Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mandalika, Banyak PR yang Harus digarap di Sana

19 November 2023   02:20 Diperbarui: 19 November 2023   06:02 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan-jalan, kulineran atau naik kuda (dok.Gana)

Mandalika. Nama tempat wisata ini sempat berkesan karena Komunitas Traveler Kompasiana yang aku dirikan bersama teman-teman traveler mania di Kompasiana, pernah menjalankan event meramaikan event Mandalika yang dibesut kemenparekraf RI di sana.

Aku bilang waktu itu, "Ah, andai saja aku bisa ikut, pasti senang, walau panas-panas nggak ada pohon untuk berteduhpun aku rela...." Nyatanya, aku  nggak ikut event Kompasiana di sana. Rejeki orang memang sudah ada yang ngatur. Aku belum hoki saat itu. Yang aku bisa, hanya bermimpi....

Mimpi memang sebagian dari masa depan. Setahun kemudian, siapa sangka, aku bersama keluarga benar-benar datang ke tempat wisata ini. Tuhan memang menyayangiku. Seolah jeritan hatiku itu sampai juga kepada pencipta keindahan alam Indonesia yang tiada tara. Semoga tulisanku ini akan menginspirasi kalian semua, jangan pernah takut untuk bermimpi. Akan ada energi yang tercipta untuk menggapainya menjadi nyata. Percayalah!

Saat di Jerman, aku pandangi peta Indonesia. Lombok itu kan luas. Sebagai wisatawan, kami bingung memilih. Tinggal di Gili Trawangan atau di Senggigi? Senggigi! Pilihan suami itu karena tempatnya asri, sepi dan nyaman. Menginap di Senggigi selama beberapa hari, kami ada ide untuk ikut tur sehari keliling Lombok. Karena waktunya nggak banyak, dipilih tempat-tempat tertentu sesuai kesepakatan dengan agen koperasi wisata di pantai Senggigi. Usai kelar mengunjungi Desa Adat Sade, kami menuju Mandalika. Aku ingin ke sana, pengen ngasih lihat keluargaku tentang sirkuit Mandalika yang sempat heboh waktu itu karena ada race di sana.

Jalan-jalan, kulineran atau naik kuda (dok.Gana)
Jalan-jalan, kulineran atau naik kuda (dok.Gana)

Ngeroket Sama ayam

Sampai di sana, terik matahari memang sudah ada di ubun-ubun. Artinya, perut harus sudah diisi. Keliling ke sana-ke mari, kami pilih "Rocket Chicken." Ya, ampun, jauh-jauh dari Jerman makannya chicken, juga. Anak-anak yang minta, sih. Ya, sudahlah, yang tua mengalah. Ibuku, eyang putrinya anak-anak juga menurut. Padahal kami sudah ngiler ingin mencicipi masakan tradisional khas Mandalika di warung-warung. Lidah anak-anak memang kudu dilatih keras.

RC. Namanya cepat saji. Kami melahapnya dengan cepat, seperti roket meluncur ke udara. Sambal instannya memang masih kami suka. Nyam-nyam. Kulihat ibuku juga menikmati, walau mungkin terbilang agak keras karena ibuku sudah sepuh. Gigi ibu sudah tidak sekuat semasa muda. Apalagi gigi orang Indonesia tidak seperti gigi orang Jerman yang diperiksa setiap 6 bulan sekali. Baru ke dokter gigi kalau sudah akut dan suka makan yang manis dan minum es.

Suamiku membayar di kasir, aku minta si mbak untuk membungkuskan satu buat pak sopir. Pikirku pasti dia lapar mengantar seharian. Apalagi sebentar lagi kami akan jalan-jalan di pantai Mandalika. Namanya piknik pasti lama. Kasihan kalau lapar dan harus menunggu. Si bapak happy melihat bungkusan untuknya, yang tak disangka-sangka. Rejeki manusia memang bisa datang kapan saja, tanpa direncana. Rejeki bisa dibagi-bagi.

Senangnya piknik ke Mandalika sama ibu (dok.Gana)
Senangnya piknik ke Mandalika sama ibu (dok.Gana)

Selamat datang di Mandalika

Tulisan "Kuta Mandalika" menarik mulutku untuk komat-kamit, membacanya dalam hati. Sampai sudah kami di pantai yang begitu indah dipagari oleh bukit-bukit unik yang di Jerman nggak ada. Karena panas, aku buka payung-payung. Satu untukku dan satu untuk ibuku. Anak-anak dan suami amat menikmati sengatan matahari yang di tempat kami tinggal, nggak digelar sepanjang tahun. Banyak gelapnya, jadi sengat matahari harus dinikmati kehangatannya.

Sembari duduk di tembok, kami menatapi pantai yang terbentang luas. Aku terdiam sembari mataku nanar memandanginya. Sebenarnya perlu banyak pembenahan dan peningkatan. Misalnya tempat sampah yang sebaiknya disebar di banyak titik, tempat duduk atau taman yang tertata dan nyaman, yang paling penting pohon-pohon rindang. Lantas toilet dan warung yang harus memadai, dengan standar kebersihan yang utama. Ada lagi  usul dari kalian yang pernah ke sana?

