April, April. Kok, saya senang banget, ya? Bukan karena April Mop yang terkenal sedunia itu. Bukan! Melainkan sebulan ini, saya nggak usah masuk kuliah.
Horeee... Aduh, senengnya nggak usah belajar berlembar-lembar materi yang hanya sepertiganya saja saya pahami.
Lagian, habis banyak ujian minggu terakhir di bulan Maret, saya serasa pasrah bongkokan dengan nilai beberapa mata kuliah yang dipastikan anjlok karena memang jawaban yang saya tulis ngalor-ngidul. Bahasa Jerman mah susah. Enakan bahasa Indonesia. Tapinya, mana bisa? Makanya males kuliah untuk sementara waktu. Istirahat. Beruntung sekali ada jadwal praktek.
Selama bulan April, saya hanya diwajibkan untuk bekerja di taman kanak-kanak selama seminggu dan di sebuah sekolah dasar di desa sebelah selama 3 minggu.
Sebagai salah satu mahasiswi jurusan Ilmu Pendidikan Sosial kampus kota sebelah, program dual, saya memang harus kuliah dan harus bekerja. Namanya juga dikasih uang saku, ada semangatttt. Dan April ini, hanya bekerja, catat!
Bagaimana caranya mencari tempat magang SD di Jerman?
Trauma dengan masa lalu mencari tempat magang di taman kanak-kanak. Di mana dari tujuh TK, nggak ada satupun yang menerima saya. Barusan lamaran kedelapan langsung diterima.
Iya, di tempat saya bekerja sekarang ini. Gampang-gampang susah memang untuk mendapatkan kepercayaan orang Jerman. Itu sebagai pengejawantahan peribahasa "Was der Bauer nicht kennt, frisst er nicht" (Petani Jerman tidak memakan apa yang tidak biasa dimakan).
Dan tahun ini, setelah beberapa bulan sebulannya melamar ke 2 SD negeri dan 1 SD swasta, saya mendapat jawaban 1 SD negeri dan 1 SD swasta, bahwa saya boleh magang di tempat mereka.
Aih, senengnya, saya menang milih. Terpilihlah SD negeri, karena kebetulan guru pembimbing saya pernah magang di sana dan ceritanya mengesankan.
Berkas yang saya kirimkan adalah surat lamaran, CV, nilai rapor semester terakhir, fotokopi sertifikat penghargaan mendapatkan nilai baik dari kampus dan surat rekomendasi dari pimpinan mengenai bagaimana saya selama ini bekerja di TK.
Hal yang harus saya ingat dari melamar ini adalah harus hati-hati memeriksa nama dan alamat yang lengkap dan tepat. Kejadian, saya salah menulis nama keluarga karena tertukar dengan alamat lain.
Misalnya harusnya Ibu Melanie Kuhl di SD A dan Ibu Klaudia Winter di SD B, saya tulis Ibu Melani Winter di SD A.
Untungnya, mereka memaklumi dan hanya meminta pengiriman ulang melalui surel.
Aduh, saya malunya nggak karuan. Walaupun yang salah hanya bagian amplopnya saja, tetap saja merasa nggak professional atau asal-asalan. Ih, sembrono dipiara! Gemes.
Asyiknya menjadi guru pendamping anak-anak pengungsi
Waktu saya ditanya teman-teman, "Lah kamu bahasa Jermannya grotal-gratul begitu, bagaimana mengajar di SD?"
Kalau di TK kan anak nangis, nggak perlu ngomong banyak tapi anak cukup disayang sudah diam, beres kerjaan. Beda.
Kemudian pertanyaan lain lagi, "Kerjaan kamu di SD apa saja? Kamu bisa? Seharian di SD, kamu nggak pusing? Anak-anak pasti lebih nakal dan lebih bandel dari anak TK", dan pertanyaan lainnya.
Mana bisa saya jawab pertanyaan tersebut? Kan belum dicoba, guys? Baru bisa menjawab setelah ada pengalaman.
"When we'll never try, we'll never know," kata mas Chris dari Coldplay melalui lagu "Fix you." Iya, kan? Inilah saatnya! Saya membuktikan bahwa kalau ketakutan membuat sebuah keberhasilan tertunda, sayang sekali rasanya. Makanya harus berani! Yup.
Pada hari pertama saya masuk, sudah ada siswa baru dari Ukraina. Bersama ibu dan kakak perempuannya, Lagi disekolahkan di SD tempat saya magang di kelas 2.
Begitulah Jerman, modelnya nurunin pangkat. Kalau dia di Ukraina kelas 3 SD, dia turun jadi kelas 2 SD. Kalau kelas 1 SD jadi TK, deh.
Selama mendampingi mereka, saya seperti ibu sambung. Awal-awal, maunya sama saya, seperti buntut ke mana-mana. Baru minggu kedua, sudah bisa nakal. Eh, mereka bergabung bersama teman sebayanya.
Karena saya sudah punya anak tiga, sudah tahu model malu-malu kucing begitu. Harap maklum. Jadinya, dinikmati saja. Toh, mereka masih di bawah umur. Anak-anak sudah melewati masa itu. Jadi seperti mengulang cerita lama. Eaaaaa.... Awet muda.
