Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Saya Ingin Menulis Seribu Tahun Lagi

9 Desember 2020   18:39 Diperbarui: 10 Desember 2020   10:17 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot Lita Chai II (dok. Gana)

Jerman sedang cantik-cantiknya. Di antara dinginnya temperatur, masih ada sisa kecantikan salju yang menaburi semua yang ada di bumi. Tiada yang kuasa menghindari jatuhannya. Dan kami segera beranjak dari rumah menuju hutan.

Iya, ke mana lagi? Di masa pandemi memang semua harus saling menjaga diri. Tidak boleh gegabah atas pandemi.

Ketika sampai di tengah-tengah hutan sinyal masih bagus, ada pesan dari dik Sharfina admin Kompasiana. Isinya menyampaikan undangan kepada saya untuk menyampaikan pidato dalam Kompasianival pada hari Sabtu, selaku Kompasianer senior. Eh, senior? Lalu saya merasa tua sekali nan berubah, ingat pula pidato pak RT.

Antara senang, surprise dan heran karena dianggap sebagai Kompasianer senior. Rasanya, lebih pantas jika Pak Tjiptadinata atau Pak I Ketut Suweca yang mewakili. Mereka ini tidak hanya secara durasi di Kompasiana sudah mengalami uji kelayakan, kebapakan dari mereka luar biasa. Lebih pantas memberikan pidato daripada saya, bukan?

Namun karena sudah mendapat amanah, saya ingin menjalankannya. Toh, hari Sabtu saya sudah mendaftar Kompasianival dan ada banyak waktu karena tidak ada aktivitas.

Telah siap bahan pidato 2-3 menit, di mana saya ingin memberikan ucapan selamat kepada semua peserta dan nominator/pemenang dalam ber-Kompasianival. Karena nggak hafal-hafal, saya ketik saja pidatonya, supaya bisa dibaca.

Screenshot Lita Chai II (dok. Gana)
Screenshot Lita Chai II (dok. Gana)
Di sana masuk nominasi -- di sini tidak masuk nominasi

Hari yang ditunggu-tunggu tiba, link telah dibagi. Paswordnya lucu, "Masuk aja." Saya jadi gelisah. Haha.

Begitu masuk room, saya keluar lagi. O, saya salah masuk karena ternyata acaranya masih hiburan, mana ada dangdutan lagi. Ngibing. "Lha, pidatonya kapan?" Begitu kalimat yang berputar di kepala saya. Tugas saya belum juga tuntas.

Baru dua menit sebelum pukul 19.30 WIB, saya berhasil masuk lagi. Di sana sudah ada beberapa orang. Saya hitung ada beberapa. Tidak banyak memang; mas Nurul, pak Kate, dik Ozy, pak Bob, mbak Dewi dan mas Kaekaha. Hey, ada apa ini?

Ooooo pengumuman pemenang Kompasianival Award? Tidak ada seorangpun yang memberikan informasi tentang ini. "Apakah saya salah kamar?", tanya saya dalam chat. Saya tidak masuk nominasi, harusnya tidak berada di ruangan.

Sebelumnya, saya sudah bergabung di ruang yang lain, di mana Kompasianer rombongan balas pesan sudah ramai menuliskan kalimat demi kalimat.

Kembali ke ruang mini. Di layar saya amati ada sematan titel Best in Fiction dan Best in Specific Interest. Bukankah tiap kategori 5 orang, berarti ini sudah disaring? O, ini mereka yang bakal mendapatkan award, tho?

Saya mengira, saya akan dipersilakan Dik Yos sang MC yang lucu untuk menyampaikan pidato sebelum pengumuman award. Eh, mengapa belum juga dipersilakan? Saya makin bingung dan menuliskan pertanyaan lagi, "Pidato saya kapan, ya?" Sayang, tidak ada yang menjawab.

Menjadi Kompasianer yang tidak masuk nominasi dalam pencalonan best ini dan itu dalam Kompasianival 2020, saya sudah siap tidak mendapat penghargaan. Bagaimana mungkin dapat award? Dicalonkan tidak, dinominasikan juga tidak, di-vote pasti juga tidak. Artinya, tidak bisa menang. Satu demi satu pengumuman pemenang terlewati.

Lalu pikiran saya melayang pada Best Community. GR, gede rasa. Mungkin saja saya di sini demi mewakili Komunitas Traveler Kompasiana yang akan menang. Aduh, ternyata juga bukan. Komik yang menang dan diterima pengurus, yakni mbak Dewi.

Saya makin dag-dig-dug, apa saya akan menerima award Best in Life Achievement atau Kompasianival of the Year 2020? Rasanya tidak mungkin!

Tidak, ini mustahil. Saya hanya diminta untuk memberikan sambutan penerimaan hadiah. Tapi mengapa tidak di awal melainkan di belakang? Jantung saya larinya seperti pacuan kuda dikasih cabai di padang rumput.

Tiba saatnya, Dik Yos menyebut nama saya sebagai Kompasianival of the Year 2020. Kaget, heran, nggak nyangka mendengar nama saya disebut.

