hari sebelum dan setelah kejadian dengan aku, rupanya si anak juga bikin masalah lagi. Aku maklum, ia datang dari pendidikan orang tua yang menurutku dengan kekerasan. Kolegaku cerita bahwa ia kenal bapak - ibunya.
Si ibu selalu berpendapat bahwa kalau anaknya memukul anak lain tapi tidak berdarah, namanya tidak memukul tapi hanya mendorong saja. Si bapak, tukang tinju yang badannya seperti pintu.
Kasihan sebenarnya si anak lanang. Pasti takutnya hanya sama orang tua, sama orang lain nggak. Apalagi sama anak-anak dari kelas yang lebih rendah.
Aku pikir, ia ingin membuktikan bahwa ia kuat, ia harus dihormati dan seterusnya oleh anak-anak yang lebih kecil atau lebih muda. Anak laki-laki yang kadang pipinya merah seperti tomat itu tampaknya sedang mencari sesuatu dalam hidupnya. Cinta dan kehangatan.
Langkah yang sebaiknya ditempuh untuk menyelesaikan masalah
Perbincangan alot karena ternyata si anak tidak mengakui apa yang dilakukkannya.
Mataku memandanginya dan mengatakan, "Kalau kamu menyangkal, menurutmu kalau aku panggil si Lea, si Sofie, si Martha, si Mina, si Asiyah, apakah mereka akan mengiyakan pengakuanmu atau mendukung apa yang aku katakan?" Wajahku mengarah ke kanan di mana si ibu guru duduk, yang lantas menganggukkan kepala sembari berujar "Zeugin", aka saksi mata.