Selamat datang di Mandalika
Tulisan "Kuta Mandalika" menarik mulutku untuk komat-kamit, membacanya dalam hati. Sampai sudah kami di pantai yang begitu indah dipagari oleh bukit-bukit unik yang di Jerman nggak ada. Karena panas, aku buka payung-payung. Satu untukku dan satu untuk ibuku. Anak-anak dan suami amat menikmati sengatan matahari yang di tempat kami tinggal, nggak digelar sepanjang tahun. Banyak gelapnya, jadi sengat matahari harus dinikmati kehangatannya.
Sembari duduk di tembok, kami menatapi pantai yang terbentang luas. Aku terdiam sembari mataku nanar memandanginya. Sebenarnya perlu banyak pembenahan dan peningkatan. Misalnya tempat sampah yang sebaiknya disebar di banyak titik, tempat duduk atau taman yang tertata dan nyaman, yang paling penting pohon-pohon rindang. Lantas toilet dan warung yang harus memadai, dengan standar kebersihan yang utama. Ada lagi usul dari kalian yang pernah ke sana?
Bibir ibu tampak pucat. Perjalanan ke Lombok ini pasti panjang dan melelahkan ibuku. Tapi tekatku waktu itu menyala supaya ibu sekali-kali liburan bersama kami. Hal yang tentu jarang kami lakukan karena kami tinggal berjauhan. Aku di Jerman, ibuku di Indonesia. Kalau ada rejeki, baru kami pulang setahun sekali. Ibu masih duduk sambil memegangi payung kuat-kuat supaya nggak terbang terbawa angin. Kutatap ibu dari bibir pantai. Ibuku lelah tapi aku tahu ibu senang.
Suamiku duduk di sebelah ibu. Ibuku selalu memanggil suamiku dengan panggilan "Sayang." Iri? Tidak, aku tidak iri. Aku bahkan bahagia dan bangga kalau ibu menyayangi suamiku, lelaki yang menjagaku jauh dari tanah air. Tanpa dia, mana mau aku jauh dari Indonesia. No peto.
Memandangi pasir coklat susu yang kupijak, aku menangkap sandal warna pelangi ibu yang aku beli di Jerman. Kata ibu, enak buat jalan. Empuk. Bentuknya sih sebenarnya nggak cantik, nggak lancip seperti sepatu-sepatu syantik yang biasa dipakai para artis. Crog ibu melebar seperti kaki bebek. Yang penting untuk Kesehatan, itu nomor satu.
Pedagang wastra datang dari segala penjuru
Beberapa penjual yang mengikuti kami dari restoran, masih nggak beranjak dari tempat berdirinya.
"Kan tadi sudah aku borong tiga?" Aku pura-pura cemberut. Anak-anak dan suami sudah melirik. Mereka nggak suka kalau aku terlalu banyak belanja. Koperku bakal nggak muat, dan biasanya menitip barang di koper mereka. Hahaha ... pelit!
"Ini teman saya belum dilarisi." Si mbak yang tadi sudah aku kasih Rp 500.000,00 menggeret teman di sebelahnya. Si teman segera memperlihatkan kain-kain Lombok dagangannya.
"Hedeh, kalau semua yang jualan di sini harus aku larisi, gantian aku yang dagang karena bangkrut nggak punya duit. Ya, sudah, sini lihat. Ada sarung warna hitam nggak?" Dasar aku ini, orangnya galak tapi biasanya nggak tegaan. Kemudian aku pilih-pilih kain yang ada di depan mataku. Ibuku tersenyum. Mungkin saja ia setuju kalau aku beli. Ibu juga orang seni, menyukai wastra.