Pidato yang parau dan bikin merinding

"Nah, sekarang pidatonya," salah satu Kompasianer di ruang mini menuliskan kalimatnya.

Pidato sambutan yang sudah saya siapkan harus berubah isinya karena konteksnya sudah beda. Grogi.

Berikut transkrip rekaman pidato saya yang direkam Lita Chai II di Facebook:

"Teman-teman di Indonesia, senang sekali, saya ingin memotivasi Kompasianer yang masih baru, khususnya semua mahasiswa yang sedang digerakkan oleh Kompasiana untuk menulis di Kompasiana untuk selalu semangat.

Menulis itu adalah sebuah proses. Jadi, jika tidak ada yang membaca, cintailah tulisan kalian sendiri karena tulisan kita akan membawa nasibnya sendiri, dan akan membawa sebuah kenikmatan, sebuah keberuntungan di masa mendatang.

Saya menulis 10 tahun di sini adalah sebuah masa yang panjang, tidak pernah saya merasa: Oh, tidak ada yang membaca atau oh, tidak ada apresiasi.

Saya hanya meminta bahwa ke depannya bahwa Kompasianival ini akan banyak calon perempuan yang dicalonkan di dalam setiap nominasi karena di Jerman sendiri perempuan dan laki-laki sendiri adalah setara; duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Saya ingin bahwa di Indonesia seperti itu, tidak hanya di Jerman.

Dan untuk teman-teman yang sudah lama, semoga masih tetap semangat meskipun mungkin belum ada penghargaan dari Kompasiana atau mungkin tidak ada yang membaca, tapi saya yakin pembacanya adalah penulis itu sendiri dan akan menginspirasi diri sendiri dan orang lain suatu hari nanti.

Dan bagi teman-teman yang sudah mendapatkan award di tahun-tahun yang sebelumnya,  saya harap untuk kembali ke jalan yang benar, untuk mengisi ruang-ruang di Kompasiana,  untuk menginspirasi adik-adik atau teman-teman Kompasianer yang baru. Saya kira itu saja, terima kasih untuk penghargaan yang diberikan oleh Kompasiana dan tentu saja dari teman.-teman semua.

Saya nggak tahu ini, kaget, ya. Harapan untuk 2021, bahwa saya yakin bahwa Kompasianer yang sekarang masih baru, masih agak takut atau salah menulis tetap saja semangat karena di sini, kita bisa berkembang.

Seperti saya bergabung dengan Komunitas Traveler Kompasiana dengan Koteka sendiri saya tidak sendiri saya bisa berkembang dan tentu saja saya mendapatkan inspirasi dari komunitas ataupun Kompasianer yang lain.

Dari Kompasiana ini kita bisa saling menginspirasi, saling memberikan influence, saling mendorong dan memotivasi. Adalah satu kebaikan kalau kita saling berkomunikasi, tidak hanya; Oh saya suka dia -- Oh, saya tidak suka dia, tetapi untuk menikmati tulisan dan kegiatan yang ada di Kompasiana, beberapa komunitas yang sangat maju di sini."

Pidato singkat yang padat telah saya sampaikan dengan suara yang agak parau. Waktu itu saya betul-betul kaget, suara saya terkesan gemetar tidak seperti biasanya. Bukan saja karena hawa dingin 0 derajat celcius yang ada di luar ruangan tapi karena momen yang luar biasa yang saya alami secara tiba-tiba

Perut saya kram. Seperti ada bongkahan-bongkahan di dalamnya yang bertubi-tubi menohok dari dalam.

Gusti, ini anugerah. Ini amanah. Saya tidak menyangka tapi harus bersyukur, alhamdulillah.

Pertama motivasi diri sendiri, baru motivasi orang lain, jangan kebalik (dok.Gana)
Pertama motivasi diri sendiri, baru motivasi orang lain, jangan kebalik (dok.Gana)
Masuk nominasi dan tidak menang itu hal biasa

Saya paham betul. Beberapa siapapun yang masuk nominasi dan tidak berhasil mendapatkan vote supaya layak menyandang gelar sesuai kategori, pasti kecewa.

Teman-teman, kekecewaan yang mirip pernah saya alami tahun 2013, ketika tahun itu saya belum bekerja dan rajin menulis serta aktif dalam Kampret, komunitas di Kompasiana yang suka jepret. Dinominasikan sebagi Best in Citizen Journalism karena rata-rata mewartakan Jerman tapi tidak berhasil memboyong piagam.

Lalu tahun 2014 ikut dinominasikan sebagai Best in Citizen Journalism lagi sekaligus Kompasianer of the Year 2014, juga tidak berhasil mengangkat nama saya sebagai jawara. Sedih dan kecewa pasti tapi ternyata itu tidak mengurangi semangat saya untuk rajin menulis dan terus maju dalam hidup ini. Saya ingin saya happy dan mampu menghargai diri sendiri, jangan stress.

Di kemudian hari, tidak disangka, saya mendapat 2 penghargaan dari dari Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia di Hongaria sebagai diaspora penulis buku Hongaria dan aktif promosi budaya Indonesia di Jerman, yakni tahun 2017. Ada angin sejuk dan meyakinkan saya bahwa kalau tidak menang di Kompasiana, kemenangan di tempat lain pasti masih sangat mungkin terjadi.

