Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apa Arti Belalakan?

30 Maret 2021   12:50 Diperbarui: 30 Maret 2021   13:03 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Haduh. Saya orang mana, ya? Baru tahu kata "belalakan" menurut KBBI artinya, pandangan dengan mata membelalak. Kalau membelalakkan mata saya tahu, artinya mata kita terbuka lebar-lebar, sehingga kelihatan membesar, lebih dari ukuran aslinya yang diciptakan oleh Tuhan.

Kalau mata yang nggak usah dibelalakkan, seingat saya, orang menamainya mata belok. Jadi memang sudah dari lahir jebrot, matanya besaaar sekali. Bundar begitu, deh. Rata-rata teman-teman saya yang dari Suriah, Turki, Iran, Pakistan dan India, memiliki mata indah bola ping-pong ini. Kalau mata saya bisa besar, sih, kalau sedang menari Bali atau sedang marah. Kalau kalian, bisa nggak matanya belalakan?

Aih, marah.

Seingat saya, waktu kecil, kalau almarhum bapak sudah membesar matanya, itu tandanya marah. Kami, putra-putrinya, biasanya tahu diri. Harus ada pesan yang ditangkap dan dilaksanakan. Hebat, ya, pendidikan yang satu ini saya rasa tidak ada di Jerman.

Ternyata, daya belalakan ini pun menurun pada saya. Suami dan om selalu keheranan, anak-anak sudah takut kalau mata saya membesar meski tidak ada satu kata pun yang terucapkan. Yah, capeklah, marah pakai teriak-teriak. Menurut saya, mata belalakan ini sebagai pralambang bahwa ada yang tidak berkenan dan dilarang. Signal ini harus tertangkap dan dibiasakan kepada anak-anak kami.

Dan karena saya mengajar anak-anak Jerman, yakni di Taman Kanak-Kanak, saya mencoba mengenalkan ini. Begini kisahnya.

Ketika sedang membersihkan makanan yang berjatuhan dari makan siang anak-anak, yang waktu itu sudah tidur, lewatlah seorang anak umur 4 tahun keturunan Turki.

Matanya belok, wajahnya ganteng, kulitnya bagus dan rambutnya menantang langit, jegrak gitu, deh. Tapi heran, saya nggak ngapa-ngapain, wajahnya garang sambil mengacungkan tangan ke muka saya. Pemandangan yang aneh melalui jendela kaca.

Tak lama kemudian, tiba-tiba ia membuka pintu ruangan kami dan membantingnya. Wajahnya masih buruk.

Oh, jambu mete! Ini anak perlu dikasih tahu....

Saya buka pintu perlahan-lahan. Sembari jongkok, supaya badan kami sama tinggi, saya bertanya:

"Maksud kamu apa, aku nggak ngerti." Lirih saya berkata padanya. Dia sedikit mundur tapi tangannya berkacak pinggang.

"Kamu bukan temanku." Dia masih saja berlagak jahat.

"Memang bukan, aku gurumu. Aku tidak suka kalau kamu menampakkan wajah jahat dan membanting pintu. Aku lebih tua dari kamu, kamu harus menghormatiku. Murid-muridku baru saja tertidur, dan seharusnya baru 1 jam lagi boleh dibangunkan. Kamu membanting pintu, itu mengganggu. Paham?" Saya coba memberikan pengertian sebab-akibat yang harus dia tahu, walau masih anak TK.

"Erik bukan temanmu." Si anak lanang menyebut nama teman sekelasnya yang berambut pirang, dan sering saya sapa jika bertemu. Anaknya memang tidak bisa berbicara tetapi tidak pernah ada tanda-tanda negatif yang dilayangkan pada saya, selain senyum simpul.

"Memang bukan, dia muridku. Dia tidak pernah bersikap buruk sepertimu. OK?"

"Hey" Mukanya tambah sangar. Entah siapa yang mengajari si anak tunggal itu berperangai seperti itu. Beberapa guru yang saya kenal dan mengasuhnya, sudah mengiyakan bahwa si anak kadang memang Frechtag", anak yang kasar.

Waduh, ini anak. Saya pegang kedua lengannya dan memandangi kedua bola matanya. Mata saya belalakan. Ia terkesiap. Saya yakin ia mengerti tandanya. Saya marah.

Beberapa menit kemudian, si anak mundur selangkah.

"Kamu tahu yang aku maksud hari ini? Kamu tidak boleh bersikap kasar pada orang lain, baiklah pada setiap orang, apalagi pada orang yang lebih tua. Dan membanting pintu adalah tindakan yang mengganggu orang lain dan bisa merusakkan barang. Aku yakin kamu mau belajar tentang ini. Bagaimanapun aku sayang kamu. Sini aku peluk." Masih dengan masker yang 8 jam harus saya pakai selama di TK, saya raih badan pongkring sepapan yang ada di depan saya. Ia mengangguk.

Seorang anak yang dari tadi memperhatikan percakapan kami, mendekat. Namanya sebut saja Rosa, 5,5 tahun.

"Apa yang baru saja Ben lakukan?" Ia memainkan boneka di tangannya. Sesekali matanya menatap saya.

"Ia kasar padaku dan membanting pintu. Apakah menurutmu tindakannya betul? Makanya saya nasihati." Jelas saya sambil tersenyum. Ternyata ada perhatian juga dari anak lain.

"Tapi mengapa matamu tadi membesar?" Rosa mengernyitkan dahi. Baginya pasti ini bukan hal yang biasa. Orang tua Jerman kebanyakan yang saya kenal tidak sekeras orang tua di Indonesia yang sangat mendidik anak untuk sopan dan hormat pada orang lain, khususnya orang yang lebih tua. Apalagi dengan membelalakkan mata? Ini sangat jarang saya lihat, rata-rata posisi orang tua dengan anak di Jerman itu seperti teman.

"Supaya Ben tahu, aku marah dan tidak suka dengan apa yang dilakukannya. Tadinya ia menganggap remeh. Ia harus berjanji tidak mengulanginya lagi."

"Oh, begitu" Mereka berdua pun ngeloyor pergi.

***

Cerita singkat tentang pengalaman saya belalakan di Jerman ini semoga menambah wawasan teman-teman semuanya. 

Pandangan dengan mata membesar yang bagi orang Indonesia, misalnya  di Jawa, sudah menjadi tradisi. Ini sebagai tanda bahwa ada kemarahan, ada larangan atau hal lain yang ingin disampaikan dengan bahasa isyarat. 

Saya kira, kalau mata kita terbelalak, akan ditertawakan oleh anak-anak di luar negeri seperti di Jerman. Ternyata, negara yang sudah multikultural ini juga menyisakan anak-anak yang paham tentang bahasa ini. Belalakan menjadi bahasa isyarat untuk mendidik anak-anak Jerman. Manjur!

Bagaimana dengan teman-teman? Coba ambil kaca lalu membelalakkan mata sebesar-besarnya? Jangan-jangan Anda sendiri takut. Yah, siapa yang tidak takut, coba. Makanya anak-anak juga takut kalau mata kita terbelalak.   (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun