"Maksud kamu apa, aku nggak ngerti." Lirih saya berkata padanya. Dia sedikit mundur tapi tangannya berkacak pinggang.
"Kamu bukan temanku." Dia masih saja berlagak jahat.
"Memang bukan, aku gurumu. Aku tidak suka kalau kamu menampakkan wajah jahat dan membanting pintu. Aku lebih tua dari kamu, kamu harus menghormatiku. Murid-muridku baru saja tertidur, dan seharusnya baru 1 jam lagi boleh dibangunkan. Kamu membanting pintu, itu mengganggu. Paham?" Saya coba memberikan pengertian sebab-akibat yang harus dia tahu, walau masih anak TK.
"Erik bukan temanmu." Si anak lanang menyebut nama teman sekelasnya yang berambut pirang, dan sering saya sapa jika bertemu. Anaknya memang tidak bisa berbicara tetapi tidak pernah ada tanda-tanda negatif yang dilayangkan pada saya, selain senyum simpul.
"Memang bukan, dia muridku. Dia tidak pernah bersikap buruk sepertimu. OK?"
"Hey" Mukanya tambah sangar. Entah siapa yang mengajari si anak tunggal itu berperangai seperti itu. Beberapa guru yang saya kenal dan mengasuhnya, sudah mengiyakan bahwa si anak kadang memang Frechtag", anak yang kasar.
Waduh, ini anak. Saya pegang kedua lengannya dan memandangi kedua bola matanya. Mata saya belalakan. Ia terkesiap. Saya yakin ia mengerti tandanya. Saya marah.
Beberapa menit kemudian, si anak mundur selangkah.
"Kamu tahu yang aku maksud hari ini? Kamu tidak boleh bersikap kasar pada orang lain, baiklah pada setiap orang, apalagi pada orang yang lebih tua. Dan membanting pintu adalah tindakan yang mengganggu orang lain dan bisa merusakkan barang. Aku yakin kamu mau belajar tentang ini. Bagaimanapun aku sayang kamu. Sini aku peluk." Masih dengan masker yang 8 jam harus saya pakai selama di TK, saya raih badan pongkring sepapan yang ada di depan saya. Ia mengangguk.
Seorang anak yang dari tadi memperhatikan percakapan kami, mendekat. Namanya sebut saja Rosa, 5,5 tahun.
"Apa yang baru saja Ben lakukan?" Ia memainkan boneka di tangannya. Sesekali matanya menatap saya.