Susahnya Bahasa Ukraina
Begitulah, saya masuk di kelas 2 di mana seorang guru akan meminta bantuan saya mendampingi 2 bocah Ukraina yang mengungsi bersama mama dan saudaranya. Mengapa nggak ada ayahnya? Karena beda dengan perang di Suriah yang membuat banyak generasi muda Suriah mengungsi ke Jerman, justru laki-laki di Ukraina patriotisme banget nggak mau meninggalkan negaranya dan memilih membantu negaranya, perang!
Biasanya, orang tua dari laki-laki yang memutuskan untuk tetap berada di Ukraina, akan tinggal bersama juga. Makanya nggak ada nenek-kakek yang ikut. Ceritanya sih, begitu.
Dalam lamaran dan kontrak, saya sebenarnya ditempatkan di kelas 1 dan 2 ditambah kelas siang untuk bimbel (membantu anak-anak mengerjakan PR). Nah ini, karena saya didapuk jadi guru bahasa Jerman dadakan, awalnya, saya ikut bingung.
Saya harus bagaimana? Beberapa modul buku untuk dipelajari anak-anak pengungsi memang sudah disiapkan oleh sekolah. Tetapi rupanya, saya liatnya pening. Mana bisa saya baca? Itu tulisannya kan simbol bukan ABC. Gimana coba? Bisa koprol, ah. Thanks to technology! Untung ada Google Translate dan HP.
Jika ada apa-apa, mengalami kesulitan, segera mengetik di sana dan menyodorkan pada si anak. Namun saya ingat, bahasa adalah praktek. Kalau nggak dipraktekkan anak nggak bisa-bisa. Semaksimal mungkin saya berbicara dengan bahasa Jerman. Walaupun demikian, sesekali mama atau kakak mereka mengajak saya bahasa Inggris. Nggak papa, sih, daripada lidahnya kegigit.
Oh, ya. Modul yang harus dipelajari adalah ABC, misalnya A untuk Apfel" (red: apel), R untuk Rucksack" (red: ransel) dan seterusnya.
Kayaknya anak-anak Ukraina bosen disuruh belajar lagi kayak TK. Menulis alfabet, mengulangnya lagi dan lagi. Tapi mau gimana lagi. Untuk bahasa Ukraina mereka memang jago, tapi untuk bahasa asing seperti bahasa Jerman mereka kan nol atau masih bayi, jadi ya dari bawah sekali. Kalau untuk matematika, mereka pandai. Ketika saya koreksi, kesalahannya minim.
Urusan seni, mereka suka menggambar dan hasta karya. Bagus lho, hasilnya. Baru modul kedua agak lumayan oke karena tentang percakapan. Misalnya mengucapkan salam Guten Morgen (untuk pagi), Guten Tag (untuk siang) dan Guten Abend (untuk malam), Wie geht es dir? (red: apa kabarmu?).
Modul ketiga adalah kamus Jerman -- Ukraina. Mereka cepat menangkap. Mungkin karena masih anak-anak. Kalau saya yang belajar, pasti 10 tahun saja nggak cukup fasih. Wkwk. Otaknya sudah penuh isinya. Duduk di tengah di antara kedua anak Ukraina, saya jadi sibuk. Kadang kami harus pindah ke ruang kelas sebelah supaya masing-masing bisa konsentrasi.
Mengajari mereka berdua kann harus berisik, tidak dengan bahasa isyarat. Berkali-kali, saya harus mengingatkan salah satu dari mereka untuk menyimpan HP di ransel saja, nggak perlu lihat Google Translate atau lingua terus.
Soalnya anak-anak Jerman itu kritis, pada protes, "Mengapa anak Ukraina boleh bawa HP ke sekolah dasar tapi kami dilarang keras? Mereka boleh telpon dengan mamanya, kakaknya ... kami nggak."
***
Itu tadi sekelumit pengalaman saya menjadi pendamping anak-anak Ukraina yang mengungsi ke Jerman. Biasanya, mereka ini punya keluarga atau kerabat dekat yang bisa ditumpangi.
Di Jerman, sudah banyak keluarga yang merelakan kamar atau bagian dari rumahnya untuk ditempati untuk berlindung, walaupun nggak ada hubungan apa-apa.
Bantuan berupa alat tulis, uang dan lainnya mengalir kepada mereka. Dana digalang di mana-mana untuk membantu mereka yang membutuhkan akibat aksi anti damai yang dilakukan Rusia.
Kedatangan masyarakat Ukraina ke Jerman adalah dampak dari invasi Rusia terhadap Ukraina.
Negara tempat asal Wladimir Klitschko, mantan petinju yang malang melintang di Jerman itu hancur. Ketakutan membuat rakyatnya melarikan diri, menyebar ke negara-negara tetangga terdekat termasuk Jerman. Sedangkan yang gagah berani untuk mempertahankan negaranya, memilih untuk tetap tinggal dan berperang. Semoga damai di bumi segera nyata. (G76)
"....Imagine all the people Livin' life in peace
You You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us And the world will be as one..."
(Imagine -- John Lennon).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H