Yang baru-baru ini adalah penghargaan dari Konsul Jendral RI di Frankfurt, utusan negara RI yang baru saja setahun menjabat. Beliau bahkan datang sendiri ke rumah saya. Luar biasa.

Tuhan memang ada di mana-mana. Rezeki saya mengalir. Saya kira, karena saya ikut membukakan pintu-pintu pada orang lain di jalan kebaikan dalam kehidupan saya, pintu lain terbuka di depan mata untuk saya.

Jadi sari dari kalimat di atas adalah sebuah motivasi, inspirasi bagi kita semua bahwa jika tidak ada yang menghargai diri kita, jangan lupa untuk tetap menghargai diri sendiri. Dengan begitu kita akan semakin maju dan mengembangkan diri sesuai bakat dan minat. Terus dan terus. Bukan malah nglokro lalu pergi. Siap? Mari!

Kompasianer, namanya saja Kompasianival, ini gawe Kompasiana, tim punya hak dan tanggung jawab mengatur semua. Dari awal penyelenggaraan Kompasianival, banyak orang termasuk saya yang menanyakan tentang transparansi pencalonan dan hasil pungutan suara.

Ada beberapa kategori yang dicuatkan dalam Kompasianival untuk mendapatkan vote mulai dari Best in Citizen Journalism, Best in Fiction, Best in Specific Interest, Best in Opinion, People's Choice. Sedangkan Best Community, Life Achievement dan Kompasianer of the Year yang kebanyakan ditentukan oleh vote, tahun ini didasarkan oleh rumusan tim Kompasiana. Tim pasti punya evaluasi dan memperbaiki sistem yang belum sempurna. Sabar, ya.

Kemarin-kemarin, jika dicalonkan tapi tidak menang, Anda memang belum beruntung. Coba lagi! Atau bahkan teman-teman yang belum dicalonkan, calonkan diri sendiri. Khususnya yang perempuan-perempuan.

Ini sudah saatnya, sudah zamannya. Tidak ada larangan untuk itu, supaya perempuan Indonesia maju. Masalah dinominasikan atau tidak dinominasikan, masalah menang atau kalau, itu urusan belakangan. Ayo, maju.

***

Dari banyaknya ucapan selamat, di berbagai medsos sampai Whatsapp pribadi, ada kesan-pesan yang saya baca dengan khidmat. Ketakutan beberapa kawan bahwa saya akan menghilang dari peredaran tulisan Kompasiana adalah salah satu di antaranya.

Hey, jika saya lari dari Kompasiana, bukankah ini pemandangan yang sudah biasa terjadi?  Tidak ada aturan atau hukum yang kita langgar bukan?

Saya sudah melewati 10 Kompasianival. Jika yang baru bertemu 1-2 Kompasianival lalu dapat award dan sudah tidak ada di sini lagi saja sah-sah saja berbuat begitu, mengapa saya tidak? Itu  hak mereka. Saya juga punya hak.

Tapi ingat, kawan, menurut saya, award tidak hanya wujud sebuah apreasiasi tapi amanah dan tanggung jawab. Jangan biarkan teman-teman yang sudah lama juara mengharap semakin sakit hati karenanya. Award Kompasianival bukan barang mainan.

Lebih lanjut, saya adalah saya, saya bukan dia atau mereka. Tentu saja saya ingin kenyataannya: tidak akan berakhir sama.

Tujuan pertama saya menulis di Kompasiana karena ingin menyambungkan diri dengan Indonesia karena tinggal di negeri orang, melestarikan bahasa Indonesia saya supaya tidak hilang di antara bahasa lokal yang saya pakai sebagai bahasa pengantar di Jerman.

Paling tidak, itu yang akan saya bawa di tahun-tahun mendatang. Dari Kompasianival satu ke Kompasianival berikutnya di masa yang akan datang.

Ya, saya ingin menulis seribu tahun lagi. Khususnya di Kompasiana. Buku-buku saya juga harus terus dan terus menghiasi toko buku dan rak perpustakaan pribadi atau umum supaya inspirasi dan amalnya mengalir dari hari ke hari. Suatu hari, saya bisa meninggal tapi harapan saya, tulisan saya tidak akan mati tertelan zaman.

Saya ingin menulis seribu tahun lagi. Ini memang hanya kiasan. Seperti halnya Chairil Anwar yang ingin hidup seribu tahun lagi tapi nyatanya meninggal saat berusia 26 tahun. Usia yang sangat muda dari "si binatang jalang" dan tidak bisa ditolak. Artinya, saya tidak akan tahu sampai kapan saya hidup dan tidak bisa apa-apa kecuali dipanggil Sang Pencipta.

Selama nafas masih berhembus, saya ingin tekun meneruskan salah satu bakat dan minat saya, yakni menulis di sini. Ingatkan saya, maafkan saya,  jika saya alpa dan terlena.

Terima kasih, Kompasianers. Terima kasih, Kompasiana.

Atas kepercayaan, kesetiaan dan dukungannya selama ini. God bless, everyone. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun