Hasilnya bisa ditebak, dompetku menipis dan tasku tambah berat. Ya, sudahlah aku pikir ini untuk oleh-oleh ke Jerman, bisa kupakai untuk menari atau pameran tentang Indonesia.
Sudah punya kaos Mandalika?
Tahu tidak, apa lagi kejadian yang akan menimpa kami? Tiga orang penjual kaos Mandalika menyerbu kami. Mataku mencari-cari sosok anak-anak dan suami. Ke mana mereka?
"Kaos Mandalika, bu." Si mas bertopi mendekat. Tumpukan kaos yang dibungkus plastik transparan diikat tali rafia. Aku jadi ingat pedagang pasar Johar.
"Nggak mas. Sudah borong kain." Aku menolak dengan senyuman mengembang. Ibuku mendekat, memilih-milih kaos. Katanya untuk oleh-oleh anak-anaknya aka saudara-saudaraku.
"Satu berapa, pak?" Ibuku bertanya. Tangannya memegang kaos paling atas.
"Seratus ribu, bu." Si pedagang buru-buru membuka tali Rafia. Menghaturkan ukuran S, M dan L.
"Lah kalau suamiku 5XL karena orang asing. Ini ukuran orang Indonesia kan?" Aku bingung. Ibuku gimana, sih. Bukankah kami berencana nggak beli. Kok, belanja? Buntutnya, aku ikut tertarik membeli. Akhirnya aku pilih warna genjreng merah dan kuning serta putih, dengan tulisan Mandalika dan gambar pembalap. Semua untukku, ukuran S. Kalau belikan suami dan anak-anak nanti pasti tidak dipakai. Eman-eman, hanya memenuhi lemari baju.
Ngomong-ngomong soal pedagang di sekitar Mandalika, aku berharap mereka menuju UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang maju dan makmur. Ke depan, supaya ada kampung seni yang mewadahi mereka, mirip kayak di Borobudur atau di Pasar Seni Kualalumpur, yang tentunya berdekatan dengan obyek wisatanya. Di mana akan banyak turis yang mampir setelah menikmati keindahan alam Mandalika. Aku ingat berapa lama sudah pandemi memporak-porandakan perekonomian Indonesia dan para pedagang yang mengandalkan konsumen yakni wisatawan, terkena dampaknya. Sangat pedih, nggak ada yang beli. Mereka makan apa?
Menikmati pantai Mandalika
Acara belanja selesai. Aku merasa ada yang lain. Eh, kok sepi? Baru sadar kalau keluargaku sudah menghilang entah ke mana. Sebelum meninggalkan pantai untuk mencari keluargaku, kuminta ibu untuk pasang aksi sebagai kenang-kenangan. Aku abadikan gaya ibu dengan latar belakang pemandangan yang indah. Barangkali ini akan menjadi jawabanku atas rasa bersalah nggak bisa merawat ibu di masa tua. Aku sering iri pada kalian, pada siapapun yang bisa merawat orang tuanya kapan saja mereka mau. Aku nggak bisa. Hanya bisa kalau pas liburan begini. Tapi mungkin Gusti sudah mengaturnya begitu. Supaya kami benar-benar memanfaatkan waktu yang ada, semaksimal mungkin. Tanpa kuaba-aba, ibu mengangkat jempol. Barangkali ibu mau bilang, "Mandalika jempolan, aku diajak anak wedok ke sini, lho."