Bibir ibu tampak pucat. Perjalanan ke Lombok ini  pasti panjang dan melelahkan ibuku. Tapi tekatku waktu itu menyala supaya ibu sekali-kali liburan bersama kami. Hal yang tentu jarang kami lakukan karena kami tinggal berjauhan. Aku di Jerman, ibuku di Indonesia. Kalau ada rejeki, baru kami pulang setahun sekali. Ibu masih duduk sambil memegangi payung kuat-kuat supaya nggak terbang terbawa angin. Kutatap ibu dari bibir pantai. Ibuku lelah tapi aku tahu ibu senang.

Suamiku duduk di sebelah ibu. Ibuku selalu memanggil suamiku dengan panggilan "Sayang." Iri? Tidak, aku tidak iri. Aku bahkan bahagia dan bangga kalau ibu menyayangi suamiku, lelaki yang menjagaku jauh dari tanah air. Tanpa dia, mana mau aku jauh dari Indonesia. No peto.

Memandangi pasir coklat susu yang kupijak, aku menangkap sandal warna pelangi ibu yang aku beli di Jerman. Kata ibu, enak buat jalan. Empuk. Bentuknya sih sebenarnya nggak cantik, nggak lancip seperti sepatu-sepatu syantik yang biasa dipakai para artis. Crog ibu melebar seperti kaki bebek. Yang penting untuk Kesehatan, itu nomor satu.


Pedagang wastra datang dari segala penjuru

Beberapa penjual yang mengikuti kami dari restoran, masih nggak beranjak dari tempat berdirinya.

"Kan tadi sudah aku borong tiga?" Aku pura-pura cemberut. Anak-anak dan suami sudah melirik. Mereka nggak suka kalau aku terlalu  banyak belanja. Koperku bakal nggak muat, dan biasanya menitip barang di koper mereka. Hahaha ... pelit!

"Ini teman saya belum dilarisi." Si mbak yang tadi sudah aku kasih Rp 500.000,00 menggeret teman di sebelahnya. Si teman segera memperlihatkan kain-kain Lombok dagangannya.

"Hedeh, kalau semua yang jualan di sini harus aku larisi, gantian aku yang dagang karena bangkrut nggak punya duit. Ya, sudah, sini lihat. Ada sarung warna hitam nggak?" Dasar aku ini, orangnya galak tapi biasanya nggak tegaan. Kemudian aku pilih-pilih kain yang ada di depan mataku. Ibuku tersenyum. Mungkin saja ia setuju kalau aku beli. Ibu juga orang seni, menyukai wastra.

Hasilnya bisa ditebak, dompetku menipis dan tasku tambah berat. Ya, sudahlah aku pikir ini untuk oleh-oleh ke Jerman, bisa kupakai untuk menari atau pameran tentang Indonesia.

Sudah punya kaos Mandalika?

Tahu tidak, apa lagi kejadian yang akan menimpa kami? Tiga orang penjual kaos Mandalika menyerbu kami. Mataku mencari-cari sosok anak-anak dan suami. Ke mana mereka?

"Kaos Mandalika, bu." Si mas bertopi mendekat. Tumpukan kaos yang dibungkus plastik transparan diikat tali rafia. Aku jadi ingat pedagang pasar Johar.

"Nggak mas. Sudah borong kain." Aku menolak dengan senyuman mengembang. Ibuku mendekat, memilih-milih kaos. Katanya untuk oleh-oleh anak-anaknya aka saudara-saudaraku.

"Satu berapa, pak?" Ibuku bertanya. Tangannya memegang kaos paling atas.

"Seratus ribu, bu." Si pedagang buru-buru membuka tali Rafia. Menghaturkan ukuran S, M dan L.

"Lah kalau suamiku 5XL karena orang asing. Ini ukuran orang Indonesia kan?" Aku bingung. Ibuku gimana, sih. Bukankah kami berencana nggak beli. Kok, belanja? Buntutnya, aku ikut tertarik membeli. Akhirnya aku pilih warna genjreng merah dan kuning serta putih, dengan tulisan Mandalika dan gambar pembalap. Semua untukku, ukuran S. Kalau belikan suami dan anak-anak nanti pasti tidak dipakai. Eman-eman, hanya memenuhi lemari baju.

Ngomong-ngomong soal pedagang di sekitar Mandalika, aku berharap mereka menuju UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang maju dan makmur. Ke depan, supaya ada kampung seni yang mewadahi mereka, mirip kayak di Borobudur atau di Pasar Seni Kualalumpur, yang tentunya berdekatan dengan obyek wisatanya. Di mana akan banyak turis yang mampir setelah menikmati keindahan alam Mandalika. Aku ingat berapa lama sudah pandemi memporak-porandakan perekonomian Indonesia dan para pedagang yang mengandalkan konsumen yakni wisatawan, terkena dampaknya. Sangat pedih, nggak ada yang beli. Mereka makan apa?

Menikmati pantai Mandalika

Acara belanja selesai. Aku merasa ada yang lain. Eh, kok sepi? Baru sadar kalau keluargaku  sudah menghilang entah ke mana. Sebelum meninggalkan pantai untuk mencari keluargaku, kuminta ibu untuk pasang aksi sebagai kenang-kenangan. Aku abadikan gaya ibu dengan latar belakang pemandangan yang indah. Barangkali ini akan menjadi jawabanku atas rasa bersalah nggak bisa merawat ibu di masa tua. Aku sering iri pada kalian, pada siapapun yang bisa merawat orang tuanya kapan saja mereka mau. Aku nggak bisa. Hanya bisa kalau pas liburan begini. Tapi mungkin Gusti sudah mengaturnya begitu. Supaya kami benar-benar memanfaatkan waktu yang ada, semaksimal mungkin. Tanpa kuaba-aba, ibu mengangkat jempol. Barangkali ibu mau bilang, "Mandalika jempolan, aku diajak anak wedok ke sini, lho."

Aku ngakak. Ibuku memang lugu tapi itu yang justru tak tergantikan. Habis memotretnya, aku meminta ibu untuk ganti menjepretku dengan kamera DSRL yang pasti aku yakin banget, berat diangkat ibu. Suami dan anak-anak sudah ngabur, sih. Mereka ini memang kalau jalan-jalan maunya cepat-cepat, alias nggak menikmati. Huh!

Dari jauh, kulihat suami dan anak-anak melambai dari sebuah balkon restoran. Ah, rupanya mereka ini sedang menikmati es jus dengan pemandangan pantai Mandalika yang cantik. Aku dan ibu menyusul. Kami pesan es jus alpokat. Ibu girang. Ibu suka es dan suka yang manis-manis, padahal larangan keras. Ah, ibu.

Anak-anak mulai turun mendekat para anjing liar yang berkeliaran di pelataran restaurant, dekat jalan raya. Anak-anak kami memang suka hewan. Maklum, dibesarkan di daerah hutan dan pegunungan, mereka sangat dekat dengan hewan-hewan. Apalagi anjing adalah hewan kesayangan orang Jerman. Aku sudah takut kalau anak-anak ada yang digigit. Nyatanya nggak seperti yang aku khawatirkan. Aman. Waktu aku masih di pantai, rupanya mereka sudah jalan menyusuri promenade pantai yang dipenuhi kembang Bougenville. Menyusuri jalan paving yang dipenuhi jajaran pedagang kaki lima, aku lihat ada yang menjual sate ayam dan daging, es kelapa muda, lontong sate asli Mandalika, jagung rebus dan masih banyak lagi. Anak-anak cerita kalau mereka membagikan makanan anjing pada anjing yang ada di sana. Sampai-sampai mereka diikuti seorang pemuda dengan scooter. Ia menawarkan anak-anak kami untuk digonceng. Untung anak-anakku nggak mau. Kata mereka, si bocah bilang "I love you." Hedeh. Jangan, deh. Yang lain saja, mas!

Sirkuit Mandalika

Satu jam berlalu. Kami meninggalkan restaurant. Tak lupa kami sudah mampir ke toilet, supaya nggak repot dalam perjalanan kembali ke Senggigi. Sebelum meninggalkan Mandalika, aku punya satu permintaan kepada supir untuk lewat sirkuit Mandalika, supaya suami bisa main Drone daripada harus mengitari 120 hektar lahan di sana.  Beberapa orang sudah ada di tenda track walk. Kami menunggu di luar.

Nantinya, kami bisa tonton di Jerman, kayak apa sih sirkuit yang pernah heboh diributin para pembalap dunia itu. Sirkuit yang katanya ramai oleh Asia Talent Cup dan Superbike World Championship tahun 2021 dan balap motor Grand Prix tahun 2022. Tentunya kebanggaan bagi orang Indonesia, walau masih ada PR yang harus digarap. Seperti apakah semua lahan yang kena proyek sudah dibayarkan ke pemiliknya atau apakah kasus yang disampaikan kepada PBB tentang gugatan dari suku sasak yang menganggap proyek Mandalika ini merebut rumah, lahan dan kehidupan mereka sudah selesai. Jangan tanya pada rumput yang bergoyang. 

Usai menyimak kisahku ini, semoga banyak inspirasi yang bisa kalian ambil. Pertama soal mimpi, bahwa ini harus kita gantungkan setinggi bintang di langit, supaya gemerlap sampai menjadi nyata. Kedua, bahwa Indonesia itu  betapa luas dan indahnya. Sebagai bangsa Indonesia, kita harus ikut mempromosikannya dengan datang dan menceritakannya pada dunia. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun